Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Kinerja PT Vale Indonesia Tbk (INCO) diproyeksikan turun pada tahun 2024 ini dibandingkan tahun 2023. Hal ini disebabkan turunnya harga nikel akibat pasokan yang berlebih.
Research Analyst MNC Sekuritas Alif Ihsanario mengatakan, sentimen yang membayangi penambang nikel adalah kondisi kelebihan pasokan dari upaya hilirisasi yang agresif di Indonesia.
Pasokan yang berlebih karena persediaan rantai pasokan yang sudah menumpuk, ditambah dengan denyut ekonomi yang lesu dari China yang membuat harga anjlok. “Teka-teki kelebihan pasokan ini diperkirakan akan berlanjut setidaknya hingga 2025,” tulisnya dalam riset, Selasa (20/2).
Baca Juga: Vale (INCO) Menyebut Belum Ada Perjanjian Terkait Harga Divestasi 14% Saham
Karenanya, kinerja INCO tahun ini diperkirakan akan tertekan. MNC Sekuritas memperkirakan pendapatan perseroan turun 18,69% menjadi US$ 1 miliar dan laba bersih turun 49,69% menjadi US$ 138 juta.
Prospek INCO juga tertahan karena ada juga kekhawatiran mengenai berkurangnya permintaan nikel karena meningkatnya preferensi industri kendaraan listrik terhadap baterai Lithium Ferro-Phosphate (LFP). Hal ini karena LFP memiliki siklus hidup yang lebih tinggi dan risiko yang lebih rendah dari termal.
Berbagai sumber, Fastmarkets dan ARK Investment telah menunjukkan kecenderungan bahwa baterai LFP akan semakin lazim di masa depan.
Pada 2033, baterai LFP diperkirakan akan mendominasi 48% pangsa pasar EV, energy storage system dan elektronik konsumen. Selanjutnya baru diikuti oleh baterai NMC sebesar 43%.
Baca Juga: Simak Rekomendasi dan Pilihan Saham Untuk Perdagangan Selasa (20/2)
Meski begitu, Alif melihat pasar EV di barat masih mendukung baterai NMC karena adanya kekhawatiran akan jarak tempuh.
Selain itu, menurut McKinsey, sel NMC811 sudah memiliki biaya bahan baku yang sama dengan LFP. Kesenjangan harga lebih tepat dikreditkan ke premi harganya, termasuk biaya produksi dan depresiasi, serta premi nilai tambah dan laba.
Pada 2021, premi harga terhadap biaya bahan baku untuk sel NMC811 mencapai sekitar 80%, jauh lebih besar daripada LFP yang hanya sekitar 35%. “Harga akan menurun secara signifikan atau tidak tergantung pada kelonggaran kebijakan IRA di masa depan dengan memperhatikan implikasi FEOC,” paparnya.
Dari harga saham, Alif mencermati bahwa dari basis tahun 2020, harga saham INCO telah mengungguli imbal hasil perusahaan sejenisnya, terutama selama tekanan LME pada 2022.
“Yang telah kami lihat selama beberapa bulan terakhir adalah konsolidasi harga saham INCO dalam kaitannya dengan indeks blended peers-nya, yang sebagian besar didorong oleh fundamental nikel yang goyah,” terangnya.
Menurutnya, hal tersebut membuka jalan bagi harga divestasi yang terdiskon 23,3% atau Rp 3.070 per saham terhadap TTM PBV INCO sebesar 0,95 kali, atau 31,3% terhadap median TTM PBV perusahaan tambang nikel sebesar 1,06 kali.
Baca Juga: Proyek Smelter Vale (INCO) Bakal Dievaluasi Pasca Divestasi Saham Rampung
Terlepas dari itu, ia menilai koreksi harga saham INCO kemungkinan terlalu agresif jika dibandingkan dengan harga indeks gabungan perusahaan sejenis.
Hal ini juga tercermin dari TTM EV/EBITDA yang relatif terdiskon, sekitar 3,6 kali dibandingkan rata-rata peers 6 kali dan juga konsensus EV/EBITDA ke depan di 4,8 kali dibandingkan rata-rata peers di 6,7 kali pada 2024.
MNC Sekuritas merekomendasikan hold INCO dengan target harga Rp 3.850.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News