Reporter: Yasmine Maghfira | Editor: Tendi Mahadi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Jumlah perusahaan yang melakukan initial public offering (IPO) di Bursa Efek Indonesia (BEI) semakin bertambah. Tahun 2019 ini saja, total perusahaan yang tercatat di BEI sudah mencapai 38.
BEI juga menargetkan akan ada 22 perusahaan lagi yang melantai di tahun ini. Sehingga, target perusahaan IPO di tahun 2019 berkisar 60 perusahaan.
Baca Juga: Percepat bayar obligasi dan lunasi pinjaman, APLN dapat kredit baru US$ 127 juta
Yang menarik, sebagian besar emiten baru tersebut ternyata didominasi oleh perusahaan properti. Subsektor usahanya, mulai dari pengembang properti, perhotelan, hingga pengelola pusat perbelanjaan.
Di paruh kedua tahun ini, sektor properti diprediksi merekah karena pemangkasan suku bunga acuan BI 7-day repo rate (BI 7-DRR). Namun, sudah tiga kali Bank Indonesia (BI) memotong suku bunganya, saham emiten properti masih kurang gesit. Salah satu penyebabnya karena bunga kredit bank belum diturunkan.
Lantas, sebetulnya bagaimana prospek saham properti?
Analis MNC Sekuritas Jessica Sukimaja menyatakan prospek pertumbuhan dari sektor properti akan membaik karena disertai berbagai kebijakan pemerintah yang dapat menjadi katalis positif di sektor ini.
Baca Juga: Demo mereda, IHSG hari ini menghijau
Antara lain pemangkasan BI 7-DRR untuk ketiga kalinya hingga mencapai 5,25%, relaksasi LTV (loan to value) terhadap pembelian rumah pertama, pelonggaran Pajak Penghasilan (PPh) terhadap hunian mewah serta peningkatan ambang atas dari PPnBM menjadi Rp30 miliar.
"Hal tersebut diharapkan dapat meningkatkan permintaan dari masyarakat. Sehingga emiten properti juga bisa terdampak positif," ujar Jessica kepada Kontan.co.id, Kamis (26/9).
Pada saat yang sama, Direktur Anugerah Mega Investama Hans Kwee menyatakan sektor properti masih cukup baik. Hanya saja, daya beli masyarakat Indonesia masih belum pulih khususnya untuk sektor properti. Menurutnya permintaan masyarakat memang ada, tapi daya belinya yang kurang.
Di sisi lain, Hans menyatakan rasio LDR (Loan to Deposits Ratio) bank Indonesia sedang tinggi. Hal itu jadi membatasi bank untuk menurunkan kreditnya saat ini. Kendati demikian, Hans menilai prospek emiten properti masih menjanjikan.
Baca Juga: Serapan capex Polychem Indonesia (ADMG) masih 30%
Namun, dengan kondisi jika bank sudah menurunkan suku bunga kreditnya, serta ekonomi global juga membaik. "Apalagi jika harga komoditas mulai naik, maka sektor properti mulai menarik," kata Hans.
Sementara, Direktur Riset dan Investasi Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus menyatakan lebih baik pelaku pasar dan investor menahan diri untuk melirik sektor properti. Alasannya karena daya beli masyarakat yang minim, dan belum adanya wacana perbankan untuk menurunkan suku bunga kreditnya.
Namun, Nico menilai di tengah kondisi tersebut, investor bisa masuk ke dalam sektor properti untuk jangka pendek dengan tujuan mengambil keuntungan yang singkat. Sedangkan untuk jangka panjang lebih baik wait and see.
Emiten yang baru IPO juga bisa menjadi pertimbangan. Nico merekomendasi membeli saham CTRA (anggota indeks Kompas100), dan BSDE (anggota indeks Kompas100) untuk jangka pendek. Namun, ia menekankan investor melihat berbagai perspektif salah satunya kinerja keuangan emiten.
Baca Juga: Harga CPO tumbuh lambat, begini prospek dan rekomendasi saham Astra Agro (AALI)
Hans juga menyatakan hal yang sama. Khusus emiten properti yang baru IPO, harus dilihat apakah proyek mereka berprogres atau tidak.
Hans merekomendasi kalau untuk jangka panjang, investor bisa beli dari sekarang. Sebagai contoh saham BSDE dengan target harga Rp 1.620 per saham, serta PWON (anggota indeks Kompas100) di target harga Rp 790 per saham.
Sementara untuk jangka pendek, Hans menyarankan investor untuk tetap memperhatikan fundamental emiten tersebut. Hanya saja ia mengatakan investor lebih baik fokus untuk saham jangka panjang jika ingin mengoleksi saham emiten properti.
Berbeda dengan dua analis sebelumnya, Jessica merekomendasi investor wait and see terlebih dahulu untuk saham yang baru IPO. Sebab, informasi yang masih cenderung sedikit serta performa perusahaan belum terlihat jelas akan terlalu berisiko untuk melakukan pembelian dini.
Baca Juga: Untuk pendanaan proyek, Summarecon Agung (SMRA) pilih obligasi ketimbang SBK
Ia juga menyatakan menarik atau tidaknya suatu saham tak terkecuali untuk saham yang baru IPO, dapat dilihat dari berbagai perspektif dimana salah satunya seperti kinerja keuangan yang semakin membaik ataupun strategi yang dilakukan oleh perseroan dalam mengembangkan usahanya.
Sementara itu, sektor properti pada perdagangan hari ini naik 2,03%, dan sepanjang tahun ini juga menguat 12.23%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News