Reporter: Dimas Andi | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tren kenaikan suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) dan ketidakstabilan nilai tukar rupiah dinilai akan membuat penerbitan obligasi korporasi sepanjang semester II 2018 ini tidak mudah untuk dilakukan.
Padahal pada paruh pertama 2018, terjadi banjir obligasi korporasi lantaran suku bunga yang masih mini. Berdasarkan data Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA), penerbitan obligasi korporasi di semester I 2018 mencapai Rp 63,65 triliun. Angka ini lebih tinggi ketimbang perolehan di periode yang sama tahun lalu sebesar Rp 61,61 triliun.
Fund Manager Capital Asset Management Desmon Silitonga mengatakan, kenaikan Bank Indonesia 7 Day Repo Rate (7DRR) pada dasarnya akan mendongkrak yield Surat Utang Negara (SUN). Ditambah lagi, yield SUN naik seiring rupiah yang melemah akhir-akhir ini.
Kenaikan tersebut memaksa korporasi untuk ikut menaikan kupon ketika hendak menerbitkan obligasi. Alhasil, ada risiko peningkatan cost of fund membesar. Jika tidak diimbangi dengan kondisi finansial yang kuat, minat perusahaan untuk menerbitkan obligasi di paruh kedua berpotensi merosot.
Ia menambahkan, dengan kondisi yield SUN 10 tahun yang ada di kisaran 7,5%–7,7%, setidaknya perusahaan perlu menyediakan kupon obligasi dengan spread 150–200 bps agar instrumennya menarik di mata investor. "Tapi ini pun bergantung pada rating dan prospek bisnis perusahaan," ujarnya, Jumat (27/7).
Maklum, gejolak yang terjadi di pasar finansial akan mempengaruhi kinerja sebagian perusahaan. Jika kinerja keuangan penerbit obligasi memburuk, peringkat perusahaan itu terancam turun.
Belum lagi, perusahaan harus menanggung risiko penyerapan dana obligasi yang kurang maksimal akibat rendahnya rating.
Analis Fixed Income MNC Sekuritas I Made Adi Saputra menambahkan, kenaikan BI 7DRR yang berpotensi terjadi di semester II bisa saja membuat sebagian perusahaan mempercepat penerbitan obligasinya. Ini untuk mengantisipasi tuntutan pemberian kupon yang lebih tinggi apabila penerbitan dilakukan seusai kenaikan suku bunga acuan.
Investor berhati-hati
Biasanya, opsi mempercepat penerbitan kerap diambil oleh perusahaan yang memiliki kebutuhan refinancing. "Kalau perusahaan yang punya kas mumpuni, justru tidak akan tergesa-gesa," kata dia.
Made bilang, perusahaan yang kerap melakukan refinancing berasal dari sektor jasa keuangan atau multifinansial. Sektor tersebut memang paling kontributif terhadap penerbitan obligasi korporasi. "Persentase kepemilikan sektor keuangan di obligasi korporasi hampir 50%," sebutnya.
Jika perusahaan seperti itu memutuskan untuk mempercepat penerbitan obligasi korporasi, suplai terhadap instrumen tersebut semestinya tidak akan terganggu untuk paruh kedua tahun ini.
Hanya saja, ada tantangan dari sisi permintaan. Kondisi pasar obligasi yang belum stabil membuat sebagian investor memilih berhati-hati untuk membeli obligasi korporasi. Bahkan, ada kemungkinan investor tidak melirik obligasi itu.
Pasalnya, tren kenaikan yield SUN membuat instrumen tersebut kembali menarik, terutama bagi investor berorientasi jangka panjang yang menginginkan risiko gagal bayar rendah dan lebih likuid. Akibatnya, obligasi korporasi terancam kehilangan pangsa pasarnya.
Apalagi, instrumen yang beredar di pasar saat ini sudah tergolong banyak, bahkan bertambah seiring reaktivasi Sertifikat Bank Indonesia (SBI). Alhasil, terdapat potensi persaingan perebutan pangsa pasar. "Risikonya, jumlah dana yang bisa diserap pasar tidak maksimal, padahal perusahaan sudah mengeluarkan ongkos yang banyak," tandas Desmon.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News