Reporter: Wahyu Tri Rahmawati | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak semakin panas. Kamis (17/5) pukul 7.25 WIB, harga minyak west texas intermediate (WTI) untuk pengiriman Juni 2018 di New York Mercantile Exchange naik 0,35% ke US$ 71,74 per barel ketimbang harga kemarin pada US$ 71,49 per barel.
Harga minyak WTI naik dalam empat hari berturut-turut dalam sepekan perdagangan. Harga ini pun merupakan level tertinggi sepanjang 2018 dan level tertinggi sejak Desember 2014. Secara year to date, harga minyak menguat 19,45%.
Minyak brent pun sama panasnya. Harga minyak acuan untuk pengiriman Juli 2018 yang diperdagangkan di ICE Futures ini berada di US$ 79,41 per barel, naik 0,16% jika dibandingkan dengan penutupan kemarin pada US$ 79,28 per barel.
Sejalan dengan minyak WTI, harga minyak brent pun naik dalam empat hari perdagangan berturut-turut. Harga minyak brent menguat 21,27% sejak awal tahun dan mencatat level tertinggi baru sejak Desember 2014.
OPEC melihat, kenaikan harga minyak menuju US$ 80 per barel sebagai lonjakan jangka pendek. Lonjakan ini lebih disebabkan oleh faktor geopolitik, bukan karena kekurangan pasokan.
Perwakilan OPEC mengatakan, organisasi pengekspor minyak ini tidak buru-buru mengubah kesepakatan pemangkasan produksi. "Harga minyak makin tinggi hanya karena tensi sanksi Amerika Serikat (AS) atas Iran dan tensi Timur Tengah, bukan karena keseimbangan pasar minyak," ungkap perwakilan OPEC yang enggan disebut namanya, kepada Reuters.
Sumber OPEC lainnya menyebut, harga bisa mencapai level US$ 80 per barel dan turun lagi. Dia menambahkan, harga minyak yang tinggi saat ini belum menimbulkan kekhawatiran.
Bulan lalu, Presiden AS Donald Trump menyebut, OPEC menyebabkan harga minyak melonjak secara artifisial. Harga minyak justru makin melonjak ketika Trump memutuskan untuk keluar dari kesepakatan pelonggaran sanksi Iran.
Penetapan kembali sanksi ini akan mengurangi pasokan minyak dari Iran. Selama ini, Iran mengontribusi sekitar 4% pasokan minyak.
Selain Iran, pasokan minyak pun turun akibat produksi minyak Venezuela yang merosot. Produksi minyak Venezuela turun karena kisruh politik dalam negeri dan krisis ekonomi.
Sementara itu, Iran mengungkapkan, para eksportir minyak seharusnya menargetkan harga di US$ 60 per barel jika mengingat penambahan pasokan shale oil dari AS. "Ketika harga naik karena kekhawatiran geopolitik dan bukan karena permintaan dan penawaran, harga menjadi tidak masuk akal," ungkap seorang pejabat Iran.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News