Reporter: Chelsea Anastasia | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Indeks dolar Amerika Serikat (AS) atau DXY kembali menguat. Jumat (1/8), indeks dolar AS bertahan di kisaran 100. Ini merupakan level tertinggi dalam dua bulan terakhir.
Kepala Ekonom PermataBank Josua Pardede mencermati, penguatan dolar AS dalam beberapa waktu terakhir terutama dipicu kombinasi fundamental ekonomi yang kuat dan kebijakan moneter AS yang tetap hawkish.
"Ini setelah pernyataan Powell yang menegaskan komitmen terhadap kebijakan modestly restrictive untuk menjaga inflasi terkendali," ujarnya kepada Kontan, Jumat (1/8/2025).
Selain itu, data-data ekonomi AS seperti pertumbuhan GDP kuartal kedua sebesar 3,0% (QoQ annualized), ADP employment yang lebih tinggi dari ekspektasi, dan penguatan pasar tenaga kerja juga turut memperkuat daya tarik dolar sebagai aset safe haven.
Baca Juga: Indeks Dolar Kembali ke 100, Rupiah Ambruk 1,18% Sepekan, Yen Paling Tertekan
Josua menilai, kenaikan nilai dolar AS ini memberikan tekanan besar terhadap mata uang negara-negara emerging market di Asia, termasuk Indonesia, Malaysia, Thailand, Filipina, dan India.
Dalam beberapa hari terakhir, rupiah (IDR), ringgit (MYR), peso (PHP), dan baht (THB) mengalami depresiasi signifikan terhadap dolar AS.
"Ini mencerminkan sentimen investor yang cenderung menarik dana dari pasar berkembang kembali ke aset AS," ujar Josua.
Ke depan, ia melihat potensi tekanan lebih dalam terhadap mata uang Asia sangat mungkin terjadi karena investor akan cenderung mencari perlindungan pada aset dengan likuiditas tinggi seperti dolar AS.
Apalagi, bila data ekonomi AS terus positif yang memperkuat kebijakan hawkish Fed.
Lebih lanjut, sentimen pasar terhadap mata uang Asia akan sangat bergantung pada beberapa indikator ekonomi utama AS, seperti Nonfarm Payrolls (NFP), inflasi inti (Core PCE), dan komentar lanjutan dari para pejabat Fed.
"Apabila data ketenagakerjaan AS terus menunjukkan ketahanan kuat, hal ini akan memperdalam tekanan pada mata uang Asia," tambah Josua.
Baca Juga: Dolar Perkasa Usai Trump Naikkan Tarif, Yen Terperosok ke Level Terendah Empat Bulan
Josua memprediksi prospek mata uang Asia dalam jangka pendek hingga menengah masih relatif bearish, terutama selama ketidakpastian global masih tinggi.
Namun, kondisi fundamental Asia yang relatif stabil, misalnya surplus perdagangan yang besar di Indonesia dan Malaysia, bisa menjadi faktor yang memperlambat depresiasi lanjutan.
"Bank sentral negara-negara Asia kemungkinan akan tetap waspada dan siap melakukan intervensi di pasar untuk menjaga stabilitas nilai tukar," tambah Josua.
Sedangkan dalam jangka menengah hingga panjang, mata uang Asia diperkirakan akan mulai stabil kembali apabila ada kejelasan lebih lanjut dari siklus suku bunga The Fed, serta meredanya ketegangan geopolitik global.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News