Reporter: Nur Qolbi | Editor: Noverius Laoli
Meskipun begitu, Robertus mengatakan bahwa fundamental emiten-emiten di atas masih tergolong bagus. Akan tetapi, ke depannya, ia melihat masih banyak tantangan eksternal untuk bisnis emiten-emiten tersebut.
“Rekomendasi saham masih netral, tantangan masih berat seperti lima tahun sebelumnya,” kata dia saat dihubungi Kontan.co.id, Sabtu (24/8).
Baca Juga: Enam saham merah, ini daftar 10 saham LQ45 dengan PER terkecil (22 Agustus 2019)
Bernada serupa, Analis Jasa Utama Capital Sekuritas Chris Apriliony juga menyarankan investor untuk menghindari dulu saham-saham tersebut. “Belum ada tanda-tanda pembalikan arah dari saham-saham tersebut,” ucap dia.
Untuk emiten-emiten dengan penurunan kinerja saham terdalam selanjutnya, Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilanus Nico Demus mengatakan, saham EXCL turun karena adanya pembukuan kerugian pada 2018 sebesar Rp 3,30 triliun karena keperluan ekspansi dan lain-lain.
Berbanding terbalik dari tahun sebelumnya yang mencatatkan laba Rp 375 miliar. Berdasarkan catatan Kontan.co.id, hal ini disebabkan oleh adanya biaya penyusutan yang dipercepat karena pengurangan penggunaan jaringan 2G yang tekah dimatikan, dibongkar, dan usang atau tidak digunakan lagi, Langkah ini diambil karena XL Axiata akan fokus menggarap bisnis data dan menjadi penyedia internet seluler.
Selanjutnya, penurunan saham SMGR disebabkan oleh adanya kelebihan pasokan semen dan industri semen Indonesia yang akan menghadapi persaingan bebas ke depannya.
Sementara itu, menurut Nico saham ASII turun karena perusahaan ini kurang berinovasi dalam produknya. “ASII tidak pernah berbenah untuk membuat sesuatu produk otomotif yang baru, yang segar, dengan biaya terjangkau.Alhasil, ketika ada saingannya muncul dengan memberikan harga dan fitur yang lebih baik, ASII tidak bisa bersaing,” kata dia.
Kemudian, penurunan saham AKRA disebabkan oleh kinerja keuangan AKRA. Per semester I-2019, pendapatan AKRA menurun 13,37% year on year, dari Rp 11,21 triliun menjadi Rp 9,71 triliun. “Penurunan ini dipengaruhi oleh distribusi produk dan penurunan harga secara global untuk bahan kimia selama semester 1 lalu. Patut kita ingat bahwa 90% pendapatan AKRA berasal dari perdagangan dan distribusi,” kata dia.
Selanjutnya, penurunan harga saham BSDE disebabkan daya beli properti yang sempat lesu dari tahun lalu hingga pertengahan 2019. Ditambah lagi, adanya tren kenaikan suku bunga yang membuat pasar kurang bergairah.
Baca Juga: Saham-Saham Sektor Batubara Terbang, Cermati ADRO
Meskipun begitu, Nico melihat peluang kenaikan harga saham pada emiten-emiten tersebut. Untuk EXCL, ia melihat adanya perbaikan dari segi pendapatan dan laba pada paruh pertama tahun ini.
Selain itu, EXCL juga terus melakukan ekspansi yang terlihat dari peningkatan infrastruktur 4G dan persiapan jaringan 5G melalui fiberisasi, serta adanya penambahan jumlah pelanggan.
Menurut Nico, hal ini akan menjadi modal yang cukup baik bagi EXCL untuk semester 2-2019 dan untuk bersaing di bisnis ini.