Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak mentah dunia bergerak menanjak pada awal tahun 2025. Situasi ini menjadi sentimen penggerak harga saham emiten minyak dan gas (migas). Tapi, perlu berhati-hati karena fluktuasi harga minyak masih cukup kencang.
Merujuk Trading Economics, dalam sebulan terakhir harga minyak West Texas Intermediate (WTI) melonjak 9,6% ke level US$ 78,6 per barel. Sedangkan Brent melompat 8% ke area harga US$ 80,7 per barel hingga perdagangan Selasa (14/1).
Analis Indo Premier Sekuritas Ryan Winipta dan Reggie Parengkuan menyoroti sanksi Amerika Serikat (AS) terhadap industri minyak Rusia telah mengerek harga minyak Brent ke kisaran US$ 81 per barel atau menanjak sekitar 9% secara year to date.
Sanksi AS terhadap Rusia termasuk sektor jasa, perusahaan minyak Gazprom Neft dan Surgutneftegas, serta lebih dari 180 kapal tanker.
Kondisi ini memunculkan kekhawatiran adanya gangguan pasar. Menyebabkan negara yang selama ini mengimpor minyak dari Rusia, seperti India harus mencari alternatif dari Timur Tengah dan AS. Meski begitu, Ryan dan Reggie mengamati tiga faktor yang bisa membalikkan gerak harga minyak mentah dunia.
Baca Juga: Harga Minyak Ditutup Anjlok Lebih Dari 1%, Terseret Perkiraan Permintaan Energi AS
Pertama, pelonggaran sanksi terhadap Rusia setelah Donald Trump menjabat sebagai Presiden AS. Kedua, penggunaan kapasitas cadangan OPEC+ untuk menangkap peluang kenaikan harga minyak. Ketiga, potensi rekonsiliasi antara Rusia dan Ukraina.
Hingga faktor tersebut terwujud, Ryan dan Reggie memprediksi harga Brent masih dapat bergerak naik hingga ke level US$ 90 per barel. "Di luar sanksi, secara fundamental kami melihat minyak masih relatif netral," ungkap Ryan dan Reggie dalam riset yang rilis Senin (13/1).
Research Analyst Lotus Andalan Sekuritas Muhammad Thoriq Fadilla mengamini, sanksi AS terhadap Rusia menjadi sentimen utama yang memengaruhi pasar dan harga minyak dunia. Selain itu, sentimen penting lainnya adalah potensi pemerintahan China yang akan lebih proaktif mendukung pertumbuhan ekonomi.
Harapan pemerintahan China akan mempercepat stimulus untuk mendukung ekonomi bisa meningkatkan prospek permintaan energi di pasar global. Di sisi lain, jika sanksi AS terhadap Rusia berlanjut, maka sejumlah negara seperti China dan India mesti mencari sumber alternatif lain.
Situasi ini bisa membuka peluang bagi perusahaan migas untuk meningkatkan ekspor, termasuk bagi emiten migas Indonesia. "Hanya saja, ketergantungan Indonesia pada impor minyak membuatnya rentan terhadap kenaikan harga, yang juga dapat meningkatkan biaya operasional bagi perusahaan migas domestik," terang Thoriq kepada Kontan.co.id, Selasa (14/1).
Sementara itu, Equity Research MNC Sekuritas Christian Sitorus menyoroti penundaan peningkatan produksi minyak dari OPEC+ yang direncanakan hingga Maret 2025. Peningkatan produksi 180.000 barel per hari yang dijadwalkan mulai pada Januari 2025, ditunda hingga April 2025 atau ditingkatkan secara perlahan.
Baca Juga: Catat Rekomendasi Saham Untuk Rabu (15/1) Setelah IHSG Ambruk di Bawah 7.000
Di sisi lain, pasokan ke pasar minyak mentah global berkurang setelah AS menjatuhkan sanksi baru. Dengan sentimen itu, Christian menaksir harga Brent bisa bergerak dalam rentang US$ 82 - US$ 84 per barel pada kuartal I-2025. Sedangkan harga WTI berpotensi bergerak pada rentang US$ 78,5 - US$ 80 per barel.
Head of Equity Research Kiwoom Sekuritas Indonesia Sukarno Alatas memprediksi, jika mampu bertahan di atas level US$ 77, maka WTI berpotensi melanjutkan uptrend ke level US$ 80 per barel pada kuartal I-2025. Pergerakan harga minyak akan berpengaruh terhadap prospek kinerja mayoritas emiten migas, dan akan mengundang respons dari para pelaku pasar.
Hanya saja, Sukarno mengingatkan fluktuasi kencang harga minyak dunia terkadang tidak secara instan mengubah tren harga saham emiten migas "Pergerakan harga minyak dalam jangka pendek kadang langsung memengaruhi pergerakan harga saham migas, kadang juga tidak langsung berpengaruh," kata Sukarno.
Dus, pelaku pasar mesti tetap mewaspadai fluktuasi harga. Memanfaatkan momentum saat ini, Sukarno menyarankan trading buy pada saham PT Energi Mega Persada Tbk (ENRG), PT Elnusa Tbk (ELSA), PT Medco Energi Internasional Tbk (MEDC) dan PT Rukun Raharja Tbk (RAJA).
Pelaku pasar bisa mempertimbangkan target harga Rp 270 - Rp 280 untuk ENRG, Rp 462 - Rp 476 untuk ELSA, Rp 1.250 - Rp 1.280 untuk MEDC, serta Rp 3.500 - Rp 3.800 sebagai target harga RAJA. Sementara Thoriq menilai kenaikan harga minyak menjadi katalis positif untuk jangka pendek, setidaknya selama ketegangan geopolitik dan pemulihan permintaan global berlangsung.
Kemungkinan sentimen ini bisa berlanjut pada kuartal I-2025. Thoriq menyematkan rekomendasi buy saham MEDC dengan strategi swing trade dan ELSA dengan strategi fast trade. Target harga masing-masing di Rp 1.290 dan Rp 458 - Rp 476.
Sedangkan Christian lebih menyarankan untuk trading jangka pendek. Namun, mempertimbangkan kondisi pasar saham yang masih dalam tekanan dan fluktuasi harga minyak dunia, Christian juga memberikan pertimbangan untuk wait and see terlebih dulu.
Analis RHB Sekuritas Indonesia Arandi Pradana dan Muhammad Wafi dalam riset yang rilis 6 Januari 2025, memberikan outlook netral untuk sektor migas. Rating buy untuk saham PT AKR Corporindo Tbk (AKRA), ELSA dan MEDC, dengan target harga di Rp 1.680, Rp 560 dan Rp 1.900.
Selain itu, Arandi dan Wafi menyematkan rating netral untuk saham PT Perusahaan Gas Negara Tbk (PGAS). Senada, Ryan dan Reggie juga menyematkan outlook netral untuk sektor migas, dan masih melihat peluang beli pada saham MEDC.
Selanjutnya: Menangkap Peluang dari Kenaikan Harga Si Emas Hitam
Menarik Dibaca: 5 Manfaat Bone Broth, Kaldu Tulang Bagus Untuk Perbaiki Kesehatan Sendi
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News