Reporter: Melysa Anggreni | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pasar valuta asing Asia tengah berada dalam fase sensitif, dengan pergerakan yang sangat dipengaruhi dinamika kebijakan global dan tensi geopolitik.
Ketahanan masing-masing mata uang terhadap dolar AS sangat bergantung pada eksposur global dan respons terhadap kebijakan Presiden AS Donald Trump yang kerap berubah-ubah.
Baca Juga: Kebijakan Mencla-Mencle Donald Trump Bisa Dukung Penguatan Rupiah, Selasa (3/6)
Mengutip data Bloomberg, Senin (2/6), baht Thailand memimpin penguatan mata uang Asia terhadap dolar AS dengan kenaikan 0,10% dalam sepekan. Disusul dolar Taiwan (TWD) yang menguat 0,07%, dan yen Jepang (JPY) sebesar 0,03%.
Sementara itu, sebagian besar mata uang Asia lainnya masih tertahan. Ringgit Malaysia (MYR) terkoreksi 0,90%, peso Filipina turun 0,51%, dan won Korea (KRW) melemah 0,35% dalam sepekan.
Tekanan Global Masih Dominan
Kepala Ekonom Bank Permata Josua Pardede menjelaskan, fluktuasi ini dipicu oleh sentimen global, terutama kebijakan Trump yang dinilai tidak konsisten.
“Dolar AS sempat menguat pasca pengadilan perdagangan internasional memblokir sebagian besar tarif Trump. Namun, penguatan ini bersifat sementara,” kata Josua kepada Kontan.co.id, Senin (2/6).
Baca Juga: Kurs Rupiah Menguat Tipis di Awal Juni Saat Surplus Neraca Dagang Menyempit
Menurut Josua, keputusan mahkamah banding yang memberikan penangguhan hingga 9 Juni 2025 justru memicu aksi jual terhadap aset berdenominasi dolar AS.
Dampaknya, indeks dolar (DXY) tercatat turun 0,50% secara harian ke level 98,8, dan sudah terkoreksi 0,10% secara mingguan.
“Ekspektasi pemangkasan suku bunga The Fed dan data manufaktur Tiongkok yang lebih baik dari perkiraan juga menekan dolar AS,” tambah Josua.
Namun, ia mengingatkan bahwa penguatan mata uang Asia ini masih rapuh. Ancaman kebijakan proteksionis dari AS, seperti rencana pajak atas aset keuangan asing dalam UU pajak terbaru, masih menjadi risiko utama.
“Dolar AS masih berpotensi menguat secara selektif terhadap mata uang negara-negara yang terdampak langsung tarif, seperti CNY, KRW, dan IDR,” jelasnya.
Baca Juga: Rupiah Jisdor Menguat 0,02% ke Rp 16.297 per Dolar AS pada Senin (2/6)
Strategi: Fokus pada Safe Haven dan Neraca Surplus
Josua menilai, dolar Taiwan (TWD) paling stabil secara teknikal karena penguatan yang konsisten.
Sementara yen Jepang (JPY) masih relevan sebagai safe haven jika tensi geopolitik dan kekacauan perdagangan kembali meningkat.
“Strategi bijak saat ini adalah selective positioning, fokus pada mata uang safe haven dan negara dengan surplus transaksi berjalan serta kebijakan fiskal-moneter yang stabil,” ujar Josua.
Ancaman Tarif Baru, Pasar Bergolak
Analis Doo Financial Futures Lukman Leong menambahkan, investor harus tetap waspada karena arah pasar dapat berubah cepat hanya dalam hitungan hari.
“Pekan lalu dolar AS sempat melemah karena ancaman tarif baru terhadap Uni Eropa, tapi kembali menguat dua hari kemudian saat Trump menunda keputusannya,” katanya.
Pola serupa terjadi pekan ini. Trump kembali mengancam tarif 50% untuk baja dan aluminium, yang rencananya diumumkan dalam dua hari ke depan.
Baca Juga: Rupiah Spot Ditutup Menguat 0,46% ke Rp 16.253 per Dolar AS pada Senin (2/6)
Menurut Lukman, dolar Singapura (SGD) juga layak dipertimbangkan sebagai safe haven, mengingat penguatannya yang relatif stabil.
Ke depan, prospek mata uang Asia tetap positif, seiring kecenderungan investor global yang mulai menjauhi dolar AS.
Terlebih jika nilai tukar menjadi bagian dari perundingan dagang dengan AS, seperti yang pernah terjadi pada TWD dan KRW.
Selanjutnya: Humpuss Intermoda (HITS) Dapat Restu Go Private dari Pemegang Saham
Menarik Dibaca: Moms Wajib Lakukan 4 Hal Ini Setelah Berhubungan Seks Untuk Kebersihan Vagina Ya
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News