kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.539.000   -8.000   -0,52%
  • USD/IDR 15.791   -57,00   -0,36%
  • IDX 7.505   -68,76   -0,91%
  • KOMPAS100 1.157   -12,64   -1,08%
  • LQ45 913   -8,80   -0,96%
  • ISSI 228   -2,59   -1,12%
  • IDX30 469   -4,51   -0,95%
  • IDXHIDIV20 564   -3,86   -0,68%
  • IDX80 132   -1,34   -1,01%
  • IDXV30 139   -1,60   -1,13%
  • IDXQ30 156   -1,23   -0,78%

Nasib Pasar Saham dan Rupiah Saat Spread Suku Bunga BI dan The Fed Kian Mengecil


Sabtu, 26 Agustus 2023 / 09:45 WIB
Nasib Pasar Saham dan Rupiah Saat Spread Suku Bunga BI dan The Fed Kian Mengecil


Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli

KONTAN.CO.ID -  JAKARTA. Selisih suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) dan The Fed berpotensi makin menyempit, bahkan bisa nyaris 0%. Kondisi ini terjadi jika BI tetap mempertahankan tingkat suku bunga acuan, sedangkan bank sentral Amerika Serikat (AS) kembali mengerek Fed Fund Rate (FFR).

Saat ini suku bunga acuan BI ada di posisi 5,75%, sementara FFR ada di level 5,25% - 5,50%. Sejumlah analis dan praktisi pasar modal memprediksi BI masih tetap mempertahankan tingkat suku bunga acuan di level 5,75% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 23 - 24 Agustus 2023.

Dengan begitu, spread atau gap perbedaan antara suku bunga BI dan The Fed masih pada kisaran 0,25%. Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus mengamati spread antara suku bunga acuan BI dan The Fed semakin menyempit.

Pada tahun 2020, spread mencapai sekitar 4,25%, lalu terus menipis dengan titik stabil pada jarak 3,25%. Penurunan spread juga terkait menguatnya fundamental Indonesia. Hanya saja, secara peringkat Indonesia masih di level BBB.

Baca Juga: Asing Catat Net Sell Jumbo Rp 2,20 Triliun Sepekan, Cek Saham yang Banyak Dilego

Sedangkan peringkat AS ada di posisi AAA. "Ketika spread di antara keduanya mengecil atau bahkan tidak ada jarak, investor akan memilih negara dengan peringkat AAA sebagai tujuan investasinya," kata Maximilianus kepada Kontan.co.id, Minggu (20/8).

Di tengah spread saat ini yang hanya berjarak 0,25%, The Fed berpotensi menaikkan suku bunga pada Federal Open Market Committee (FOMC) bulan September. Sehingga spread di antara keduanya berpeluang akan menjadi 0%.

Akibatnya, capital outflow berpotensi semakin deras. Kondisi ini bisa menyeret pelemahan nilai tukar rupiah maupun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). "Meskipun terbatas karena kuatnya fundamental Indonesia," imbuh Maximilianus.

Research & Education Coordinator Valbury Asia Futures Nanang Wahyudin menimpali, banyak kalangan yang memprediksi pada tahun ini The Fed akan menaikkan suku bunga sekali lagi. Kenaikan diperkirakan terjadi pada FOMC September atau di bulan November.

Baca Juga: Powell: The Fed Mungkin Perlu Menaikkan Suku Bunga Lebih Lanjut

Dengan begitu, akan banyak aliran dana yang keluar dan memburu dolar, sehingga rupiah dan IHSG mengalami tekanan. Namun Nanang menilai kondisi ini hanya bersifat sementara. Pasar melihat ruang kenaikan suku bunga akan berakhir dan terbuka ruang terjadi pemangkasan pada tahun depan. 

"Jika sudah waktunya The Fed kembali menaikkan suku bunga, diperkirakan reaksi pasar tidak begitu besar karena sudah di antisipasi sebelumnya atau price in," terang Nanang.

Founder dan CEO Finvesol Consulting Fendi Susiyanto bahkan meyakini spread tipis suku bunga BI dan The Fed tidak akan memberi dampak yang signifikan bagi pasar modal maupun rupiah. Asalkan, tingkat inflasi di Indonesia maupun AS berhasil terjaga sesuai target.

"Fokus masing-masing ada di pembenahan inflasi. Tidak terlalu banyak berpengaruh terhadap prospek pasar modal Indonesia maupun nilai tukar rupiah, selama keduanya on track dari target," ungkap Fendi.

