Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Laju inflasi di sejumlah negara sudah melandai, meski belum ada jaminan bisa sepenuhnya terkendali. Ditambah kekhawatiran resesi global yang masih membayangi, investor perlu lebih cermat dalam menyusun skema investasi.
Sebelum melangkah ke prospek investasi, mari menilik kembali salah satu faktor kunci yang berkaitan dengan stabilitas inflasi dan ekonomi global, yakni peredaran dolar Amerika Serikat (AS). Secara historis, peredaran dolar AS meluap tersulut oleh krisis ekonomi.
Sebagai ilustrasi untuk menggambarkan peredaran dolar AS dua dekade terakhir, pada tahun 2004 jumlah dolar yang dicetak masih di level US$ 750 miliar-US$ 800 miliar. Peredaran dolar meroket pada 2008 hingga ke posisi US$ 2,2 triliun, sebagai respons atas krisis ekonomi yang melanda kala itu.
Baca Juga: Harap-Harap Cemas Menanti January Effect Datang
Ketika pandemi covid-19 melanda pada tahun 2020, dolar AS yang dicetak kembali melesat sampai ke US$ 7,17 triliun. Peredaran dolar AS semakin meluap hingga mencapai level US$ 8,9 triliun pada pertengahan tahun lalu.
Research & Consulting Manager Infovesta Utama Nicodimus Kristiantoro membeberkan, secara historis pemerintah AS lebih suka memberikan dampak pemulihan yang cepat berupa kebijakan moneter dibandingkan dengan kebijakan fiskal yang dampaknya terasa lebih lama. Dus, AS cenderung memilih opsi mencetak dolar sebagai langkah dalam penanggulangan atau recovery krisis.
Tapi, tak hanya dari faktor dalam negeri, lonjakan peredaran dolar AS juga dipicu permintaan global. "Situasi krisis membuat banyak investor semakin ingin mengoleksi US Dollar sebagai salah satu instrumen yang dianggap safe haven," ujar Nico kepada Kontan.co.id, Selasa (24/1).
Presiden Komisaris HFX Internasional Berjangka Sutopo Widodo menambahkan, dolar AS merupakan cadangan mata uang yang pada umumnya dimiliki oleh negara di dunia dalam cadangan devisa mereka. Sehingga tidak mengherankan jika permintaan dolar AS meningkat saat terjadi krisis.
Baca Juga: Stabilitas Politik dan Fundamental Ekonomi Jadi Kunci Tarik Investasi Jelang Pemilu
Meski begitu, banjir dolar AS saat pandemi covid-19 bukan menjadi faktor tunggal pendorong lonjakan inflasi. Sutopo bilang, kemacetan rantai pasok (supply chain) saat pandemi menjadi faktor signifikan. Apalagi diperparah dengan dampak dari perang Rusia-Ukraina.
Nico punya pandangan serupa. Bahkan di Negeri Paman Sam sendiri, inflasi yang sulit melandai bukan semata-mata karena meluapnya peredaran dolar. "Yang membuat inflasi AS sulit turun karena masih tingginya inflasi jasa mereka, khususnya terhadap inflasi sewa rumah," sebut Nico.
Ekonom Bank Mandiri Reny Eka Putri menyoroti jumlah uang beredar di AS juga sudah menurun pada akhir tahun 2022, yang tercatat sebesar US$ 21,35 triliun per bulan November. Nilai ini merupakan posisi terendahnya sejak Januari 2022.
Baca Juga: Banyak Perusahaan Antre IPO, Ini Calon Emiten yang Menarik Versi Analis
Tendensi penurunan jumlah uang beredar dibarengi tingkat inflasi yang mulai melandai, sebesar 6,5% pada Desember 2022.
"Namun laju inflasi saat ini masih diharapkan terus menurun menuju sasaran jangka panjang The Federal Reserve di level 2%, sehingga jumlah uang beredar juga harus menurun ke sekitar US$ 15 triliun," terang Reny.
