Reporter: Melysa Anggreni | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Pasar obligasi Amerika Serikat (AS) melemah di awal pekan ini usai lembaga pemeringkat Moody’s resmi menurunkan peringkat kredit AS.
Langkah Moody’s ini menyusul dua lembaga lainnya, yakni S&P Global Ratings dan Fitch Ratings, yang lebih dulu mencabut status triple-A Negeri Paman Sam.
Per Selasa (20/5), imbal hasil (yield) obligasi pemerintah AS tenor 10 tahun tercatat di level 4,45%, sedangkan tenor 30 tahun berada di 4,92%.
Baca Juga: Bitcoin Bangkit Lagi Sentuh US$106.000, Meski Moody’s Turunkan Peringkat Utang AS
Sebelumnya, pada Senin (19/5), yield kedua tenor ini sempat melonjak, masing-masing naik 7 basis poin (bps) dan 8 bps ke level 4,54% dan 5,02%.
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus menilai, pergerakan yield tersebut mencerminkan bahwa eksistensi US Treasury sebagai salah satu instrumen paling aman di dunia tetap terjaga meski rating kreditnya turun.
“Negara-negara seperti China dan Jepang memang secara bertahap mengurangi eksposurnya di surat utang AS, namun mereka tetap memprioritaskan untuk memegangnya,” jelas Nico kepada Kontan.co.id, Selasa (20/5).
Nico menambahkan, penurunan peringkat kredit AS memang sudah semestinya terjadi, mengingat pelebaran defisit fiskal yang terus berlanjut.
Utang pemerintah AS tumbuh jauh lebih cepat dibandingkan pertumbuhan ekonominya.
Baca Juga: Imbal Hasil Tinggi, Duit Asing Masuk Pasar Obligasi Indonesia
Per Maret 2025, defisit anggaran AS tercatat telah menembus US$ 1 triliun atau setara Rp 16.400 triliun.
Kondisi ini diperburuk oleh kemajuan pembahasan Rancangan Undang-Undang (RUU) pemotongan pajak, yang dikhawatirkan akan semakin menambah beban utang negara.
“Kebetulan Moody’s adalah lembaga pemeringkat terakhir yang akhirnya mengakui bahwa kondisi fiskal AS sudah semakin mengkhawatirkan,” tegas Nico.
Dampak ke Domestik
Tekanan dari downgrade kredit AS juga tercermin di pasar obligasi domestik. Pada awal pekan, terjadi capital outflow di pasar Surat Berharga Negara (SBN) sebesar Rp 1,52 triliun. Selain itu, mayoritas yield SBN di berbagai tenor juga mengalami kenaikan.
Baca Juga: Dolar AS Tertekan, Moody's Pangkas Peringkat Utang Amerika
Head of Business Development Division Henan Putihrai Asset Management Reza Fahmi Riawa, menyebut bahwa tekanan global memang memberikan sentimen negatif jangka pendek.
Namun secara keseluruhan, pasar obligasi domestik masih punya prospek positif.
“Selama kebijakan moneter dan fiskal di dalam negeri mampu menjaga stabilitas, pasar obligasi Indonesia masih cukup resilient,” terang Reza.
Dalam jangka pendek, yield SBN diproyeksi akan terus naik seiring tekanan arus keluar dana asing.
Namun, jika arah kebijakan moneter global mulai berbalik longgar, terutama dari The Federal Reserve (The Fed), maka yield SBN bisa kembali melandai pada semester kedua 2025.
“Perkiraan saya, yield SBN tenor 10 tahun hingga akhir 2025 akan berada di kisaran 7,0% hingga 7,3%,” pungkas Reza.
Selanjutnya: Prospek Austindo (ANJT) Masih Positif Usai Dapat Pinjaman Rp 1,6 Triliun dari BCA
Menarik Dibaca: Mulai 1 Juni, KAI Hadirkan Kereta Suite Class Compartment di KA Argo Bromo Anggrek
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News