Arah IHSG dan Rupiah

Fendi berpandangan pergerakan IHSG maupun nilai tukar rupiah saat ini masih terbilang wajar. Menurut dia, pelemahan IHSG belakangan ini masih berupa koreksi normal akibat pelaku pasar melakukan aksi profit taking, belum menjadi sinyal terjadi capital outflow secara signifikan.

"Ini masih aksi profit taking yang biasa terjadi dalam satu-dua pekan, minggu depan bisa balik lagi. Kecuali jika IHSG turun signifikan hingga ke bawah 6.600, itu bisa jadi sinyal ada capital outflow," imbuh Fendi.

Research & Consulting Manager Infovesta Utama Nicodimus Kristiantoro menambahkan, pelemahan IHSG sebagian besar didorong oleh meningkatnya risiko pasar terhadap langkah hawkish The Fed pada FOMC Meeting September. Namun, hingga pelaksanaan FOMC, IHSG masih punya peluang bergerak lebih stabil.

Baca Juga: Rupiah Kembali Melemah, Dekati Level Rp 15.300 Per Dolar AS pada Jumat (25/8)

Agar itu terjadi, syaratnya ada dua kondisi. Pertama, FFR tidak naik pada bulan depan. Kedua, ada kenaikan FFR sebanyak 25 bps, tapi disertai kebijakan The Fed yang lebih dovish dengan langkah menghentikan kenaikan suku bunga. 

Nico pun memprediksi IHSG masih punya peluang untuk kembali menembus level 7.000, asalkan sentimen domestik masih kondusif. Dalam jangka pendek, IHSG diprediksi bergerak dengan support 6.800 dan resistance di 6.950.

Catatan Nico, ketika spread BI dan The Fed semakin menyempit dan terjadi capital outflow, kondisi ini bakal menjadi katalis negatif bagi saham-saham big caps. "Mereka punya tren pergerakan investor asing yang besar, sehingga risiko potensi outflow asing akan lebih besar," jelasnya.

Pelaku pasar juga mesti cermat dalam memilah saham yang sensitif terhadap perubahan suku bunga, seperti di sektor perbankan, teknologi dan properti. Di antara  sektor tersebut, Nico masih merekomendasikan koleksi saham BBRI dengan resistance terdekat di 5.700 dan short term trading BELI target harga di Rp 466.

Analis Investindo Nusantara Sekuritas Pandhu Dewanto memprediksi pada pekan RDG BI, IHSG akan bergerak dalam rentang 6.800 - 6.971. Untuk sektor yang sensitif terhadap perubahan suku bunga, Pandhu masih optimistis terhadap outlook sektor perbankan yang bisa mempertahankan kinerja solid pada semester I-2023.

Baca Juga: Mengenal Instrumen Moneter Baru BI Dalam Menjaga Stabilitas Rupiah

Sehingga jika terjadi koreksi, bisa menjadi peluang buy on weakness. "Menarik diperhatikan saham BBCA, BBRI, BMRI dan BBNI sebagai market leader, kinerja kuat dan memiliki likuiditas yang baik," kata Pandhu.

 

Kinerja sektor properti dan otomotif juga ditaksir masih apik. Hanya saja, perlu waspada karena sudah naik tinggi sejak awal tahun sehingga pergerakan sahamnya cukup rawan. Pelaku pasar bisa mempertimbangkan sell on strength terlebih dulu untuk jangka pendek, sambil menunggu momentum yang lebih baik setelah koreksi.

Saham yang bisa dicermati adalah CTRA, BSDE, KIJA, IMAS, dan AUTO. Sektor sensitif suku bunga lainnya adalah teknologi, yang menurut Pandhu masih belum menarik dengan rata-rata tingkat profitabilitas yang masih lemah.

Sementara itu, di tengah penantian pasar terhadap arah suku bunga BI dan The Fed ini, Nanang memprediksi nilai tukar rupiah masih bergerak di zona Rp 15.000. Area Rp 15.380 sampai dengan Rp 15.550 menjadi area psikologis.

Sedangkan Nico melihat potensi rupiah menguji level Rp 15.355 pada pekan ini, dengan target penguatan di level Rp 15.200 per dolar AS. "Setelah sentimen pasca FOMC September diproyeksikan lebih terukur, nilai rupiah akan mencatat penguatan yang lebih stabil pada kuartal keempat," tandas Nico.

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media


TERBARU
Kontan Academy
Advokasi Kebijakan Publik di Era Digital (Teori dan Praktek) Mengenal Pentingnya Sustainability Reporting

[X]
×