Reporter: Wuwun Nafsiah | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Harga aluminium terancam oleh kenaikan produksi pada paruh kedua tahun ini. Tekanan harga akan semakin kuat apabila The Fed menaikkan tingkat suku bunga.
Mengutip Bloomberg, Kamis (25/8) harga aluminium kontrak pengiriman tiga bulan di London Metal Exchange melemah tipis 0,09% ke level US$ 1.644,5 per metrik ton dibanding sehari sebelumnya. Dalam sepekan terakhir, aluminium tergerus 2,3%.
Ibrahim, Direktur Utama PT Garuda Berjangka menuturkan, China sebagai produsen aluminium terbesar melakukan reformasi komoditas, termasuk mengurangi angka produksi aluminium dalam negeri. Hal tersebut telah menunjukkan hasil.
Berdasarkan data Biro Statistik China, output aluminium China dalam tujuh bulan pertama tahun ini turun 1,5% menjadi 17,98 juta ton. Sementara International Aluminium Institute menunjukkan produksi global dalam tujuh bulan pertama turun 1,2% menjadi 33,12 juta ton.
"Tetapi kondisi fundamental ini belum cukup kuat untuk menjaga kejatuhan harga aluminium apabila The Fed mengumumkan kenaikan suku bunga," kata Ibrahim.
Meski telah memangkas produksi aluminium, kebijakan China ini terlihat tidak konsisten. Tidak hanya di negeri Panda, produsen aluminium di luar China pun berupaya untuk kembali meningkatkan angka produksi.
Beberapa produsen aluminium memperingatkan adanya ancaman kenaikan produksi setelah harga bergerak naik. Produsen akan mengaktifkan kembali smelter yang sebelumnya berhenti beroperasi akibat rendahnya harga aluminium.
Perusahaan aluminium China, Aluminum Corp. of China Ltd. yang juga merupakan perusahaan milik negara memberi pernyataan yang kurang optimistis pada prospek aluminium di semester kedua tahun ini.
Aluminum Corp. memperingatkan, tekanan kelebihan pasokan mungkin berlanjut pada paruh kedua tahun ini lantaran penambahan kapasitas produksi baru. Saat ini tengah berkembang smelter dengan biaya lebih murah sehingga menggeser smelter tua dengan biaya tinggi.
Produsen di luar China, United Co. Rusal juga turut memperingatkan ancaman kenaikan kapasitas di negeri Tembok Raksasa. Perusahaan yang berbasis di Moskow itu memperkirakan aluminium akan mengalami defisit sekitar 1 juta ton tahun ini.
Permintaan yang kuat disertai dengan turunnya pasokan global menjadi penyebab kondisi defisit. Tetapi, harga yang lebih baik menurut Rusal memungkinkan China untuk kembali meningkatkan kapasitas produksi.
Ibrahim memaparkan, produsen aluminium China yang didominasi oleh perusahaan pelat merah memang cenderung meningkatkan produksi pada akhir tahun untuk menjaga persediaan sebelum awal tahun dimulai.
Peningkatan produksi juga dilakukan sebelum The Fed menaikkan suku bunga dan menekan harga aluminium ke level bawah. "Ketika harga sedang tinggi, produksi memang terus ditingkatkan," tuturnya.
Meski demikian, Ibrahim berharap kenaikan produksi China tidak akan signifikan sehingga harga aluminium akhir tahun bisa menyentuh level US$ 1.810,5 per metrik ton.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News