Reporter: Vendy Yhulia Susanto | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Harga Bitcoin (BTC) terpantau menurun. Berdasarkan coin market cap, Jumat (17/10) pukul 14.37 WIB, harga Bitcoin berada di level US$ 106.086, harga ini turun 4,39% dalam 24 jam terakhir.
Fahmi Almuttaqin, Analyst Reku menilai pengetatan likuiditas di sistem keuangan Amerika Serikat dan kekhawatiran terkait meningkatnya ketegangan perang dagang China-AS menjadi faktor utama di balik melemahnya performa aset berisiko tinggi saat ini.
“Bitcoin sempat jatuh hingga di kisaran $107.900 siang ini (17/10), turun 2% lebih dalam 24 jam terakhir. Aset kripto lain seperti Ethereum (ETH), XRP, dan Solana (SOL) terkoreksi lebih dalam, dengan Solana mengalami penurunan terdalam, anjlok lebih dari 4% dalam 24 jam terakhir,” ujar Fahmi dalam keterangannya, Jumat (17/10/2025).
Sementara itu, emas dan perak melonjak 3% lebih. Ini menunjukkan kuatnya permintaan terhadap aset lindung nilai (safe haven) di tengah kekhawatiran pasar saat ini. “Meski The Fed telah memangkas suku bunga pada September lalu, sejumlah indikator menunjukkan kondisi likuiditas di pasar keuangan AS justru mengetat,” jelas Fahmi.
Baca Juga: Bitcoin Butuh Pemicu Baru untuk Hindari Koreksi Lebih Dalam
Data dari TradingView mencatat selisih antara Secured Overnight Financing Rate (SOFR) dan Effective Federal Funds Rate (EFFR) melonjak menjadi 0,19 poin dari sebelumnya 0,02 poin dalam sepekan ini, tertinggi sejak Desember 2024.
“Kenaikan selisih ini menandakan biaya pendanaan antar bank yang meningkat, bahkan untuk pinjaman yang dijamin dengan surat utang pemerintah AS (U.S. Treasuries),” imbuhnya.
Sinyal pengetatan juga tampak dari meningkatnya penggunaan Standing Repo Facility (SRF) milik The Fed. Pada Rabu (15/10), bank-bank komersial menarik dana sebesar US$ 6,75 miliar dari SRF, level tertinggi sejak akhir pandemi COVID-19 (di luar periode pelaporan kuartalan).
SRF adalah fasilitas likuiditas darurat yang memungkinkan bank meminjam dana jangka sangat pendek (overnight) dengan jaminan obligasi pemerintah AS. Lonjakan permintaan terhadap SRF biasanya mencerminkan ketegangan di pasar pendanaan antar bank. Data ini dapat dikonfirmasi melalui rilis mingguan Federal Reserve Statistical Release H.4.1.
“Pemangkasan suku bunga oleh The Fed belum diikuti oleh perluasan neraca (balance sheet expansion). Data FRED menunjukkan total aset bank sentral (WALCL) per 16 Oktober 2025 tercatat $6,59 triliun, masih jauh di bawah puncak pandemi sekitar US$9 triliun,” ucap Fahmi.
Selain itu, saldo Treasury General Account (TGA) di The Fed tetap tinggi di kisaran $800 miliar, menandakan pemerintah AS masih menarik dana dari pasar lewat penerbitan obligasi, bukan menambah likuiditas bersih ke sistem perbankan.
“Kombinasi dari neraca Fed yang stagnan, tingginya TGA, dan spread SOFR-EFFR yang melebar menciptakan lingkungan finansial yang lebih ketat dan mendorong investor mengurangi eksposur pada aset berisiko seperti kripto dan saham teknologi, dan menambah eksposur di aset safe haven seperti emas,” tambahnya.
Secara historis, kinerja Bitcoin cukup berkorelasi dengan ketersediaan likuiditas global. Saat suku bunga menurun tanpa ekspansi neraca The Fed, harga Bitcoin cenderung tertahan karena arus dolar ke pasar aset berisiko belum mengalir, terlepas dari kondisi keseluruhan yang masih bullish.
“Di tengah tekanan ini, The Fed bisa kembali melonggarkan kebijakan jika tekanan pendanaan makin berat. Jika langkah itu benar terjadi, Bitcoin berpotensi rebound ke kisaran US$ 120.000 – US$ 130.000 di sisa tahun ini, selama data inflasi dan kondisi sistem keuangan mendukung,” jelas Fahmi.
Baca Juga: Jack Dorsey Dorong Signal Adopsi Bitcoin, Kampanye Bitcoin for Signal Kian Menggema
Selain itu, Fahmi menilai optimisme para pelaku pasar kripto terbilang masih cukup kuat dengan tren akumulasi baik di BTC maupun ETH yang masih cukup solid seiring dengan berkembangnya naratif DATs (Digital Asset Treasuries).
Investor jangka panjang dapat memanfaatkan momentum pelemahan yang ada untuk mengakumulasi aset crypto dengan fundamental kuat atau crypto blue chip seperti Bitcoin dan Ethereum.
“Saat ini investor bisa mengoptimalkan Dollar Cost Averaging (DCA). Strategi DCA ini masih relevan untuk dijalankan khususnya mengingat potensi terciptanya level harga tertinggi baru bagi Bitcoin dan Ethereum masih cukup terbuka jika pelonggaran moneter AS terjadi,” kata Fahmi.
Selanjutnya: RI Siapkan Rp600 Triliun Dukung Integrasi Listrik ASEAN
Menarik Dibaca: 15 Makanan yang Mempercepat Penyembuhan Flu, Sup Ayam di Peringkat 1
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News