Reporter: Pulina Nityakanti | Editor: Ignatia Maria Sri Sayekti
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sektor infrastruktur masih rapuh. Hal itu tercermin dari kinerja IDX Infrastructure (IDX Infra) yang ambruk 13,60% sejak awal tahun alias year to date (YTD).
Jika dibandingkan dengan kinerja Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG), pelemahan IDX Infra jauh lebih dalam. Sebab, IHSG turun hanya 6,80% YTD. IDX Infra pun menjadi indeks yang berkinerja paling buruk kedua sejak awal tahun hingga hari ini.
Retail Equity Analyst PT Indo Premier Sekuritas (IPOT), Indri Liftiany Travelin Yunus melihat, penurunan yang terjadi pada IDX Infra disebabkan oleh penurunan signifikan saham PT Barito Renewables Energy Tbk (BREN).
BREN menjadi salah satu saham yang memiliki bobot paling besar dalam indeks tersebut. Tercatat, saham BREN telah mengalami penurunan sebesar 32,61% YTD.
Penurunan yang terjadi pada saham BREN disebabkan oleh aksi jual investor secara besar-besaran yang terjadi pada awal bulan Februari 2025.
“Hal itu dipicu oleh MSCI yang mengumumkan tidak mempertimbangkan saham BREN, PT Petrosea Tbk (PTRO), dan PT Petrindo Jaya Kreasi Tbk (CUAN) untuk masuk ke dalam rebalancing indeks MSCI,” ujarnya kepada Kontan, Senin (10/3).
Indri melihat, secara garis besar, saat ini belum ada sentimen yang cukup kuat untuk mendorong sektor infrastruktur bangkit dari keterpurukannya. Selain itu, mayoritas saham emiten yang berada dalam sektor infrastruktur saat ini masih berada dalam kondisi downtrend.
Dalam kondisi seperti ini, Indri pun menyarankan kepada para pelaku pasar untuk wait and see terlebih dahulu pada emiten konstituen IDXInfra.
“Ini mengingat kondisi pasar yang masih belum stabil dan belum ada sentimen positif yang mampu mendorong IDX Infra untuk bangkit,” ungkapnya.
Baca Juga: Ini Persiapan Nusantara Infrastructure (META) Sambut Periode Ramadan & Lebaran 2025
Investment Analyst Infovesta Kapital Advisori, Ekky Topan melihat, kinerja emiten konstruksi masih menghadapi tekanan yang cukup berat. Bahkan, beberapa di antaranya mengalami gagal bayar dan ditambah dengan penurunan pagu anggaran infrastruktur.
“Hal ini membuat pemulihan sektor konstruksi dalam waktu dekat masih sangat sulit terjadi,” ujarnya kepada Kontan, Senin (10/3).
Selain itu, penurunan pada saham infrastruktur energi terbarukan seperti BREN, yang sebelumnya menjadi salah satu pendorong sektor ini, turut memperberat kondisi IDXInfra. Emiten telekomunikasi juga belum menunjukkan tanda-tanda pembalikan arah, bahkan masih terus mengalami tekanan.
”Dengan situasi seperti ini, pemulihan sektor infrastruktur menjadi tantangan tersendiri,” tuturnya.
Namun, secara fundamental, sektor IDXInfra masih memiliki prospek pemulihan dalam jangka menengah hingga panjang. Terutama, didorong oleh sektor telekomunikasi dan energi.
Sektor telekomunikasi masih memiliki ruang pertumbuhan yang cukup besar, didukung oleh konsumsi data yang terus meningkat serta pertumbuhan jumlah pengguna internet.
Emiten seperti PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM), PT Sarana Menara Nusantara Tbk (TOWR), dan PT Indosat Tbk (ISAT) masih memiliki prospek yang baik dalam jangka panjang.
“Terutama juga PT Tower Bersama Infrastructure Tbk (TBIG), yang saat ini masih menunjukkan tren bullish,” paparnya.
Sektor infrastruktur energi juga memiliki potensi pertumbuhan. Terutama, pada emiten seperti PT Pertamina Geothermal Energy Tbk (PGEO), PT Perusahan Gas Negara Tbk (PGAS), PT Jasa Marga Tbk (JSMR), dan PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC), yang mendapat dukungan dari ekspansi energi dan proyek hilirisasi.
Namun, tantangan terbesar tetap ada pada emiten konstruksi, seperti PT Waskita Karya Tbk (WSKT), PT Wijaya Karya Tbk (WIKA), PT Adhi Karya Tbk (ADHI), dan PT PP Tbk (PTPP). Sebab, masih menghadapi tekanan keuangan dan restrukturisasi bisnis.
