Reporter: Sugeng Adji Soenarso | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Pasar obligasi Indonesia ditaksir akan kian menarik. Terlebih Bank Indonesia (BI) memutuskan memangkas suku bunga sebesar 25bps.
Senior Economist KB Valbury Sekuritas, Fikri C. Permana menyebutkan pasar obligasi memang cukup menarik. Hal ini tercermin dari tingginya penawaran masuk pada lelang SUN yang diadakan pemerintah.
Dalam tiga lelang terakhir, pemerintah mencatat penawaran masuk mencapai Rp 213,25 triliun. Bahkan, pada lelang 20 Agustus 2024 pemerintah mencatatkan penawaran masuk mencapai Rp 104,07 triliun. Angka tersebut bahkan mencatatkan rekor tertinggi dalam tiga tahun terakhir yang sebelumnya dicapai pada 31 Agustus 2021 sebesar Rp 116,1 triliun.
Fikri menilai terdapat sejumlah faktor yang mempengaruhi menariknya pasar obligasi Indonesia. Pertama, yield spread antara SUN 10 tahun dengan US Treasury 10 tahun yang meningkat.
"Saat ini sekitar 280bps, sementara bulan lalu dikisaran 230-250bps," ujarnya kepada Kontan.co.id, Rabu (18/9).
Baca Juga: Astra Sedaya Finance Tawarkan Obligasi Dengan Bunga Hingga 6,70%
Kedua, rupiah yang bergerak stabil bahkan cenderung terapresiasi. Ketiga, ekspektasi pemangkasan Fed Rate yang diharapkan diikuti BI Rate.
Hal tersebut juga menurunkan yield 10 tahun Indonesia. Berdasarkan Trading Economics, yield 10 tahun Indonesia berada di 6,64% per Rabu (18/9).
Lanjut Fikri, turunnya yield mendorong harga obligasi Indonesia. Ia memperkirakan jika yield mampu turun 30bps-40bps maka harga obligasi bisa naik kisaran 6%-7%, tetapi dengan catatan pemangkasan suku bunga the Fed mencapai 100bps dan penurunan BI Rate mendekati level tersebut.
Hingga akhir tahun, Fikri memperkirakan yield 10 tahun Indonesia dikisaran 6,4%-6,5%. Namun memang, arah yield masih akan tergantung pergerakan suku bunga. Ia berpandangan, jika pemangkasan BI Rate berkisar 75bps-100bps maka yield bisa mendekati 6,2%-6,3%.
"Bahkan jika risiko fiskal dengan pemerintahan baru bisa terjaga, saya pikir mungkin bisa mendekati 6% atau mungkin lebih rendah dari itu," katanya.
Jika investor mengincar capital gain, Fikri menilai obligasi dengan tenor menengah (5-10 tahun) yang menarik. Hal itu mempertimbangkan likuiditasnya paling tinggi, meskipun memang dari sisi yield lebih rendah dibandingkan tenor jangka panjang.
Baca Juga: Ini Saran Analis untuk Rebalancing Portofolio jika The Fed Pangkas Suku Bunga
Analis Fixed Income Sucorinvest Asset Management, Alvaro Ihsan mengamini. Ia memaparkan jika mengacu pada INDOBeX Composite Index tenor 5-7 tahun, indeks-nya menguat 1,16% untuk periode 17 Agustus - 17 September 2024. Sementara kenaikan tertinggi di tenor lebih dari 7 tahun sebesar 1,34%. Sedangkan tenor kurang dari 5 tahun hanya naik 0,83%.
"Meski tenor jangka panjang lebih kuat kenaikan harganya, tetapi likuiditas menjadi pertimbangannya," terangnya.
Hal itu juga tercermin dari hasil penawaran lelang yang masuk. Dari tiga lelang SUN terakhir, tercatat seri FR0103 dan FR0104 yang paling banyak diburu investor. Alvaro menilai jangka waktu menengah cenderung diminati karena jangka waktu tersebut memiliki jumlah outstanding yang besar, serta memiliki term spread yang menarik.
Berdasarkan data dari Kementerian Keuangan, investor asing juga lebih banyak memiliki SBN pada tenor 5-10 tahun sebesar Rp 381 triliun per Agustus 2024, dibandingkan klasifikasi tenor lainnya.
Untuk yield, Alvaro masih cenderung berhati-hati. Ia memperkirakan yield 10 tahun Indonesia di akhir tahun berada di 6,6%.
Memang, katanya, untuk prospek pergerakan yield Indonesia masih cukup baik mengingat terdapat sentimen penurunan suku bunga dari BI maupun bank sentral global. Selain itu, inflow asing, penguatan rupiah, hingga inflasi yang terkendali membawa sentimen positif bagi yield SBN.
"Namun terdapat risiko tersendiri berupa current account yang masih negatif serta kebutuhan refinancing utang pemerintah yang cukup besar di tahun 2025. Kami memiliki target yield SBN 10 tahun di akhir tahun 2024 di range 6,4%-6,6%," tutupnya.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News