Reporter: Chelsea Anastasia | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar obligasi korporasi diperkirakan akan mencermati ulang prospek investasi pada surat utang badan usaha milik negara (BUMN), seiring dengan mulai berlakunya Undang-Undang (UU) No. 1 Tahun 2025 tentang BUMN.
UU yang disahkan pada 24 Februari 2025 ini menetapkan bahwa keuangan BUMN dan Danantara tidak lagi tercatat sebagai bagian dari keuangan negara.
Baca Juga: Obligasi BUMN Jatuh Tempo Rp 66 Triliun, Investor Soroti Risiko Pasca Ada Danantara
Perubahan ini dinilai berpotensi mengubah persepsi risiko investor terhadap obligasi korporasi milik negara.
Kepala Pusat Makroekonomi dan Keuangan Institute for Development of Economics and Finance (Indef), M Rizal Taufikurahman menilai bahwa prospek imbal hasil (yield) obligasi BUMN ke depan cenderung meningkat dan bisa menjadi lebih premium.
"Regulasi ini menimbulkan kekhawatiran akan hilangnya jaminan pemerintah terhadap surat utang BUMN, yang selama ini dianggap memiliki jaminan implisit," kata Rizal kepada Kontan.co.id, Senin (21/7).
Ia menjelaskan, hilangnya jaminan tersebut, ditambah tekanan fiskal pemerintah serta meningkatnya persepsi risiko dari pasar, dapat menjadi katalis naiknya yield.
“Investor tentu akan meminta imbal hasil lebih tinggi untuk mengkompensasi ketidakpastian baru tersebut,” lanjutnya.
Baca Juga: Pefindo Kantongi Mandat Obligasi BUMN Sebesar Rp 11,15 Triliun di Sisa 2025
Meski demikian, Rizal menilai yield obligasi BUMN masih bisa tetap stabil apabila pemerintah melakukan intervensi terukur.
Salah satunya melalui skema credit enhancement dari Danantara, yang berfungsi meningkatkan kualitas kredit surat utang agar dinilai lebih aman oleh investor.
Selain itu, partisipasi investor institusi negara dan dukungan dari Otoritas Jasa Keuangan (OJK) dalam memperkuat rating surat utang juga bisa menjadi strategi menjaga minat pasar.
Baca Juga: Bunga Tinggi Bikin Kredit Perbankan Kalah Pamor dari Obligasi
Namun, Rizal mengingatkan bahwa efektivitas upaya stabilisasi sangat bergantung pada komunikasi pemerintah yang konsisten dan kredibel, terutama terkait peran Danantara.
“Tergantung apakah Danantara hanya akan menjadi penopang pasif atau difungsikan sebagai instrumen aktif dalam meredam risiko pasar,” pungkasnya.
Selanjutnya: Wall Street Menguat Senin (21/7): Nasdaq dan S&P 500 Cetak Rekor Baru
Menarik Dibaca: Sisa 11 Hari Lagi, Tiket Diskon Kereta Api Sudah Terjual 89%
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News