Reporter: Emir Yanwardhana, Narita Indrastiti | Editor: Rizki Caturini
JAKARTA. Menjaga agar kapal tak tenggelam saat badai tentu bukan perkara yang mudah. Ini pula yang menjadi tantangan Grup Bakrie hingga kini. Dalam perjalanan bisnisnya selama hampir 75 tahun, Grup Bakrie sudah mengalami jatuh bangun saat menghadapi berbagai gelombang krisis.
Mendiang Achmad Bakrie adalah pendiri kelompok usaha Grup Bakrie. Pada Februari 1942, tiga tahun sebelum Indonesia merdeka, Achmad Bakrie bersama kakak kandungnya, yakni Abu Yamin, mendirikan firma Bakrie & Brothers General Merchant and Commision Agent. Perusahaan ini bergerak di bidang perdagangan umum hasil bumi, seperti kopi, lada, cengkeh dan sebagainya.
Satu dekade berselang, perusahaan ini berubah menjadi NV Bakrie & Brothers. Perusahaan ini juga mulai merintis hubungan dagang dengan Eropa. Gurita bisnis makin meluas dan Bakrie bersaudara menjajal bisnis manufaktur.
Hingga era 1980-an, Grup Bakrie makin mantap berbisnis pipa baja, logam dan konstruksi. Pada 1982-1991, Bakrie & Brothers melepas sahamnya ke publik dan tercatat sebagai salah satu emiten pioner di bursa dengan kode BNBR. "Bisa dibilang, kami adalah pionir di bidang pipa baja dan manufaktur," ujar Bobby Gafur Umar, Direktur Utama Bakrie & Brothers.
Setelah itu, Grup Bakrie terus melepas saham beberapa anak usahanya ke bursa saham. Pada era 1990-an, Bakrie merangsek ke sektor pertambangan dan energi. Kejayaan Bakrie bertahan cukup lama. Saham emiten Grup Bakrie menjadi primadona dan diburu investor.
Bahkan, saham PT Bumi Resources Tbk (BUMI) kondang disebut saham sejuta umat. BUMI juga menjadi perusahaan dengan cadangan batubara terbesar di Asia. Kala itu, BUMI mengakuisisi 80% saham PT Arutmin Indonesia dan 100% kepemilikan PT Kaltim Prima Coal senilai US$ 500 juta.