kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45892,58   -2,96   -0.33%
  • EMAS1.324.000 -0,68%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Perang dagang jadi beban komoditas


Rabu, 04 Juli 2018 / 09:56 WIB
Perang dagang jadi beban komoditas
ILUSTRASI. Bongkar Muat Timah


Reporter: Grace Olivia | Editor: Yudho Winarto

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Memanasnya perang dagang di akhir semester I-2018 menjadi sentimen negatif bagi pergerakan komoditas logam industri. Alhasil, sepanjang enam bulan pertama 2018 ini, harga sebagian besar komoditas logam terkoreksi.

Hanya nikel yang berhasil mencatatkan kenaikan harga di semester satu lalu. Jumat (29/6), harga nikel kontrak pengiriman tiga bulanan di London Metal Exchange (LME) ada di US$ 14.900 per metrik ton. Angka ini naik 16,77% ketimbang akhir 2017 lalu.

Sementara itu, posisi timah tak seberuntung nikel. Logam industri yang satu ini mencatatkan penurunan harga sebesar 1,37% setelah harganya di akhir Juni lalu ada di posisi US$ 19.750 per metrik ton.

Aluminium pun merasakan hal yang sama. Jumat (29/6) lalu, harga komoditas logam industri yang satu ini untuk kontrak tiga bulanan di LME ditutup di level US$ 2.133 per metrik ton. Angka ini melorot 5,95% sejak awal tahun.

Tembaga mencatatkan penurunan harga paling dalam, setelah melorot 8,75%. Pada akhir pekan lalu, harga tembaga hanya US$ 6.626 per metrik ton.

Apakah pergerakan ini masih bertahan di paruh kedua nanti? Berikut ulasan analis.

- Nikel

Di antara jajaran logam industri, boleh dibilang nikel menjadi primadona. Permintaan yang masih tinggi berhasil membuat harga nikel tetap unggul.

Mengutip data International Nickel Study Group, analis Asia Tradepoint Futures Andri Hardianto menyebut, tingginya permintaan nikel bahkan sudah menggerus 30% stok global nikel. "Kebijakan larangan ekspor nikel di Filipina juga belum berubah, sehingga produksi masih belum kembali normal," ujar dia, Selasa (3/7).

Permintaan nikel sepanjang tahun ini didorong oleh sektor kendaraan listrik dan industri baja yang masih menggeliat, terutama di China. Sebagai konsumen nikel terbesar, produksi industri baja di bulan Mei naik jadi 81.000 ton. "Alhasil, nikel masih mencatat defisit pasokan sebanyak 19.000 ton pada semester satu, sehingga harga menguat terus," kata Andri.

Hanya saja, Andri mewanti-wanti potensi koreksi harga di saat tensi geopolitik kembali memanas. Ia memperkirakan harga bergerak di rentang US$ 13.700–US$ 16.700 per ton di paruh kedua ini.

- Timah

Tak beda jauh dari sentimen pada logam industri lainnya, Direktur Garuda Berjangka Ibrahim menilai, perang dagang Amerika Serikat (AS) masih menjadi isu utama pelemahan harga timah. "Harga tertekan karena realisasi perang tarif impor semakin dekat antara AS dan China," kata dia, Selasa (3/7).

Memasuki paruh kedua, Ibrahim meyakini permintaan timah masih terjaga. Dengan catatan, perekonomian China tidak melambat akibat perang dagang. Ia pun memprediksi harga timah masih akan fluktuatif di paruh kedua tahun ini, yakni antara US$ 19.500–US$ 20.750 per metrik ton.

Akhir tahun nanti, Ibrahim memprediksi harga timah berpotensi ditutup di US$ 20.500 per metrik ton.

- Aluminium

Serupa dengan timah, harga aluminium masih dalam tren bearish akibat perang dagang antara AS dan China. Ibrahim menambahkan, pelaku pasar pun semakin khawatir dengan dampak hal tersebut ke perekonomian Negeri Tirai Bambu tersebut. "Sebagai produsen sekaligus konsumen komoditas terbesar, perlambatan ekonomi di China pasti sangat berpengaruh buruk pada harga," kata Ibrahim.

Ia berpendapat, perang dagang masih akan menjadi bahaya laten bagi laju aluminium di paruh kedua tahun ini. Potensi koreksi juga semakin besar di kuartal terakhir 2018 seiring dengan wacana The Fed mengerek suku bunga acuan secara agresif.

- Tembaga

Tembaga memimpin pelemahan harga terbesar di kelompok logam industri sepanjang semester I-2018. Andri menuturkan, laju tembaga terhambat kenaikan produksi. Di semester I-2018 lalu, produksi global tembaga justru naik 7,1% jika dibandingkan periode yang sama di tahun sebelumnya.

Andri memperkirakan, laju produksi tembaga di semester kedua belum akan melambat. "Justru produksi dari Indonesia dan Cile tampaknya masih akan tinggi," imbuh dia. Di sisi lain, permintaan terhadap komoditas logam industri ini masih stagnan. Pasalnya, komoditas ini mengandalkan sektor properti dan otomotif konvensional.

Sepanjang paruh kedua tahun ini, Andri memprediksi harga tembaga masih lesu dan bergerak antara US$ 6.300–US$ 7.100 per ton.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Accounting Mischief Practical Business Acumen

[X]
×