kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,20   -16,32   -1.74%
  • EMAS1.345.000 0,75%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Emiten sektor unggas makin subur di tengah penetapan harga ayam oleh pemerintah


Senin, 02 April 2018 / 07:45 WIB
Emiten sektor unggas makin subur di tengah penetapan harga ayam oleh pemerintah


Reporter: RR Putri Werdiningsih | Editor: Wahyu T.Rahmawati

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Berbagai intervensi yang dilakukan pemerintah atas harga pangan, bakal turut mempengaruhi kinerja emiten perunggasan (poultry). Baru-baru ini, Kementerian Perdagangan telah memutuskan batasan harga ayam dan telur di tingkat peternak demi menjaga lonjakan harga menjelang lebaran.

Pemerintah menetapkan harga batas bawah ayam dan telur sebesar Rp 17.000 per kilogram (kg). Lalu, batas atasnya sebesar Rp 19.000 per kg. Adeline Solaiman, Analis Danareksa Sekuritas, justru menilai, dengan pengaturan harga eceran tertinggi (HET), margin emiten poultry bisa lebih stabil.

Apalagi, harga yang ditetapkan oleh pemerintah saat ini sudah jauh lebih baik dari tahun lalu. "Tahun lalu harga sempat jatuh ke Rp 13.000 per kg," ujar Adeline kepada Kontan.co.id, akhir pekan lalu.

Senada, analis Ciptadana Sekuritas Fahressi Fahalmesta juga mengatakan, adanya batasan harga ayam broiler cukup menguntungkan emiten unggas. Ini lantaran harga batas bawah yang ditetapkan pemerintah masih ada di atas biaya produksi.

Hanya saja, jika nantinya biaya produksi sudah naik melebihi batas dan tidak ada penyesuaian kembali HET, maka aturan ini justru berpotensi menggerus margin laba bisnis ayam broiler. "Selain itu, perlu diwaspadai juga isu impor ayam broiler dari Brasil. Kalau pasokan berlebih, hal itu berpotensi membuat harga jatuh," timpal dia.

Meski intervensi pemerintah terharap harga ayam bisa membuat margin segmen bisnis ayam broiler lebih baik, namun dampaknya ke kinerja emiten poultry secara keseluruhan masih belum signifikan. Maklum saja, pendapatan utama emiten sektor perunggasan ini masih berasal dari bisnis pakan ternak.

Ambil contoh, pendapatan PT Japfa Comfeed Indonesia Tbk (JPFA) sepanjang tahun 2017 mencapai Rp 29,6 triliun. Namun, nilai penjualan dari bisnis peternakan dan produk konsumen hanya sebesar Rp 12,24 triliun.

Begitu juga PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN). Dari total penjualan Rp 49,37 triliun, segmen pakan ternak memberi kontribusi Rp 24,26 triliun. Sementara segmen ayam pedaging hanya berkontribusi Rp 14,3 triliun atau 28,96% dari total pendapatan. Menurut Fahressi, kalaupun bisnis ayam broiler tengah lesu, biasanya pendapatan dari segmen pakan ternak masih bisa menopang penjualan emiten.

Harga jagung

Adeline mengatakan, bisnis pakan ternak juga memiliki margin yang jauh lebih tinggi ketimbang bisnis ayam broiler. Meskipun harga jagung sebagai bahan baku pakan ternak juga telah diatur pemerintah pada kisaran Rp 4.000 per kg, namun, harga jual pakan ternak masih bisa disesuaikan sendiri. Perhitungan margin segmen pekan ternak ini diatur berdasarkan harga bahan baku ditambah biaya produksi.

Selain jagung, bahan baku pakan ternak juga menggunakan bubuk kedelai. Selama ini, bubuk kedelai didatangkan impor dari luar negeri.

Harganya yang terus meningkat, serta nilai tukar rupiah yang terus melemah berpotensi menambah beban operasional perusahaan. "Jadi yang perlu diwaspadai sekarang adalah harga bubuk kedelai dan faktor pelemahan nilai tukar rupiah," imbuh dia.

Di sisi lain, analis Paramitra Alfa Sekuritas William Siregar menilai, katalis positif emiten poultry justru bersumber dari peluang turunnya harga jagung. Hitungan William, sepanjang tahun ini harga jagung akan ada di kisaran Rp 3.700 per kg. Seperti diketahui, sepanjang tahun lalu, laba perusahaan emiten poultry sempat tertekan karena pembengkakan beban operasi akibat kenaikan harga jagung.

William masih memberikan rekomendasi netral untuk emiten sektor unggas. Menurut dia, daya beli masyarakat yang membaik masih berpotensi mengangkat kinerja masing-masing emiten. Ia memberi rekomendasi beli saham CPIN dengan target harga
Rp 3.950 per saham dan beli saham JPFA dengan target harga Rp 1.640 per saham.

Fahressi juga memberi rekomendasi netral untuk emiten sektor ini. Sedangkan menurut Adeline, di antara tiga emiten di sektor unggas, JPFA dan CPIN punya prospek menarik. Namun, valuasi saham CPIN saat ini dinilai sudah terlalu tinggi. Jadi, Adeline hanya merekomendasikan beli untuk saham JPFA, dengan target harga Rp 1.800 per saham.      

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU

[X]
×