Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Noverius Laoli
Apalagi ketika kurs rupiah sedang melemah, ditambah jika emiten tersebut memerlukan banyak bahan baku impor saat harga komoditasnya sedang tinggi. Dus, pada umumnya emiten melakukan lindung nilai (hedging) saat ada pembiayaan dalam bentuk valuta asing.
Catatan Praska, strategi tersebut hanya bisa meredam, tidak meniadakan risiko meningkatnya biaya bunga dan pelemahan kurs. "Namun paling tidak meminimalkan risiko penurunan keuntungan lebih dalam akibat pelemahan kurs," imbuhnya.
Dampak terhadap laporan keuangan emiten bisa signifikan jika pendapatan tidak mengalami peningkatan yang lebih tinggi dibandingkan pertumbuhan biaya. Termasuk biaya pinjaman akibat naiknya suku bunga.
Baca Juga: Intip Rekomendasi Saham yang Mendapat Angin Segar dari Penguatan Rupiah
Estimasi Praska, dampak kenaikan suku bunga global saat ini belum signifikan bagi emiten di Indonesia. Alasannya, kenaikan suku bunga acuan lebih fokus untuk meredam laju inflasi agar sesuai dengan target bank sentral.
"Sehingga jika laju inflasi sudah mencapai target, akan ada peluang penurunan suku bunga acuan. Sekaligus membuat biaya pinjaman utang dalam valas tidak mengalami peningkatan signifikan dalam jangka panjang," sebut Praska.
Prospek Emiten
Sementara itu, Guntur menilai emiten yang berencana menerbitkan utang baru dalam mata uang asing mesti berhati-hati. Mempertimbangkan masih adanya peluang kenaikan suku bunga secara global, emiten perlu lebih cermat menghitung risiko atas potensi kenaikan biaya bunga ke depannya.
Di sisi lain, suku bunga acuan Bank Indonesia (BI) lebih stabil dan berpeluang turun lebih dulu. Sehingga penerbitan utang dalam mata uang rupiah bisa menjadi opsi yang menarik.
Baca Juga: Fundamental Sangat Kuat, Mitratel Semakin Terdepan Untuk Ekspansi
"Tetapi balik lagi kondisi masing-masing emiten atau issuers berbeda. Liabilities exposure serta source of revenue emiten juga berbeda," tambah Guntur.