Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Selisih suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) dan The Fed berpotensi makin menyempit, bahkan bisa nyaris 0%. Kondisi ini terjadi jika BI tetap mempertahankan tingkat suku bunga acuan, sedangkan bank sentral Amerika Serikat (AS) kembali mengerek Fed Fund Rate (FFR).
Saat ini suku bunga acuan BI ada di posisi 5,75%, sementara FFR ada di level 5,25% - 5,50%. Sejumlah analis dan praktisi pasar modal memprediksi BI masih tetap mempertahankan tingkat suku bunga acuan di level 5,75% dalam Rapat Dewan Gubernur (RDG) pada 23 - 24 Agustus 2023.
Dengan begitu, spread atau gap perbedaan antara suku bunga BI dan The Fed masih pada kisaran 0,25%. Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas, Maximilianus Nico Demus mengamati spread antara suku bunga acuan BI dan The Fed semakin menyempit.
Pada tahun 2020, spread mencapai sekitar 4,25%, lalu terus menipis dengan titik stabil pada jarak 3,25%. Penurunan spread juga terkait menguatnya fundamental Indonesia. Hanya saja, secara peringkat Indonesia masih di level BBB.
Baca Juga: Ini Sederet Risiko yang Membayangi Pergerakan Rupiah Tahun Depan
Sedangkan peringkat AS ada di posisi AAA. "Ketika spread di antara keduanya mengecil atau bahkan tidak ada jarak, investor akan memilih negara dengan peringkat AAA sebagai tujuan investasinya," kata Maximilianus kepada Kontan.co.id, Minggu (20/8).
Di tengah spread saat ini yang hanya berjarak 0,25%, The Fed berpotensi menaikkan suku bunga pada Federal Open Market Committee (FOMC) bulan September. Sehingga spread di antara keduanya berpeluang akan menjadi 0%.
Akibatnya, capital outflow berpotensi semakin deras. Kondisi ini bisa menyeret pelemahan nilai tukar rupiah maupun Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG). "Meskipun terbatas karena kuatnya fundamental Indonesia," imbuh Maximilianus.
Research & Education Coordinator Valbury Asia Futures Nanang Wahyudin menimpali, banyak kalangan yang memprediksi pada tahun ini The Fed akan menaikkan suku bunga sekali lagi. Kenaikan diperkirakan terjadi pada FOMC September atau di bulan November.
Baca Juga: Pekan Ketiga Agustus 2023, Arus Modal Asing Hengkang Rp 6,79 Triliun
Dengan begitu, akan banyak aliran dana yang keluar dan memburu dolar, sehingga rupiah dan IHSG mengalami tekanan. Namun Nanang menilai kondisi ini hanya bersifat sementara. Pasar melihat ruang kenaikan suku bunga akan berakhir dan terbuka ruang terjadi pemangkasan pada tahun depan.
"Jika sudah waktunya The Fed kembali menaikkan suku bunga, diperkirakan reaksi pasar tidak begitu besar karena sudah di antisipasi sebelumnya atau price in," terang Nanang.
Founder dan CEO Finvesol Consulting Fendi Susiyanto bahkan meyakini spread tipis suku bunga BI dan The Fed tidak akan memberi dampak yang signifikan bagi pasar modal maupun rupiah. Asalkan, tingkat inflasi di Indonesia maupun AS berhasil terjaga sesuai target.
"Fokus masing-masing ada di pembenahan inflasi. Tidak terlalu banyak berpengaruh terhadap prospek pasar modal Indonesia maupun nilai tukar rupiah, selama keduanya on track dari target," ungkap Fendi.