Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Anna Suci Perwitasari
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Sejumlah sentimen diyakini masih akan menyetir Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sampai akhir tahun ini, salah satunya adalah tingkat inflasi di Amerika Serikat (AS).
Asal tahu, tingkat inflasi di negeri Paman Sam untuk bulan Juni tercatat sebesar 3% year-on-year (YoY) pada Juni 2023 dari sebelumnya 4% yoy pada Mei 2023. Ini merupakan level inflasi terendah sejak tahun 2021.
Meskipun inflasi utama (headline inflation) turun menjadi 3%, Kepala Riset Yuanta Sekuritas Chandra Pasaribu menyebut, target Federal Reserve (The Fed) adalah menurunkan inflasi inti (core inflation) ke tingkat 2%.
Sementara itu, core inflation di bulan Juni masih berada di level 4,8%. Oleh karena itu, Chandra menyebut nada dari The Fed beberapa pekan lalu belum menunjukkan adanya sikap yang lebih lunak terhadap kenaikan bunga.
Baca Juga: IHSG Menguat Hari Ini, Intip Proyeksi Untuk Perdagangan Jumat (14/7)
“Ekspektasi konsensus masih berpikir 92,4% percaya bahwa ada kenaikan Fed rate ke 5,25-5,50 di akhir Juli 2023,” kata Chandra kepada Kontan.co.id, Kamis (13/7).
Sehingga, dampak kebijakan tersebut terhadap aset rupiah, baik bonds maupun ekuitas, akan tergantung bagaimana pemerintah mampu menjaga kestabilan rupiah.
Ini karena selisih antara suku bunga Bank Indonesia (BI) dengan suku bunga The Fed saat ini hanya 75 basis points (bps). Jika The Fed menaikkan suku bunga sebesar 25 bps, maka jarak (disparitas) tersebut menjadi hanya 50 bps.
Sebagai acuan, Chandra bilang pada waktu pandemi selisih tersebut bisa antara 250 bps sampai 350 bps. Perbedaan yang semakin menyempit ini bermuara pada sikap investor asing, apakah bisa menerima selisih tingkat bunga yang berpotensi hanya 50 bps.
“Jika tidak, maka Rupiah perlu melemah. Dan kalau ini terjadi, tidak ada insentif untuk memegang aset dalam rupiah sekarang ini. Jadi, kestabilan rupiah perlu dijawab dulu sebelum kita bicara investasi di aset rupiah, apakah itu bonds atau ekuitas,” sambung dia.
Senada, Kepala Riset Mirae Asset Sekuritas Robertus Yanuar Hardy menyebut, ada indikasi The Fed akan tetap menaikkan suku bunga menjadi 5,75%. Hal ini berpotensi memicu arus modal keluar dari emerging market, termasuk Indonesia.
Namun, kenaikan suku bunga yang agresif selama setahun terakhir dapat menyebabkan perlambatan dan resesi ekonomi, membuka kemungkinan bagi The Fed untuk akhirnya melonggarkan kebijakan moneternya.
Kata Robertus, investor di pasar modal Indonesia tidak perlu terlalu risau dengan potensi arus keluar modal, mengingat investor asing hanya memegang sekitar 15% dari obligasi pemerintah dan hanya menyumbang 35% dari nilai perdagangan saham harian.
Mirae Asset Sekuritas sendiri meyakini IHSG dapat menyentuh level hingga 7.600 pada paruh kedua 2023. Proyeksi ini mencerminkan price to earnings ratio (PER) sebesar 15,5 kali untuk tahun 2023, dengan return of equity (ROE) yang cukup jumbo, yakni sebesar 13.2%. Valuasi ini cukup murah dibandingkan dengan PER dan ROE bursa saham negara lain seperti FTSE Bursa Malaysia dan SET Thailand.
Sejumlah saham yang menjadi pilihan utama alias top picks Mirae Asset Sekuritas di bulan Juli antara lain PT AKR Corporindo Tbk (AKRA), PT Astra International Tbk (ASII), PT Charoen Pokphand Indonesia Tbk (CPIN), PT Erajaya Swasembada Tbk (ERAA), PT XL Axiata Tbk (EXCL), PT Mitra Pinasthika Mustika Tbk (MPMX), PT Prodia Widyahusada Tbk (PRDA), dan PT Telkom Indonesia Tbk (TLKM).
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News