Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Risiko berinvestasi di surat utang Republik Indonesia (RI) meningkat. Tekanan pada imbal hasil (yield) berpotensi membebani fiskal Indonesia, serta mengurangi minat investasi di Indonesia.
Rektor Universtas Paramadina, Didik J Rachbini melihat tingkat suku bunga obligasi Indonesia paling tinggi dibandingkan dengan negara-negara ASEAN. Hal ini tidak terlepas dari penerbitan utang yang terus meningkat dari tahun ke tahun.
Dari tahun 2010 hingga 2024, rasio utang Indonesia terhadap Produk Domestik Bruto (PDB) terus naik dari 26% menjadi 38,55%. Per September 2024, total utang pemerintah sebesar Rp 8.473,90 triliun yang merupakan praktek kebijakan dan ekonomi politik utang yang tidak sehat.
Baca Juga: Bank Dunia Naikkan Proyeksi Pertumbuhan Ekonomi China untuk Tahun 2024-2025
Didik menilai, tingkat imbal hasil Indonesia tidak masuk akal yang mencapai 7,2%. Di negara asia tenggara lainnya, tingkat bunga obligasi di Thailand terpantau hanya 2,7%, Vietnam 2,8%, Singapura 3,2%, dan Malaysia 3,9%.
"Tingkat suku bunga tinggi ini karena penarikan utang baru dari tahun ke tahun sudah di atas Rp 1.000 triliun," ujar Didik dalam keterangan yang dibagikan, Rabu (25/12).
Adapun Presiden Prabowo Subianto memastikan bakal menarik utang baru sebesar Rp 775,86 triliun di tahun 2025. Laporan Kinerja Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) pada Desember 2024 mencatat utang pemerintah telah menembus Rp 8.680 triliun.
Menurut Didik, utang yang terus membengkak setiap tahun masih menjadi masalah fiskal yang dihadapi. Penerbitan surat utang terus-terusan telah mengerek tingkat imbal hasil yang dapat memperburuk kualitas belanja negara karena terkuras untuk pembayaran bunga utang.
Porsi membayar bunga utang menjadi paling besar darri seluruh belanja kementrian negara. Belanja pemerintah pusat semakin digerogoti pembayaran bunga utang, yang naik pesat dari 11,09% pada 2014 menjadi 20,10% pada 2024.
Didik berujar, kondisi tersebut jelas akan berdampak pada pemerintahan Prabowo. Tahun depan, pemerintah harus membayar bunga utang sebesar Rp 552.85 triliun yang terdiri dari bunga utang dalam negeri Rp 479,6 triliun dan bunga utang luar negeri Rp 55,2 triliun.
"Pembayaran bunga utang menguras pajak rakyat dalam jumlah yang besar," tutur Ekonom Senior INDEF tersebut.
Di samping itu, surat utang ataupun obligasi Indonesia dipandang kurang menarik oleh investor asing karena imbal hasil yang terus menerus naik. Banyak investor asing yang beralih ke pasar surat utang dengan imbal hasil lebih stabil.
Mengutip data Bank Indonesia (BI), pasar surat utang Indonesia memang kini tengah dilanda aksi jual besar-besaran dari asing. Berdasarkan data transaksi 16 -19 Desember 2024, nonresiden (asing) tercatat jual neto sebesar Rp8,81 triliun yang terdiri dari jual neto Rp3,67 triliun di saham, Rp 4,43 triliun di pasar SBN, serta Rp 0,71 triliun di Sekuritas Rupiah Bank Indonesia (SRBI).
Baca Juga: China Berencana Menerbitkan Obligasi Khusus US$411 Miliar, Tertinggi dalam Sejarah
Selain itu, risiko berinvestasi di Indonesia meningkat. Premi Credit Default Swap (CDS) Indonesia 5 tahun per 19 Desember 2024 sebesar 75,79 bps, naik dibandingkan posisi 13 Desember 2024 sebesar 71,81 bps.
Fixed Income dan Macro Strategist Mega Capital Sekuritas Lionel Priyadi mengamati, saat ini sumber arus keluar (outflow) paling besar berasal dari SRBI & SVBI yang mencapai Rp 26 triliun di bulan November dan Rp 27 triliun hingga pertengahan Desember 2024.
Dana asing keluar dari pasar SBN seiring ekspektasi suku bunga Federal Reserve (The Fed) bakal dipangkas lebih sedikit di 2025. Akibatnya, banyak dana diproyeksi akan mengalir ke pasar Amerika Serikat (AS) dan menghindari investasi di negara berkembang.
Lionel menyebutkan bahwa prospek obligasi Indonesia di tahun depan akan sangat bergantung pada keputusan The Fed memangkas suku bunga acuannya. Besaran pemangkasan suku bunga akan berdampak pada penurunan yield atau imbal hasil obligasi.
"Jika the Fed berubah pikiran di bulan maret atau Juni untuk pangkas lebih agresif, maka akan positif untuk aliran dana ke obligasi,’’ imbuh Lionel kepada Kontan.co.id, Selasa (24/12).
Di samping itu, Lionel menyoroti bahwa dibatasinya penerbitan SRBI tahun depan mungkin berdampak baik pada daya tarik surat utang Indonesia. Arus modal asing bisa lebih lancar karena harga mencerminkan transaksi di pasar, tidak terlalu terganggu SRBI.
"Dengan hilangnya daya tarik SRBI maka ada kemungkinan efek samping SRBI terhadap likuiditas di pasar obligasi berkurang," jelas Lionel.
Chief Dealer Fixed Income & Derivatives Bank Negara Indonesia (BNI) Fudji Rahardjo mengatakan, suku bunga The Fed diproyeksi bergerak less dovish di tahun 2025 menjadi salah satu faktor pemicu utama keluarnya dana asing dari pasar surat utang negara. Hal itu menyusul pernyataan pejabat bank sentral AS usai FOMC Meeting pada 17-18 Desember lalu.
Fudji mencermati, masih adanya kemungkinan untuk pasar surat utang tertekan hingga mencapai titik keseimbangan harga. Sebab, saat ini kemungkinan masih periode antisipasi dari kebijakan the Fed.
Namun demikian, terjaganya gap antara suku bunga BI (BI Rate) dan suku bunga The Fed (FFR) dapat menjadi pendukung bagi pasar surat utang Indonesia. Selain itu, penerbitan obligasi dengan yield menarik diharapkan dapat terus menjaga minat investasi asing.
"Dengan masih positifnya data ekonomi Indonesia dan masih terjaganya gap antara BI Rate dan FFR memberikan optimisme aliran dana asing akan kembali ke pasar domestik," sebut Fudji kepada Kontan.co.id, Selasa (24/12).
Fudji memperkirakan, imbal hasil obligasi pemerintah 10 tahun sebagai acuan (benchmark) kemungkinan berada di kisaran 7,1% untuk tahun 2025.
Selanjutnya: Banyak Orang Tercengang Setelah Mengetahui Arti Sebenarnya dari Huruf 'I' pada iPhone
Menarik Dibaca: Promo Guardian Super Hemat s/d 8 Januari 2025, Tambah Rp 1.000 Dapat 2 Body Scrub
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News