Reporter: Akmalal Hamdhi | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Harga amonia yang bertahan tinggi dapat mendukung prospek kinerja jangka panjang PT Essa Industries Indonesia Tbk (ESSA). Inisatif mengembangkan proyek amonia rendah karbon turut menjadi keunggulan ESSA.
Analis Sinarmas Sekuritas Kenny Shan memandang positif ESSA karena hasil pendapatannya yang stabil. Emiten Garibaldi Thohir atau yang kerap disapa Boy Thohir ini juga memiiliki prospek jangka panjang menarik karena proyek-proyek yang tengah dijalankan seperti inisiatif dekarbonisasi.
Kenny menuturkan, ESSA melaporkan pendapatan sebesar US$ 301 juta dan laba bersih sebesar US$ 45,18 juta untuk tahun 2024. Angka ini mencapai 98% dan 99% dari proyeksi Sinarmas Sekuritas.
Baca Juga: ESSA Industries (ESSA) Siapkan Capex US$ 20 Juta
ESSA meraih laba bersih senilai US$ 45,18 juta pada 2024, meningkat 30,54% year on year (yoy) dari US$34,61 juta pada 2023 lalu. Pertumbuhan laba bersih ini terjadi ketika pendapatan ESSA merosot 12,62% (yoy) dari US$ 344,96 juta menjadi US$ 301,40 juta pada tahun 2024.
Pada 2024, produksi amonia ESSA tetap stabil di angka 732 ribu ton, di atas utilisasi 100%. Harga jual rata-rata turun 15% yoy menjadi US$350 per ton yang menyebabkan pendapatan merosot. Namun, laba kotor ESSA meningkat 5% secara tahunan menjadi US$108 juta, berkat harga gas yang lebih rendah yang digunakan dalam produksi.
Tak hanya itu, Kenny melihat, ESSA terus memperkuat posisi keuangannya dengan pengurangan utang yang signifikan. Emiten sektor migas ini secara konsisten mengurangi pinjaman banknya, yang menyebabkan penurunan signifikan dalam biaya bunga.
Total saldo pinjaman bank menurun -43% yoy dari US$161 juta pada tahun 2023 menjadi US$92 juta pada tahun 2024. Hasilnya, beban bunga ESSA turun juga sekitar 43%yoy dari US$18 juta menjadi US$10 juta, yang selanjutnya mendorong laba bersih melonjak signifikan.
"Hasil ESSA di tahun 2024 sesuai dengan estimasi kami. ESSA memperkuat posisi keuangan mereka dengan pengurangan utang yang signifikan," ujar Kenny dalam riset 14 Maret 2025.
Kenny menambahkan, ESSA juga menarik karena memiliki inisiatif untuk mencari aliran pendapatan baru. ESSA Industries Indonesia telah melakukan penambahan strategis ke dalam Bahan Bakar Penerbangan Berkelanjutan atau Sustainable Aviation Fuel (SAF), selain dari amonia rendah karbon.
Baca Juga: Fluktuasi Harga Energi, ESSA Industries Optimis Pertahankan Kinerja Positif pada 2025
Fasilitas SAF memposisikan ESSA sebagai pemain kunci dalam transisi energi Indonesia melalui usaha patungan barunya, ESSA SAF Makmur (ESM). Fasilitas SAF, yang terletak di Batang, siap menjadi pabrik SAF bersertifikat ISCC CORSIA pertama di Indonesia, dengan kapasitas yang direncanakan sebesar 200.000 MTPA dan komisioning diharapkan pada kuartal I-2028.
Proyek tersebut akan menggunakan Minyak Goreng Bekas (UCO) sebagai bahan baku utamanya, menciptakan bahan bakar bernilai tinggi dan rendah karbon sebagai respons terhadap meningkatnya permintaan global untuk SAF, yang semakin didorong oleh mandat sektor penerbangan dan tujuan keberlanjutan.
"Dengan keamanan bahan baku jangka panjang yang kuat dan dukungan regulasi yang semakin meningkat, perusahaan (ESSA) berada pada posisi yang baik untuk memanfaatkan transisi global menuju bahan bakar penerbangan berkelanjutan, sekaligus membuka jalan baru untuk pertumbuhan dan ekspansi di sektor energi Indonesia," imbuh Kenny.
Terlebih lagi, lanjut Kenny, ESSA terus memajukan proyek Amonia Biru (blue ammonia) dan Carbon Capture & Storage (CCS), dengan target 1 juta ton penangkapan CO? per tahun untuk penyerapan bawah permukaan (subsurface sequestration).
