Reporter: Aulia Ivanka Rahmana | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kementerian Keuangan menargetkan penerimaan cukai rokok sebesar Rp 230,4 triliun (+5,3% YoY) dengan pertumbuhan tarif rata-rata sebesar 10% YoY dan tarif sigaret kretek tangan (SKT) maksimum sebesar 5% untuk full year 2024. Alhasil, pertumbuhan volume negatif pada industri rokok akan terus berlanjut.
Pada tahun ini, pemerintah telah merevisi target penerimaan cukai hasil tembakau sebesar 6% menjadi Rp 218,7 triliun karena volume yang lemah di sepuluh bulan pertama 2023.
Analis BNI Danareksa Sekuritas Natalia Sutanto mengatakan, daya beli konsumen akan tetap lemah di tahun depan. Salah satunya karena rata-rata kenaikan upah minimum hanya sebesar 4%.
"Karena tarif cukai yang lebih tinggi akan dibebankan pada harga yang lebih tinggi untuk sigaret kretek mesin (SKM), kami perkirakan akan terus terjadi penurunan perdagangan pada SKT dan kemungkinan juga pada rokok ilegal," kata Natalia dalam riset 4 Desember 2023.
Baca Juga: Volume Penjualan Rokok Diramal Turun di 2024, Intip Rekomendasi HMSP dan GGRM
Dari Badan Pusat Statistik juga menunjukkan bahwa belanja rokok per kapita tetap sebesar 12% dari total belanja pangan dengan CAGR 4,6% sepanjang tahun 2022. Menurut Natalia, hal tersebut sejalan dengan Kementerian Keuangan yang menyatakan bahwa volume dari kategori di bawah tier 1 masih menunjukkan pertumbuhan positif. Ini menunjukkan berlanjutnya penurunan perdagangan dan peningkatan pangsa pasar dari produsen kecil.
"Menurut pandangan kami, jika pemerintah mempersempit diskon tarif antara kategori tier 1 dan sub-tier 1, konsumsi rokok akan dibatasi namun pengumpulan pendapatan pajak akan didukung," tuturnya.
Menurut dia, harus ada upaya lebih lanjut untuk memberantas rokok ilegal yang juga akan mendukung pencapaian penerimaan cukai dan menciptakan kesetaraan dalam industri rokok. Sehingga berpotensi menguntungkan pendapatan pada emiten rokok seperti PT Gudang Garam Tbk (GGRM) dan PT HM Sampoerna Tbk (HMSP).
Baca Juga: Rokok Kretek Menopang Prospek HMSP, Intip Rekomendasi Sahamnya
Memiliki prediksi senada, Direktur Utama Kiwoom Sekuritas Indonesia Chang-kun Shin, juga mengatakan daya beli konsumsi rokok diperkirakan akan tetap melemah pada tahun 2024 yang disebabkan oleh beberapa faktor.
"Pertama, karena kenaikan inflasi yang dapat menekan daya beli masyarakat umum. Kedua, kenaikan suku bunga yang dapat memperlambat pertumbuhan ekonomi dan permintaan, dan kenaikan harga rokok yang disebabkan oleh kenaikan tarif cukai," kata Shin kepada Kontan.co.id, Selasa (12/12).
Sementara itu, menurutnya daya beli konsumen rokok bisa didorong oleh program-program pemerintah. Lalu, adanya peningkatan permintaan rokok dari segmen menengah ke atas, dan peningkatan permintaan ekspor rokok.
Baca Juga: Cermati Saham-Saham Pilihan Investor pada 2024 dan Ulasannya
Namun ia berpendapat, kenaikan upah minimum sebesar 4% secara nominal memang tidak terlalu signifikan, sehingga menurutnya dampaknya tidak akan terasa atau kenaikan upah minimum yang tidak sebanding dengan kenaikan harga rokok.
"Kenaikan upah minimum dapat berdampak positif dan negatif terhadap emiten rokok. Dampak positifnya adalah dapat meningkatkan daya beli konsumen rokok berpenghasilan rendah. Sementara dampak negatifnya adalah dapat meningkatkan biaya produksi rokok, yang dapat berdampak pada penurunan margin keuntungan," tuturnya.
Secara umum, Shin melihat prospek emiten rokok di tahun 2024 diperkirakan akan tetap positif, meskipun pertumbuhan volume penjualan diperkirakan akan tetap negatif yang didorong oleh pertumbuhan penerimaan cukai rokok dan ekspor rokok yang diperkirakan positif dan strategi diversifikasi bisnis yang dilakukan oleh emitem rokok.
Shin merekomendasikan hold atau akumulasi buy pada GGRM dan HMSP. Sementara Natalia merekomendasikan buy pada saham HMSP dengan target harga Rp 1.100 per saham. Natalia bilang, HMSP berkontribusi signifikan pada produk SKT. Lalu, buy pada saham GGRM dengan target harga Rp 24.000 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News