Reporter: Wuwun Nafsiah | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Tembaga kembali bangkit setelah tertekan oleh turunnya data factory orders dari Jerman. Penguatan harga tembaga ditopang oleh rencana Glencore Plc yang akan memangkas produksi sebagai bagian dari restrukturisai keuangan.
Mengutip Bloomberg, Senin (7/9) pukul 14.51 WIB,harga tembaga kontrak pengiriman tiga bulan di bursa London Metal Exchange (LME) naik 1,2% ke level US$ 5.179 per metrik ton. Selama sepekan, harga tembaga naik 2,17%.
Sebelumnya, pada akhir pekan lalu tembaga sempat anjok 2,4% dibanding sehari sebelumnya setelah Jerman merilis data factory orders level minus 1,4% atau di bawah perkiraan sebesar minus 0,5%. Kejatuhan harga tembaga merupakan yang terbesar dalam delapan minggu terakhir. Hal tersebut menambah kekhawatiran bahwa perlambatan ekonomi global akan menurunkan permintaan logam.
Penurunan factory orders Jerman juga mengkonfirmasi pernyataan Presiden Bank Central Eropa (ECB), Mario Draghi yang mengatakan bahwa pemulihan ekonomi lebih lemah dari yang diperkirakan. "Factory oders Jerman benar-benar mengerikan saat ini dan perlambatan aktivitas bisnis menunjukkan bahwa pelemahan ekonomi China telah menyebar hingga Eropa," ungkap Bill O'Neill, mitra Logic Advisor di Upper Saddle River, New Jersey, seperti dikutip Bloomberg.
Ibrahim,Analis dan Direktur PT Komoditi Ekuilibrium Berjangka menjelaskan, Jerman merupakan importir tembaga terbesar ketiga di dunia.Oleh karena itu, wajar jika data negatif dari Jerman memukul pergerakan harga tembaga. Apalagi, Jerman merupakan salah satu negara penyokong ekonomi terbesar di zona Eropa.
Menurut Ibrahim, Jerman turut tertekan oleh perlambatan ekonomi China. Maklum, selama ini China menguasai obligasi yang diterbitkan oleh negara-negara di zona Eropa, termasuk Jerman.
Pelemahan harga tembaga tidak berlanjut setelah salah satu produsen dari Afika Selatan, Glencore Plc mengumumkan akan menangguhkan produksi tembaga selama 18 bulan di dua tambang yang menghasilkan 127.000 metrik ton atau sekitar 17% dari total produksi Glencore di semester pertama tahun ini.
Namun demikian, Ibrahim melihat prospek harga tembaga semakin suram mengingat kondisi China sendiri sebagai importir terbesar tembaga belum menunjukkan pemulihan. Pemerintah China sebelumnya merevisi pertumbuhan ekonomi tahun ini dari 7,4% menjadi 7,3%. Di kuartal I-2015 pertumbuhan ekonomi China hanya 7%, demikian juga pada kuartal II-2015 . Sementara data manufaktur China terus berada dalam kontraksi. "Jika tidak ada perbaikan, pertumbuhan ekonomi China tahun ini bisa 6,9%. Pemerintah China harus menjalankan pelonggaran kuantitatif secara terprogram," ujar Ibrahim.
Tekanan lain datang dari spekulasi kenaikan suku bunga The Fed, terutama menjelang pertemuan Federal Open Market Committee di pertengahan bulan ini. "Spekulasi kenaikan suku bunga masih ada meski banyak yang menentang," lanjut Ibrahim.
Selama sepekan ke depan, Ibrahim menduga harga tembaga masih berpotensi turun. Pergerakan harga akan banyak dipengaruhi berbagai data China, terutama trade balance yang akan dirilis Selasa malam dan inflasi pada Kamis pekan ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News