Reporter: Dimas Andi | Editor: Tri Sulistiowati
KONTAN.CO.ID - TABANAN. Para pelaku industri kripto berupaya meningkatkan nilai guna (use case) aset kripto di Indonesia. Hal ini seiring makin berkembangnya ekosistem aset kripto di Tanah Air.
Andrew Hidayat, Pemegang Saham PT Indokripto Koin Semesta Tbk (COIN), emiten yang jadi induk usaha Bursa Aset Kripto Central Financial X (CFX) menyampaikan, sejauh ini aset kripto di Indonesia lebih sering diperlakukan sebagai produk untuk trading dan investasi saja, padahal di ranah global aset kripto memiliki banyak nilai guna.
Lantas, para pelaku industri kripto mulai menyuarakan aspirasi agar nilai guna aset kripto bisa diperluas, misalnya dengan mengembangkan stablecoin berbasis rupiah yang dapat menjadi opsi pembayaran remitansi lintas negara. Sekadar catatan, stablecoin adalah jenis mata uang kripto yang nilainya dapat dipatok ke aset lain seperti mata uang fiat dan komoditas emas. Adapun remitansi adalah aktivitas transfer uang yang dilakukan pekerja asing ke negara asalnya.
Baca Juga: FLOQ Targetkan 3 Juta Pengguna Kripto Hingga Akhir Tahun 2025
"Ini perlu didorong, dan memang tugas CFX salah satunya adalah untuk lebih sering berkomunikasi dengan regulator untuk mendorong use case-use case aset kripto sehingga bisa berhasil untuk diimplementasi di Indonesia," ujar dia di sela acara CFX Crypto Conference (CCC) 2025, Kamis (21/8).
Sementara itu, Chief Compliance Officer Reku Robby mengatakan, para pelaku industri kripto kini sedang meyakinkan regulator seperti Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dan Bank Indonesia (BI) untuk merumuskan pemanfaatan stablecoin berbasis rupiah.
"Kami harus duduk bareng untuk beri rumusan lebih baik agar ada stablecoin yang tidak dikuasai segelintir orang saja dan pemanfaatannya benar-benar untuk kemaslahatan masyarakat," tutur dia saat sesi Fireside Chat CCC 2025, Kamis (21/8).
Dalam kesempatan yang sama, Chief Marketing Officer Pintu Timothius Martin menilai, selama ini arus dana masuk dari transaksi remitansi tergolong besar. Namun, para pekerja migran yang melakukan transaksi remitansi kerap berhadapan dengan kendala terkait biaya transaksi. Alhasil, jika stablecoin rupiah hadir, maka hal ini diharapkan bisa membuat transaksi remitansi menjadi lebih efisien.
"Biaya transaksi remitansi bisa 5%--7% secara global," imbuh Timothius.
William Sutanto, CEO dan Co-founder Indodax menambahkan, jika stablecoin berbasis rupiah bisa diterapkan, maka ada kemungkinan biaya transaksi remitansi berkurang menjadi 1%. Hal tersebut jelas menguntungkan bagi banyak pihak, terutama masyarakat Indonesia yang ada di luar negeri.
Tak hanya untuk keperluan remitansi, pengembangan stablecoin berbasis rupiah perlu dilakukan untuk meningkatkan eksistensi mata uang garuda di kancah internasional. Kehadiran stablecoin dipercaya bisa memudahkan investor asing untuk mengakses dan berinvestasi ke instrumen-instrumen berbasis rupiah.
"Rencana jangka panjang inginnya seperti itu. Tapi kembali lagi, sekarang struktur regulasinya belum ada. Kami memang perlu banyak diskusi dengan regulator supaya mereka lebih paham dan mereka lebih terbuka akan peluang ini," ungkap dia.
William juga menyebut, sebenarnya sudah ada beberapa proyek stablecoin di Indonesia. Bahkan, sebagian proyek stablecoin tersebut sudah ada yang masuk sandbox regulasi di OJK. Namun, pihak regulator masih menguji kelayakan stablecoin tersebut.
Baca Juga: Pasar Kripto Tertekan Jelang Sinyal The Fed: Whale Jualan, Institusi Akumulasi
Selanjutnya: Laba Bersih Freeport (PTFI) Tergerus 18,4% pada Semester I-2025
Menarik Dibaca: Peringatan Dini BMKG Cuaca Besok (22/8), Provinsi Ini Siaga Waspada Hujan Lebat
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News