Reporter: Nur Qolbi | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Produsen rokok PT Hanjaya Mandala Sampoerna Tbk (HMSP) melihat celah dari kebijakan cukai hasil tembakau yang berlaku saat ini.
Director of Corporate Affairs HM Sampoerna ,Troy Modlin, mengatakan, celah ini menciptakan persaingan yang tidak adil di antara para pemain industri rokok. Oleh karena itu, perusahaannya memberikan usulan untuk menutup celah kebijakan cukai tersebut.
Cara pertama adalah dengan menutup celah cukai pada sigaret buatan mesin sesegera mungkin, yakni dengan menggabungkan volume produksi Sigaret Putih Mesin (SPM) dan Sigaret Kretek Mesin (SKM) menjadi 3 miliar batang per tahun.
Baca Juga: HM Sampoerna (HMSP): Kenaikan cukai tahun 2020 mengejutkan industri
Pasalnya, kebijakan yang ada saat ini memberikan keleluasaan bagi perusahaan besar untuk membayar cukai dengan tarif yang lebih rendah dari yang dibayar oleh HMSP.
Sebagai informasi, berdasarkan jumlah produksinya, HMSP membayar tarif cukai pada golongan tertinggi (golongan I) di semua jenis rokok , baik SPM, SKM, dan Sigaret Kretek Tangan (SKT).
Sementara itu, perusahaan-perusahaan besar tersebut membayar cukai dengan selisih tarif yang cukup jauh dengan HMSP. Padahal jumlah produksinya sudah hampir mendekati golongan I.
"Rokok-rokok yang di golongan II SPM dan SKM ini adalah yang perusahaan-perusahaan besar, dengan pendapatan triliunan dan menjual miliaran batang rokok di Indonesia. Bahkan secara global, mereka adalah perusahaan yang nomor 2, nomor 3, dan nomor 5. Kok di Indonesia, kebijakan cukai rokoknya menggolongkan mereka sebagai perusahaan menengah," kata Troy kepada Kontan.co.id, di Jakarta, Kamis (19/9).
Sebagai informasi, jenis SPM dan SKM terbagi menjadi dua golongan, yaitu golongan I dengan produksi lebih dari 3 miliar batang per tahun dan golongan II dengan produksi tidak lebih dari 3 miliar batang per tahun.
Tarif cukai bagi dua golongan ini relatif jauh. Sebagai contoh, SKM golongan I terkena tarif cukai Rp 590 per batang, sedangkan golongan II dikenakan tarif cukai Rp 385 dan Rp 370 per batang.
Sebagai ilustrasi, Troy mencontohkan, tarif cukai yang dikenakan pada produk SPM Marlboro adalah sebesar Rp 625 per batang. Di sisi lain, produk kompetitor yang sama-sama SPM dengan kualitas premium hanya membayar cukai Rp 370 per batang.
Padahal, jumlah produksi SPM-nya hampir mendekati golongan pabrik hasil tembakau tertinggi tapi masih termasuk perusahaan menengah kecil. Padahal, menurut dia, mereka adalah perusahaan multinasional nomor 2, nomor 3, dan nomor 5 di dunia.
"Menurut kami, ini tidak adil. Semua produk ini sama-sama premium tapi bisa dilihat tarif per batangnya cukai yang dibayar Marlboro jauh lebih tinggi. Ini yang kami sebut sebagai ketidakadilan usaha," kata dia.
Padahal, menurut Troy, prinsip dasar kebijakan cukai bertingkat adalah untuk memberikan akses keadilan supaya pabrikan besar, pabrikan menengah, dan pabrikan kecil dapat berkompetisi dengan sehat.
Baca Juga: Kebal sentimen negatif, saham penghuni Jakarta Islamic Index (JII) masih prospektif
Celah cukai ini membuat perusahaan-perusahaan tersebut bisa menjual rokok dengan harga yang mendekati atau sama dengan harga produk Sampoerna tapi memperoleh margin yang lebih besar karena beban cukai yang lebih sedikit.
Oleh karena itu, untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat, HMSP berharap pemerintah menutup celah ini dengan menggabungkan volume produksi SKM dan SPM menjadi 3 miliar batang agar perusahaan multinasional bisa membayar cukai di harga tertinggi di kategori-kategori tersebut.
Celah kedua yang perlu ditutup oleh pemerintah adalah pada produk SKT. HMSP mengusulkan agar pemerintah mengenakan kenaikan cukai terendah bagi SKT dan tidak ada perubahan dari struktur cukai maupun batasan produksi dari kebijakan cukai SKT saat ini.
Pasalnya, rokok jenis SKT semakin sensitisif terhadap perubahan harga. Sebagaimana diketahui, perokok dewasa mulai bergeser dari SKT ke rokok mesin. "Kalau harganya naik terlalu tinggi, konsumen perokok dewasa ini akan lari," ucap dia.
Padahal, jenis SKT melibatkan banyak pekerja dalam pembuatannya atau tergolong bisnis padat karya. Saat ini, HMSP mempekerjakan 67.000 pelinting rokok, baik pekerja langsung maupun tidak langsung.
Baca Juga: Ini Pilihan Saham Alternatif Pengganti Saham Emiten Rokok
Sebanyak 60% pekerja ini adalah perempuan. Dengan begitu, kenaikan tarif cukai yang signifikan pada SKT yang kemudian menyebabkan penurunan konsumen akan berdampak pula pada ekosistem pekerjanya.
Di samping mengenakan kenaikan tarif cukai terendah pada SKT, menurut Troy, pemerintah perlu memastikan tarif cukai untuk SKM/SPM lebih tinggi secara signifikan dari tarif cukai SKT. Hal ini bertujuan untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat.
"Sebagai contoh, untuk produk SKT kami, Dji Sam Soe, kami membayar cukai Rp 365 per batang, sedangkan rokok putih dari kompetitor yang termasuk golongan II tadi hanya Rp 370 rupiah per batang," kata dia.
Menurut Troy, dengan menutup celah cukai ini, pemerintah menciptakan persaingan usaha yang lebih sehat dan pada akhirnya mendapat tambahan penerimaan cukai karena produsen tersebut akan membayar cukai lebih tinggi.
Ia menambahkan, pemerintah juga perlu menurunkan batasan produksi bagi golongan II produsen SKT menjadi tidak lebih dari 1 miliar batang. Dengan begitu, perusahaan yang termasuk ke produsen SKT golongan I yang jumlahnya mencapai 75% dapat bertahan dan bersaing secara adil.
Baca Juga: Analis: Emiten rokok masih prospektif, properti dan infrastruktur jadi alternatif
Alasannya, lagi-lagi ada perusahaan yang produksinya mendekati jumlah produksi golongan I SKT tapi masih termasuk golongan II SKT.
Sebagai informasi, pengusaha pabrik jenis SKT terbagi menjadi tiga golongan. Pertama, golongan I dengan jumlah produksi lebih dari 2 miliar batang, golongan II dengan produksi lebih dari 500 juta batang tapi tidak lebih dari 2 miliar batang, dan golongan III yang batasan produksinya tidak lenih dari 500 juta batang. Golongan I terkena tarif cukai Rp 365 atau Rp 290 per batang, golongan II Rp 180 per batang, dan golongan III Rp 100 per batang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News