Studi kelayakan proyek ini sedang berjalan, dengan Fase 2 dijadwalkan pada kuartal III-2025 dan validasi subsurface pada kuartal IV-2026, yang mengarah ke komisioning pada kuartal IV-2028. Proyek Amonia biru dan CCS sejalan dengan komitmen Jepang untuk mengimpor 3 juta ton amonia rendah karbon per tahun pada tahun 2030.
"Kami mempertahankan pandangan positif terhadap ESSA, yang mencerminkan profil pendapatan perusahaan yang stabil, jaringan proyek mendatang yang menarik, dan fokus yang kuat pada inisiatif dekarbonisasi," ungkap Kenny.
Analis Indo Premier Sekuritas Reggie Parengkuan, mengerek penilaian terhadap ESSA seiring potensi kenaikan harga gas alam dunia. Sebab, harga saham ESSA secara historis sangat berkorelasi dengan pergerakan harga gas.
Indo Premier Sekuritas memperkirakan harga gas akan tetap tinggi tahun ini di tengah pasokan yang ketat. Harga gas alam berpotensi naik menyusul adanya larangan impor gas alam cair (LNG) Rusia dan musim dingin yang lebih dingin dalam jangka pendek.
Baca Juga: Sepanjang 2024, ESSA Industries (ESSA) Catatkan Laba Bersih Capai US$ 45,18 Juta
Pemutusan kontrak transit pipa Rusia melalui Ukraina akan berkontribusi pada kenaikan harga gas alam. Akibatnya, Uni Eropa (UE) sekarang berebut LNG dan dengan cepat mengurangi cadangan, menurunkan tingkat penyimpanan menjadi 65% pada awal Januari 2025.
Di lain sisi, lanjut Reggie, permintaan dari Jepang ataupun Korea diharapkan tetap stabil. Ditambah lagi, adanya penurunan produksi domestik di negara-negara Asia Tenggara di tengah menipisnya cadangan, maka permintaan LNG diharapkan akan melampaui pasokan hingga 2026.
"Sebagai tambahan, Uni Eropa mendorong pembatasan yang lebih ketat pada LNG Rusia yang berpotensi memperketat pasokan lebih lanjut," jelas Reggie dalam riset 24 Februari 2025.
Senior Equity Research Analyst Sukarno Alatas mengatakan, prospek kinerja ESSA berpotensi tumbuh yang akan didukung oleh kuatnya harga amonia. Hal itu sejalan dengan potensi kenaikan harga gas alam yang berkaitan erat dengan pergerakan harga amonia.
Sukarno menjelaskan, harga gas alam bisa naik apabila ketegangan geopolitik meningkat yang dapat menganggu suplai global. Begitu juga dengan musim yang lebih dingin berpotensi membuat permintaan gas alam meningkat, yang akhirnya menjaga harga amonia tetap tinggi.
Selain itu, rencana proyek amonia rendah karbon dapat mendukung prospek jangka panjang ESSA. ESSA menargetkan komisioning proyek amonia rendah karbon skala besar pada akhir 2027 melalui inisiatif penangkapan dan penyimpanan karbon (CCS).
"Jika harga amonia mengalami kenaikan, maka potensi kinerja top line (pendapatan) bisa tumbuh, karena secara kontribusi penjualan amonia ESSA sebesar 85% dari total pendapatan," kata Sukarno saat dihubungi Kontan.co.id, Kamis (20/3).
Direktur Reliance Sekuritas Reza Priyambada menuturkan, kenaikan harga gas alam tentunya akan berimbas positif pada kinerja ESSA. Hal itu terlihat dari peningkatan laba, meski pendapatan tercatat turun.
"Tentunya kita perlu amati sentimen yang dapat memengaruhi perubahan atau fluktuasi harga gas alam ke depannya," imbuh Reza kepada Kontan.co.id, Kamis (20/3).
Reza merekomendasikan buy untuk ESSA dengan target harga sebesar Rp 665 per saham. Sukarno menyarankan Buy untuk ESSA dengan target harga lebih tinggi sebesar Rp 700 per saham.
Kenny mempertahankan rekomendasi Buy untuk ESSA dengan target harga sebesar Rp 1.200 per saham. Sementara itu, Reggie meningkatkan peringkat ESSA dari Hold menjadi Buy dengan target harga sebesar Rp 1.100 per saham.
Hanya saja, Reggie mewaspadai adanya penurunan saham ESSA, jika harga gas alam sudah tidak memanas lagi. Kesepakatan damai Rusia-Ukraina, serta musim dingin yang lebih hangat di Eropa dan AS dapat menjadi risiko negatif bagi emiten sektor energi ini.
Selanjutnya: Intip Rekomendasi Saham Bukalapak (BUKA) Usai Rilis Kinerja Keuangan
Menarik Dibaca: Magalarva Ekspor Pakan Hewan dari Limbah Organik ke AS
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News