Reporter: Yuliana Hema | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) menyentuh titik terendah sepanjang 2025. IHSG ditutup melemah 3,31% atau turun 214,85 poin ke level 6.270,59 pada Jumat (28/2).
Imbasnya, kapitalisasi pasar IHSG ikut tergerus menjadi Rp 10.880 triliun atau setara dengan US$ 656 miliar. Sepanjang hari, investor asing mencetak net sell sebesar Rp 2,91 triliun atau US$ 175,57 juta.
Ini menjadikan level terendah bagi IHSG pasca pandemi Covid-19 mereda. Sebagai gambaran, IHSG sudah terkoreksi sebesar 4,10% dalam tiga tahun terakhir.
Pergerakan IHSG juga sejalan dengan ambruknya nilai tukar rupiah. Pada Jumat (28/2), rupiah spot ditutup di level Rp 16.596 per dolar Amerika Serikat (AS) atau anjlok 0,86% dibanding hari sebelumnya.
Ini merupakan level terburuk rupiah sejak awal Juni 1998. Sekadar mengingatkan, rupiah ditutup di level Rp 16.650 per dolar AS pada 17 Juni 1998.
Baca Juga: Pekan Ini Longsor 7,83%, Tengok Proyeksi IHSG pada Senin (3/3)
Direktur Utama Bursa Efek Indonesia Iman Rachman mengatakan pergerakan indeks dipengaruhi oleh beberapa sentimen, yakni global, domestik dan korporasi.
Dari global, pergerakan ekuitas dipengaruhi oleh Trump 2.0. Di mana Presiden AS Donald Trump kembali memanas dengan kebijakan tarif serta kebijakan The Fed yang bertahan higher for longer.
Di dalam negeri, tekanan juga datang dari keputusan Morgan Stanley yang menurunkan peringkat indeks MSCI Indonesia dari equal-weight menjadi underweight.
Sementara itu, kinerja rilis laporan keuangan emiten juga turut mempengaruhi. Iman bilang, saat ini sudah banyak emiten yang merilis kinerja tahun buku 2024 tetapi kinerjanya di bawah konsensus.
"Walaupun indeks turun, tetapi transaksinya naik karena investor asing masih net sell sepanjang tahun berjalan ini," jelas Iman dalam paparan, Jumat (28/2).
Memang secara year to date (ytd) per Jumat (28/2), rata-rata nilai transaksi IHSG mencapai Rp 11,6 triliun. Rata-rata volume transaksi mencapai 18,56 juta.
Iman mengatakan, jika berkaca dari Trump 1.0 terjadi penguatan dolar, kenaikan inflasi dan menyebabkan suku bunga naik. Ini yang tengah dikaji BEI apakah perlu bantuan dari perusahaan terbuka.
"Apakah perusahaan bisa support dengan buyback dengan buyback emiten menunjukkan kepercayaan diri bahwa harga saat ini masih undervalue," ucapnya.
Baca Juga: Rupiah Ambruk ke Rekor Terburuk Sejak 1998, Ini Sentimen yang Menyeretnya
Iman mencermati saat ini sudah ada beberapa perusahaan yang secara sukarela melakukan buyback, yang akan diajukan dalam Rapat Umum Pemegang Saham (RUPS) dalam waktu dekat.
Pengamat Pasar Modal dari Universitas Indonesia (UI) Budi Frensidy mengatakan, saat ini yang menjadi masalah di pasar modal adalah tidak ada market maker untuk saham-saham big caps yang dijual secara masif oleh investor asing.
"Di sisi lain, kehadiran DPI Danantara tidak akan berefek apa-apa ke pasar saham, tetapi justru bisa negatif jika tidak bersedia menjadi liquidity provider," kata Budi kepada Kontan.
Direktur Infovesta Utama Parto Kawito mengatakan tekanan pada pasar ekuitas sejalan dengan pandangan investor asing, di mana ekonomi Indonesia kurang cerah dibanding negara lain.
Ini tercermin dari penurunan Return on Equity (ROE), laba bersih dan pendapatan. Serta kontribusi industri manufaktur menurun, padahal kata Parto sektor ini bisa mengangkat penghasilan masyarakat.
Menurutnya, sektor UMKM kurang bisa mengangkat ekonomi, karena tidak mampu memberikan gaji besar. Akibatnya, daya beli menurun dan prospek ekonomi dalam negeri berkurang.
"Institusi domestik juga tidak menambah porsi investasinya di saham. Daya beli saham anjlok karena hanya investor ritel yang bertransaksi sehingga tidak kuat menahan gempuran jual asing," ucap Parto.
Baca Juga: Rupiah Anjlok 2,79% di Sepanjang 2025, Penurunan Paling Dalam di Asia
Dia menyarankan pemerintah harus bisa menarik kembali modal asing untuk masuk ke Indonesia dengan berbenah di semua lini sektor. Pemerintah tidak bisa kaku, sombong dan semaunya dalam menetapkan aturan tertentu.
"Tidak bisa kaku dan sombong, maunya menetapkan aturan tertentu. Kalau tidak menarik, maka investor asing tidak masih, maka pemerintah perlu berbuat suatu agar kompetitif," katanya.
Hans Kwee, Co-Founder PasaRDana menambahkan pemerintah perlu membuat kebijakan yang mendukung pasar. Jangan seperti kebijakan gas tiga kilogram beberapa waktu lalu terjadi.
Ketika gas kilogram hilang sama saja meruntuhkan ekonomi arah rumput di Indonesia karena masyarakat kelas bawah. Hans menilai dampaknya sangat membahayakan bagi ekonomi.
"Pemerintah juga harus memperbaiki citra supaya kepercayaan investor asing balik lagi ke Indonesia karena outflow asing sudah cukup besar," ucap Hans.
Sementara untuk investor, Hans menyarankan untuk cicil beli untuk investasi jangka panjang pada sektor keuangan, perbankan, teknologi dan konsumen. Sementara untuk trader tetap disiplin untuk menerapkan cut loss.
Selanjutnya: Kode Redeem FF Hari ini 2 Maret 2025, Jangan Lupa Cek Kode Redeem Terbaru
Menarik Dibaca: Resep Kue Lapis Labu Kuning Tanpa Telur dan Mixer, Cocok Jadi Ide Jualan Takjil
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News