Alhasil, Ekky belum memberikan rekomendasi untuk emiten konstituen IDXInfra. “Sampai ada perbaikan dalam sektor ini, pemulihan IDXInfra secara keseluruhan masih akan berlangsung secara bertahap,” ungkapnya.
Head of Research Kiwoom Sekuritas, Sukarno Alatas melihat, lima emiten konstituen IDX Infra yang berkinerja paling tinggi secara YTD adalah PT Citra Marga Nusaphala Persada Tbk (CMNP), PT Remala Abadi Tbk (DATA), TBIG, PT Sinergi Inti Andalan Prima Tbk (INET), dan PT Smartfren Telecom Tbk (FREN).
Saham CMNP naik 44,76% YTD dengan bobot pergerakan terhadap indeks 5,7%. Saham DATA terbang 151,61% YTD dengan bobot pergerakan terhadap indeks 2,50%. Sementara, saham TBIG naik 4,76% YTD dengan bobot pergerakan terhadap indeks 1,69%.
“Penyebab kenaikan karena memang ada berita positif terkait masing-masing emiten. Misalnya, untuk DATA ada penambahan porsi saham atas DATA dan hasil laporan keuangan tahun 2024 naik signifikan,” ujarnya kepada Kontan, Senin (10/3).
Sedangkan, lima saham yang berkinerja paling buruk di indeks ini adalah ISAT, BREN, PT Surya Semesta Internusa Tbk (SSIA), TOWR, dan TLKM.
Saham ISAT amblas 37,50% YTD dengan bobot pergerakan terhadap indeks 25,07%. BREN turun 32,35% YTD dengan bobot pergerakan terhadap indeks 22,75%. Sedangkan SSIA turun 35,69% YTD dengan bobot pergerakan terhadap indeks 13,24%.
“Penyebab turunnya saham itu selain minim sentimen positif, ada faktor penurunan kinerja dan sentimen eksternal yang membuat saham yang memiliki bobot cukup besar dilego asing,” ungkapnya.
Baca Juga: Simak Prospek Kinerja Emiten Konstruksi Swasta Usai Efisiensi Anggaran Infrastruktur
Prospek kinerja IDXInfra ke depan masih menarik, mengingat secara valuasi indeks ini juga sudah diperdagangkan di bawah rata-rata price to earning ratio 5 tahun (AVG PE 5Y) PE Est 13,2x dibandingkan AVG 5Y 20x.
Di sisi lain, sentimen negatif untuk emiten sektor infrastruktur sangat kuat, karena penurunan anggaran infrastruktur. Namun, masih ada peluang atau sentimen positif lain yang bisa mengerek kinerja IDXInfra.
“Seperti, harga sudah turun dalam sehingga membuat valuasi lebih menarik, pemulihan kinerja fundamental dan pemulihan ekonomi, terutama di sektor infrastruktur,” katanya.
Prospek kinerja saham-saham konstituennya masih menarik lantaran valuasi yang menarik. Subsektor transportasi, infrastruktur, telekomunikasi, dan utilities memiliki peluang tumbuh.
Sedangkan, subsektor heavy constructions & civil engineering bisa tertekan. Sebab, masih banyak masalah di emiten BUMN Karya dan penurunan anggaran di bagian konstruksi secara signifikan.
“Tapi, potensi merger emiten BUMN Karya, jika implementasinya bisa lebih cepat dan berhasil, bisa membuat potensi,” katanya.
Menurut Sukarno, JSMR dinilai menarik lantaran harga saat ini karena diperdagangkan di PE 7x, atau di bawah PE rata-rata lima tahun di 14,5x. Sementara, price to book value (PBV) ada di level 0,8x atau di bawah PBV rata-rata lima tahun di 1,3x.
Alhasil, rekomendasi beli jangka panjang disematkan untuk JSMR dengan target harga Rp 5.200 per saham. Bisa juga trading buy jangka pendek dengan target harga Rp 4.130 – Rp 4.180 per saham.
“Selain itu, ada potensi pertumbuhan pendapatan dan perbaikan di laba bersih, dengan asumsi perbaikan beban keuangan bisa turun setelah penurunan suku bunga dan total utang bank,” tuturnya.
Baca Juga: Prajogo Pangestu Borong Saham Barito Renewables Energy (BREN), Ini Tujuannya
Selanjutnya: HSBC Downgrades Saham AS, Beralih Optimis ke Saham Eropa
Menarik Dibaca: Prakiraan Cuaca Jakarta Besok (11/3): Cerah hingga Hujan Berawan
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News