Reporter: Nur Qolbi | Editor: Noverius Laoli
Pasalnya, rokok jenis SKT semakin sensitisif terhadap perubahan harga. Sebagaimana diketahui, perokok dewasa mulai bergeser dari SKT ke rokok mesin. "Kalau harganya naik terlalu tinggi, konsumen perokok dewasa ini akan lari," ucap dia.
Padahal, jenis SKT melibatkan banyak pekerja dalam pembuatannya atau tergolong bisnis padat karya. Saat ini, HMSP mempekerjakan 67.000 pelinting rokok, baik pekerja langsung maupun tidak langsung.
Baca Juga: Ini Pilihan Saham Alternatif Pengganti Saham Emiten Rokok
Sebanyak 60% pekerja ini adalah perempuan. Dengan begitu, kenaikan tarif cukai yang signifikan pada SKT yang kemudian menyebabkan penurunan konsumen akan berdampak pula pada ekosistem pekerjanya.
Di samping mengenakan kenaikan tarif cukai terendah pada SKT, menurut Troy, pemerintah perlu memastikan tarif cukai untuk SKM/SPM lebih tinggi secara signifikan dari tarif cukai SKT. Hal ini bertujuan untuk menciptakan persaingan usaha yang sehat.
"Sebagai contoh, untuk produk SKT kami, Dji Sam Soe, kami membayar cukai Rp 365 per batang, sedangkan rokok putih dari kompetitor yang termasuk golongan II tadi hanya Rp 370 rupiah per batang," kata dia.
Menurut Troy, dengan menutup celah cukai ini, pemerintah menciptakan persaingan usaha yang lebih sehat dan pada akhirnya mendapat tambahan penerimaan cukai karena produsen tersebut akan membayar cukai lebih tinggi.
Ia menambahkan, pemerintah juga perlu menurunkan batasan produksi bagi golongan II produsen SKT menjadi tidak lebih dari 1 miliar batang. Dengan begitu, perusahaan yang termasuk ke produsen SKT golongan I yang jumlahnya mencapai 75% dapat bertahan dan bersaing secara adil.
Baca Juga: Analis: Emiten rokok masih prospektif, properti dan infrastruktur jadi alternatif
Alasannya, lagi-lagi ada perusahaan yang produksinya mendekati jumlah produksi golongan I SKT tapi masih termasuk golongan II SKT.
Sebagai informasi, pengusaha pabrik jenis SKT terbagi menjadi tiga golongan. Pertama, golongan I dengan jumlah produksi lebih dari 2 miliar batang, golongan II dengan produksi lebih dari 500 juta batang tapi tidak lebih dari 2 miliar batang, dan golongan III yang batasan produksinya tidak lenih dari 500 juta batang. Golongan I terkena tarif cukai Rp 365 atau Rp 290 per batang, golongan II Rp 180 per batang, dan golongan III Rp 100 per batang.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News