Reporter: Wahyu Tri Rahmawati | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga minyak melanjutkan pelemahan setelah kemarin rebound tipis. Jumat (10/11) pukul 7.14 WIB, harga minyak WTI kontrak Desember 2023 di New York Mercantile Exchange turun 0,34% ke US$ 75,48 per barel dari posisi kemarin US$ 75,74 per barel.
Dalam sepekan, harga minyak acuan Amerika Serikat (AS) melorot 6,25% dari posisi US$ 80,51 per barel. Sementara harga minyak Brent kontrak Januari 2024 kemarin justru naik tipis dan kembali ke atas US$ 80 per barel. Harga minyak acuan internasional ini turun 5,75% ke US$ 80,01 per barel pada perdagangan kemarin dari posisi akhir pekan lalu US$ 84,89 per barel.
Kedua benchmark tersebut turun ke level terendah sejak pertengahan Juli karena kekhawatiran terhadap gangguan pasokan di Timur Tengah mereda dan ekspektasi permintaan AS dan Tiongkok akan melemah semakin meningkat.
"Meskipun risiko telah meningkat sejak serangan Hamas pada 7 Oktober, faktor fundamental telah berulang kali terjadi karena kekhawatiran akan gangguan pasokan belum terwujud," kata Jim Burkhard, wakil presiden dan kepala penelitian pasar minyak di S&P Global Commodity Insights kepada Reuters.
Baca Juga: Harga Minyak Naik Kinerja Mendaki
Burkhard menambahkan bahwa permulaan perang Israel-Hamas memang memicu volatilitas dan membawa risiko tambahan. Tetapi hal itu tidak mempengaruhi fundamental pasar minyak. Harga minyak masih berada di bawah harga pada akhir September, seminggu sebelum konflik Israel-Palestina.
"Fundamental pasar minyak yang kuat mengatasi segala ketakutan saat ini," kata Burkhard.
Phil Flynn, analis di Price Futures Group menyebut, kenaikan harga minyak pada hari Kamis adalah tanda-tanda pasar kembali berorientasi pada masalah pasokan-permintaan yang mendasar.
“Saya pikir kita melihat pasar mengatakan aksi jual sudah berlebihan,” kata Flynn.
Minyak Brent hampir US$ 20 per barel lebih rendah dari harga tertingginya di bulan September.
Baca Juga: Harga Minyak Mentah Turun Lebih dari 7% dalam Sepekan, Ini Pemicunya
Data dari Tiongkok pada hari Kamis menunjukkan para pengambil kebijakan kesulitan mengendalikan disinflasi, sehingga menimbulkan keraguan atas peluang pemulihan ekonomi secara luas di negara konsumen komoditas terbesar dunia tersebut. Pada awal minggu ini, data bea cukai menunjukkan bahwa total ekspor barang dan jasa China mengalami kontraksi lebih cepat dari perkiraan.
Indikator permintaan juga menyiratkan kelemahan di AS. Persediaan minyak mentah AS meningkat 11,9 juta barel selama seminggu hingga 3 November, kata sumber yang mengutip angka dari American Petroleum Institute.
Jika terkonfirmasi, angka ini akan mewakili kenaikan mingguan terbesar sejak Februari. Namun Badan Informasi Energi (EIA) AS telah menunda rilis data persediaan minyak mingguan hingga 15 November untuk peningkatan sistem.
Baik OPEC dan Badan Energi Internasional (IEA) akan menyampaikan pandangan mereka mengenai keadaan fundamental permintaan dan pasokan minyak minggu depan. OPEC akan bertemu pada akhir bulan untuk membahas kebijakan produksi untuk tahun 2024.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News