Reporter: Annisa Aninditya Wibawa | Editor: Barratut Taqiyyah Rafie
JAKARTA. Laba sejumlah emiten perkebunan tumbuh rimbun hingga kuartal ketiga tahun ini. Namun, pencapaian tersebut tak mampu mendongkrak harga saham perkebunan di Bursa Efek Indonesia. Sejak awal tahun hingga kemarin atau year-to-date (ytd), rata-rata return indeks saham perkebunan minus 0,06% menjadi 2.138,78. Indeks tersebut mencerminkan keterpurukan harga saham para pekebun.
Misalnya, harga saham PT Astra Agro Lestari Tbk (AALI) memerah 5,67% (ytd) ke posisi Rp 23.250 per saham. Kemudian harga saham PT Salim Ivomas Pratama Tbk (SIMP) merosot 8,22% (ytd) menjadi Rp 725 per saham. Harga saham anak usaha SIMP, yakni PT PP London Sumatra Indonesia Tbk (LSIP) juga hanya meningkat tipis 0,26% (ytd) ke posisi Rp 1.895 per saham.
Selanjutnya, harga PT BW Plantation Tbk (BWPT) terperosok 64,24% (ytd) menjadi Rp 472 per saham. Return saham PT Austindo Nusantara Jaya Tbk (ANJT) juga merosot 18,79% (ytd) menjadi Rp 1.210 per saham. Hanya saham PT Sampoerna Agro Tbk (SGRO) yang naik tipis 4,25% (ytd) menjadi Rp 2.085 per saham.
Analis First Asia Capital David Nathanael Sutyanto mengatakan, keterpurukan harga saham emiten perkebunan disebabkan oleh fluktuasi harga minyak sawit mentah atau crude palm oil (CPO).
Analis Sucorinvest Central Gani, Andy Wibowo Gunawan, menilai tekanan harga saham perkebunan karena penurunan harga minyak mentah brent atau brent crude oil (BCO) ke bawah US$ 80 per barel. Laju harga CPO berkorelasi kuat dengan harga BCO. Dia bilang, harga BCO berhubungan dengan pertumbuhan produk domestik bruto (PDB) global.
Selain itu, David mencermati bahwa price earning (PE) saham emiten sektor perkebunan yang sempat tinggi beberapa waktu lalu menimbulkan aksi profit taking. Menurut dia, saat ini PE sektor perkebunan tercatat 14 kali, dari posisi ideal 15 kali.
Analis Recapital Securities Andrew Agardo melihat, prospek ekspor CPO akan terus menurun terkait perlambatan perekonomian Tiongkok dan India. Namun, rencana pemerintah mengatur penggunaan biodiesel, seharusnya bisa menjadi katalis positif bagi industri. Namun belum jelas kapan implementasi dari kebijakan pemerintah tersebut.
Meski begitu Andy masih yakin, harga CPO mampu terkerek sampai akhir tahun ini. Hal tersebut karena a musim hujan pada November dan Desember, yang akan menghambat laju produksi CPO sehingga meningkatkan harga jual. Dia memproyeksikan harga jual rata-rata CPO akan berada di RM 2.500 per ton pada akhir tahun ini. Kemudian di tahun depan, Andy mengestimasi harga jual rata-rata CPO berkisar di level RM 2.600 sampai RM 2.700 per ton.
Menurut dia, harga komoditas tahun depan sangat berkaitan erat dengan kondisi ekonomi global yang diperkirakan moderat. "Tahun depan moderat. Maka laba industri naik sekitar 10% sampai 15% di tahun depan," prediksi Andy. Andy menjagokan emiten perkebunan yang mampu menggenjot volume penjualan dan menekan beban. Dia merekomendasikan buy saham SGRO dengan target Rp 3.100 per saham pada tahun depan.
David tak merekomendasikan emiten perkebunan karena prospeknya tak terlalu cerah di tahun depan. Tapi, kata dia, saham AALI masih layak untuk dikoleksi. Sedangkan Andrew merasa, pergerakan harga saham emiten perkebunan masih cenderung melambat di masa depan.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News