kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45935,51   7,16   0.77%
  • EMAS1.335.000 1,06%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Pasar obligasi korporasi semakin ramai


Rabu, 23 Mei 2018 / 11:09 WIB
Pasar obligasi korporasi semakin ramai
ILUSTRASI. Ilustrasi pasar modal


Reporter: Dimas Andi | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar obligasi korporasi relatif masih menarik di tengah banyaknya sentimen negatif yang membayangi. Buktinya, walau dari sisi nilai transaksi masih rendah, namun volume transaksi obligasi korporasi kini lebih tinggi dari obligasi pemerintah.

Bursa Efek Indonesia (BEI) mencatat, sejak awal tahun, volume transaksi obligasi korporasi di pasar sekunder tumbuh 80,99% dari Rp 17,47 triliun menjadi Rp 31,62 triliun April lalu. Sebaliknya, volume transaksi obligasi pemerintah justru turun 19,77% dari sebesar Rp 566,27 triliun di awal tahun menjadi Rp 454,31 triliun di April lalu.

Analis Fixed Income MNC Sekuritas I Made Adi Saputra menganggap kenaikan volume transaksi obligasi korporasi tahun ini wajar. Pasalnya, obligasi tersebut relatif lebih tahan terhadap tekanan eksternal. Hal ini didukung pula oleh komposisi kepemilikan dana investor asing yang rata-rata cuma sekitar 7,5% dalam beberapa tahun terakhir.

Kondisi berbeda terjadi di pasar obligasi pemerintah yang mana komposisi kepemilikan investor asing mencapai 38% dari total outstanding. Alhasil, tekanan eksternal, seperti ekspektasi kenaikan suku bunga acuan AS yang diikuti oleh tren pelemahan rupiah, membuat pasar obligasi pemerintah rentan terhadap aksi jual investor asing. "Sebagian investor mulai melirik obligasi korporasi karena risiko koreksinya tidak separah obligasi pemerintah," kata Made, Senin (21/5).

Enrico Tanuwidjaja, Head of Economics & Research Finance & Corporate Service UOB Indonesia, menambahkan, tawaran kupon yang lebih tinggi daripada obligasi pemerintah membuat volume transaksi obligasi korporasi terus meningkat. Hal ini juga didukung oleh tren kenaikan yield surat utang negara (SUN), sehingga membuat yield obligasi korporasi mau tak mau menyesuaikan tren tersebut, walau perlahan.

Permintaan naik

Di samping itu, peningkatan volume transaksi obligasi korporasi juga didorong oleh adanya Peraturan dari Bank Indonesia atau PBI No. 20/4/PBI/2018 mengenai rasio intermediasi makroprudensial. Berdasarkan aturan tersebut, bank dimungkinkan membeli surat berharga, seperti obligasi korporasi, dan dapat dihitung sebagai pembiayaan yang disalurkan.

Jika bank tidak mampu memenuhi peraturan tersebut, maka akan dikenakan disinsentif. "Peraturan ini mampu mendorong permintaan obligasi korporasi dari perbankan," ujar Enrico.

Dari segi tenor obligasi korporasi yang diminta, tiap investor pada dasarnya memiliki referensinya tersendiri. Menurut Enrico, investor institusi seperti dana pensiun atau asuransi umumnya kerap membeli obligasi bertenor panjang.

Di sisi lain, karena memiliki karakteristik untuk melakukan trading di pasar sekunder, investor dari perusahaan manajer investasi dan jasa multifinance umumnya memilih investasi di obligasi korporasi bertenor jangka pendek hingga menengah.

Enrico menilai, volume transaksi obligasi korporasi masih bisa meningkat dalam beberapa waktu ke depan. Tapi, kenaikan cenderung terbatas apabila pasar obligasi pemerintah terus koreksi. "Sekalipun tidak seburuk pasar obligasi pemerintah, kalau tekanannya berkelanjutan lama-lama pasar obligasi korporasi bisa koreksi," tutur dia.

Rata-rata imbal hasil investasi obligasi memang terus turun, sebagaimana tercermin dari pergerakan INDOBeX Corporate Total Return. Bila dihitung sejak awal tahun hingga kemarin, investasi obligasi korporasi merugi 0,11%.

Made menilai, peningkatan volatilitas pasar bukan menjadi risiko utama yang mempengaruhi volume transaksi obligasi korporasi. Justru, risiko terbesar dari obligasi korporasi ada pada kondisi perusahaan atau emiten penerbit instrumen tersebut.

Ia memberi contoh, kebijakan kenaikan suku bunga acuan BI 7-day repo rate berpotensi diikuti oleh kenaikan suku bunga kredit. Tapi hal ini juga dapat menimbulkan risiko kredit macet di tengah daya beli masyarakat yang belum pulih.

Imbasnya, kinerja keuangan perbankan terancam memburuk. "Ketika kinerja suatu perusahaan mengalami penurunan, bisa-bisa peringkat utangnya ikut turun sehingga mempengaruhi minat investor membeli obligasi dari perusahaan itu," papar Made.

Dia pun menyarankan agar investor untuk lebih memperhatikan terlebih dahulu fundamental perusahaan penerbit obligasi sebelum membeli instrumen tersebut.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×