Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan sejumlah bank sentral membawa era suku bunga tinggi secara global. Dari Amerika Serikat (AS), The Fed kembali mendongkrak suku bunga acuan sebesar 25 basis points (bps) ke level 5,25% - 5,50% pada Rabu (26/7).
Sehari berselang, giliran European Central Bank (ECB) mengerek naik suku bunga acuan Eropa sebanyak 25 bps menjadi 3,75%. Pasar masih melihat kemungkinan The Fed maupun ECB kembali mengungkit suku bunga acuan, demi mengejar target penurunan inflasi.
Pelaku pasar pun dinilai perlu menakar dampak suku bunga tinggi bagi kinerja emiten yang punya utang dalam mata uang asing. CEO Pinnacle Investment Indonesia Guntur Putra mengingatkan, kenaikan suku bunga global biasanya berdampak pada naiknya biaya bunga (interest rate) yang harus dibayarkan emiten atas utang-utang yang berdenominasi mata uang asing.
Baca Juga: Simak Sentimen yang Menyeret Pergerakan Rupiah di Pekan Ini
Akibatnya, beban bunga bisa meningkat dan berpotensi mengurangi profitabilitas perusahaan. "Banyak faktor yang memengaruhi, tetapi kenaikan suku bunga acuan global dapat berdampak pada obligasi atau global bond yang diterbitkan oleh emiten," tutur Guntur kepada Kontan.co.id, Minggu (30/7).
Research & Consulting Manager Infovesta Utama Nicodimus Kristiantoro mengamati sejumlah emiten yang memiliki utang obligasi dalam dolar AS (USD). Setelah dikonversi ke rupiah, nilainya terbilang jumbo, seperti PT Indofood CBP Suskes Makmur Tbk (ICBP) yang punya utang obligasi setara Rp 41,1 triliun per laporan 31 Maret 2023.
Pada periode yang sama, tiga emiten properti punya utang obligasi USD setara lebih dari Rp 3 triliun. Yakni PT Lippo Karawaci Tbk (LPKR) setara Rp 6,4 triliun, PT Modernland Realty Tbk (MDLN) senilai Rp 5,4 triliun dan PT Alam Sutera Realty Tbk (ASRI) setara Rp 3,7 triliun.
Selain itu, ada emiten ban PT Gajah Tunggal Tbk (GJTL) yang punya utang obligasi setara Rp 2,6 triliun. Berdasarkan laporan per kuartal II-2023, posisi utang obligasi USD dari LPKR dan MDLN belum banyak berubah, masing-masing setara Rp 6,41 triliun dan Rp 5,51 triliun.
Baca Juga: Rupiah Melemah, Begini Prospek Kinerja Emiten yang Punya Utang Dolar AS
Meski dengan fixed coupon, emiten yang menerbitkan global bond dengan pembayaran bunga dalam denominasi USD akan terpapar risiko kurs. "Jika dalam pencatatannya menggunakan rupiah ketika pembayaran bunga dan kondisi rupiah sedang melemah, maka emiten itu membayar kupon yang lebih besar dibandingkan rupiah sedang menguat," terang Nico.
CEO Edvisor.id Praska Putrantyo menambahkan, secara tidak langsung biaya bunga yang tinggi dalam valuta asing akan membuat pencatatan dalam rupiah menurun dan memangkas margin. Sehingga laba bersih akan tampak merosot dibandingkan periode sebelumnya.
Apalagi ketika kurs rupiah sedang melemah, ditambah jika emiten tersebut memerlukan banyak bahan baku impor saat harga komoditasnya sedang tinggi. Dus, pada umumnya emiten melakukan lindung nilai (hedging) saat ada pembiayaan dalam bentuk valuta asing.
Catatan Praska, strategi tersebut hanya bisa meredam, tidak meniadakan risiko meningkatnya biaya bunga dan pelemahan kurs. "Namun paling tidak meminimalkan risiko penurunan keuntungan lebih dalam akibat pelemahan kurs," imbuhnya.
Dampak terhadap laporan keuangan emiten bisa signifikan jika pendapatan tidak mengalami peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan biaya. Termasuk biaya pinjaman akibat naiknya suku bunga.
Baca Juga: Intip Rekomendasi Saham yang Mendapat Angin Segar dari Penguatan Rupiah
Estimasi Praska, dampak kenaikan suku bunga global saat ini belum signifikan bagi emiten di Indonesia. Alasannya, kenaikan suku bunga acuan lebih fokus untuk meredam laju inflasi agar sesuai dengan target bank sentral.
"Sehingga jika laju inflasi sudah mencapai target, akan ada peluang penurunan suku bunga acuan. Sekaligus membuat biaya pinjaman utang dalam valas tidak mengalami peningkatan signifikan dalam jangka panjang," sebut Praska.
Prospek Emiten
Sementara itu, Guntur menilai emiten yang berencana menerbitkan utang baru dalam mata uang asing mesti berhati-hati. Mempertimbangkan masih adanya peluang kenaikan suku bunga secara global, emiten perlu lebih cermat menghitung risiko atas potensi kenaikan biaya bunga ke depannya.
Di sisi lain, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) lebih stabil dan berpeluang turun lebih dulu. Sehingga penerbitan utang dalam mata uang rupiah bisa menjadi opsi yang menarik.
Baca Juga: Fundamental Sangat Kuat, Mitratel Semakin Terdepan Untuk Ekspansi
"Tetapi balik lagi kondisi masing-masing emiten atau issuers berbeda. Liabilities exposure serta source of revenue emiten juga berbeda," tambah Guntur.
Sedangkan Praska menyoroti ruang kenaikan suku bunga acuan sudah terbatas. Bahkan ada peluang penurunan secara global, karena laju inflasi menunjukkan perlambatan signifikan mendekati target bank sentral. "Tidak hanya di AS dan Uni Eropa, tapi juga di Indonesia, dimana laju inflasi terus menurun," imbuh Praska.
Menurut dia, pertimbangan emiten mencari pendanaan yang lebih optimal dari dalam negeri atau penerbitan global bonds, akan lebih tergantung pada risiko nilai tukar rupiah ke depan. Emiten juga perlu mencermati kemampuan penyerapan pasar terhadap obligasi yang diterbitkan untuk kebutuhan refinancing maupun ekspansi bisnis.
Hal yang krusial, emiten dengan porsi utang mata uang asing mesti menjaga tingkat profitabilitas dan solvabilitas, untuk mengukur kekuatan finansial menghadapi dampak kenaikan suku bunga yang berpotensi memengaruhi biaya pinjaman. Di samping mencetak pertumbuhan laba operasional sebagai basis dalam memenuhi kemampuan pembayaran bunga.
Baca Juga: Fundamental Sangat Kuat, Mitratel Semakin Terdepan Untuk Ekspansi
Dari sederet emiten dengan utang mata uang asing, Nico melihat fundamental ICBP dan GJTL masih yang paling menarik. Apalagi dengan mempertimbangkan prospek positif bisnis keduanya, serta perbaikan fundamental secara berkelanjutan.
Nico menyematkan rekomendasi buy untuk saham ICBP dengan support Rp 11.000 dan target harga di Rp 11.800. Lalu buy on weakness untuk saham GJTL dengan support Rp 1.015 dan target harga di Rp 1.165 per lembar saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News