Menimbang pasang surut peredaran dolar dan laju inflasi di Negeri Paman Sam, lantas bagaimana dampaknya terhadap ekonomi dan pasar modal Indonesia? Menjawab pertanyaan itu, Reny menilai perekonomian dan pasar Indonesia masih cukup tangguh terhadap risiko eksternal.
Termasuk di dalamnya risiko dari kenaikan suku bunga acuan, inflasi AS, dan meningkatnya peredaran dolar AS. Indikatornya, inflasi domestik masih terkendali di kisaran 5,5% pada tahun 2022 dan berpotensi terpangkas menjadi 3,6% pada tahun 2023.
Skema Investasi
Meski dengan ketangguhan fundamental ekonomi tersebut, tapi pasar saham Indonesia masih tertatih pada awal tahun ini. Pada pertengahan bulan Januari, Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) sempat ambles 3% secara year to date.
Pada pekan lalu, IHSG bisa membalikkan situasi dengan penguatan 3,5%. Namun, kondisi ini masih belum aman. Lantaran pada hari ini (24/1) IHSG ditutup melemah 0,20% ke posisi 6.860,85.
Senior Economist KB Valbury Sekuritas Fikri C. Permana menilai gejolak pasar saham di awal tahun ini lebih karena investor sedang melakukan penyeimbangan kembali aset (rebalancing). Terutama mencerna arah harga komoditas energi yang pada tahun lalu menyetir laju pasar saham.
Dia melihat investor juga mulai beralih menjajaki pasar Surat Berharga Negara (SBN). Meski, Fikri memprediksi pasar saham tidak akan redup dalam waktu yang lama. Sebab, musim rilis laporan keuangan dalam beberapa pekan ke depan akan menjadi katalis positif.
Baca Juga: Permintaan Kendaraan Listrik Naik, Prospek Saham Vale (INCO) Bakal Makin Kuat
Saran Fikri, cermati saham-saham bigcaps dan peluang terjadinya rotasi sektoral di luar saham komoditas energi. Sementara itu, Nico memandang gejolak pasar saham di awal tahun ini utamanya disebabkan oleh reopening China.
Kondisi ini membuat dana investor asing kembali mengalir ke Negeri Tirau Bambu tersebut, apalagi valuasi saham di sana dinilai masih murah. "Risiko lainnya masih seputar resesi ekonomi yang umumnya akan dialami negara maju, yang turut meningkatkan persepsi risiko pada awal tahun 2023," imbuh Nico.
Menurut Nico, pengetatan Devisa Hasil Ekspor (DHE) akan membuat ekspektasi investor terhadap fundamental domestik semakin kuat, mengerek cadangan devisa dan stabilitas rupiah. Hal ini bakal turut mengurangi gejolak di pasar saham.
Oleh sebab itu, Nico merekomendasikan instrumen saham dengan fokus koleksi pada saham big caps yang punya fundamental solid dan valuasi murah. Ditambah dengan prospek bisnis apik, seperti sektor perbankan yang akan menikmati hasil dari kebijakan DHE.
Baca Juga: IHSG Turun 0,20% ke 6.860 Hingga Tutup Pasar Selasa (24/1), Sektor Teknologi Melesat
"Investasi obligasi juga layak diperhatikan sebagai salah satu instrumen untuk mitigasi risiko volatilitas pasar sembari masih bisa menikmati gain secara fixed," tandas Nico.
Sedangkan Sutopo lebih menyoroti karakteristik pelaku pasar dalam berinvestasi. Untuk tipe investor moderat, Sutopo menilai obligasi dan emas bisa jadi pilihan menarik.
Sedangkan bagi investor yang cenderung agresif, saham jadi instrumen prospektif. "Bisa juga mengatur portofolionya, 70:30. 70% yang moderat dan yang 30% ke agresif," tandas Sutopo.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News