Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Investor disarankan untuk wait and see dan jeli sebelum masuk pasar obligasi. Maklum, yield Surat Berharga Negara (SBN) 10 tahun, yang menjadi acuan diperkirakan akan turun tahun ini.
Berdasarkan Trading Economics, yield SBN 10 tahun berada di level 7,13% pada Jumat (3/1). Dari awal tahun yield naik 0,11%, sementara sebulan terakhir naik 0,23%.
Associate Director Fixed Income Anugerah Sekuritas, Ramdhan Ario Maruto menuturkan investor masih menghadapi kegamangan dengan kepemimpinan Trump. Dia mencontohkan saat kepemimpinan Trump sebelumnya terjadi perang dagang dan menyebabkan yield di emerging market meningkat.
Meski begitu, dia menilai, penurunan akan cenderung lebih terbatas karena sudah turun cukup dalam. "Tahun lalu, yield bahkan sempat berada di bawah 6,5% dan sekarang di 7,1%," ujarnya kepada Kontan.co.id, Jumat (3/1).
Baca Juga: Akhir Tahun, Pemerintah Getol Kumpulkan Dana untuk 2025 Lewat Prefunding
Menurut Ramdhan, potensi pemangkasan suku bunga the Fed juga berpotensi mendorong penurunan yield obligasi. "Pandangan positif yield direntang 6,5%-6,7% dan kalau secara konservatif di rentang 6,9%-7%," lanjutnya.
Analis Fixed Income Sucorinvest Asset Management (Sucor AM) Alvaro Ihsan juga memproyeksikan yield SBN 10 tahun akan turun ke level 6,7%-6,9%. Sementara untuk yield SBN 5 tahun direntang 6,4%-6,6%.
Namun risiko yang perlu diperhatikan adalah ekspektasi pasar terhadap angka inflasi dan pertumbuhan ekonomi Amerika Serikat (AS) yang lebih tinggi mendorong yield US treasury kembali meningkat. Selain itu, supply risk dari penerbitan SBN tahun ini yang cukup besar juga dapat mempengaruhi pergerakan yield SBN sepanjang tahun.
Sebelumnya, pemerintah menargetkan pembiayaan utang melalui SBN sebesar Rp 642,6 triliun di 2025. Angka itu naik 42,2% dibandingkan outlook penerbitan SBN tahun 2024 sebesar Rp 451,9 triliun.
Dari sisi investor, penurunan yield bisa menjadi keuntungan tersendiri karena akan mendapatkan gain yang lebih tinggi karena harga obligasi naik. Namun, bagi investor obligasi lama, penurunan yield justru akan menurunkan harga obligasinya.
Nah, karena yield diperkirakan akan turun, kedua analis menyarankan investor untuk wait and see dan jeli jika ingin masuk pasar obligasi.
Baca Juga: Pemerintah Targetkan Penerbitan SBN Melesat 42% Menjadi Rp 642,6 Triliun di 2025
Alvaro menerangkan, ketika investor memasuki obligasi dengan yield yang tinggi, potensi gain cenderung lebih besar. Hal itu seiring dengan perolehan current yield yang lebih tinggi serta potensi apresiasi harga apabila obligasi dibeli di bawah harga par/discount.
Karenanya, investor perlu mencermati kondisi makroekonomi maupun sentimen pasar ketika ingin berinvestasi pada obligasi. "Selain itu, investor juga dapat melakukan matching antara durasi investasi dengan durasi obligasi yang akan dibeli, sehingga risiko pergerakan harga akibat interest risk bisa diminimalisir," jelasnya.
Dari risiko, Ramdhan menuturkan obligasi pemerintah akan lebih aman dengan ketidakpastian saat ini. Maklum, obligasi pemerintah cenderung lebih likuid dan dijamin pemerintah, tetapi memberikan gain yang relatif lebih rendah dibandingkan obligasi korporasi yang memiliki credit risk tetapi menawarkan imbal hasil yang lebih tinggi.
Namun, untuk obligasi korporasi Alvaro menyebutkan obligasi yang memiliki rating AAA hingga AA menawarkan imbal hasil yang menarik. "Investor perlu melakukan analisis terlebih dahulu mengenai fundamental bisnis, keuangan, dan profil rating kredit dari obligasi korporasi," imbuhnya.
Selanjutnya: Emiten Ritel Pasang Strategi Diversifikasi dan Rebranding, Cek Rekomendasi Sahamnya
Menarik Dibaca: Cara Bijak Investasi di Pasar Saham, Ini Tips dari BNI Sekuritas!
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News