Reporter: Veri Nurhansyah Tragistina | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Kondisi finansial operator telekomunikasi PT Bakrie Telecom Tbk (BTEL) megap-megap. Dalam tempo sebulan, tiga lembaga pemeringkat memangkas peringkat surat utang BTEL.
Standard & Poor\'s (S&P) menurunkan peringkat surat utang jangka panjang, termasuk senior notes BTEL, dari B menjadi CCC+ dengan outlook negatif. S&P memandang BTEL tak akan bisa menempuh langkah strategis untuk melunasi obligasi Rp 650 miliar yang jatuh tempo pada September nanti.
Kemudian, PT Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) memangkas peringkat Obligasi Bakrie Telecom I-2007 menjadi idBBb- dari sebelumnya idBBB+. Terakhir, Fitch Ratings menurunkan peringkat kredit denominasi asing jangka panjang (long-term foreign) dan kredit dalam rupiah (local-currency issuer) BTEL dari B menjadi CCC. Fitch juga menebas peringkat obligasi senior BTEL dari B menjadi CCC.
Alasan ketiga lembaga pemeringkat ini relatif sama. Mereka menilai BTEL kesulitan melunasi Obligasi Bakrie Telecom I-2007 senilai Rp 650 miliar pada saat jatuh tempo.
Langkah berat
Pasalnya, posisi kas dan setara kas BTEL tak cukup untuk melunasi surat utang itu. Hingga akhir September 2011, kas dan setara kas BTEL hanya Rp 359,11 miliar. Fitch memprediksi posisi ini tergerus menjadi Rp 250 miliar di akhir 2011.
Chandra Pasaribu, analis Danareksa Sekuritas, mengatakan penurunan peringkat itu semakin memberatkan langkah BTEL mencari sumber pendanaan demi melunasi obligasi. Soalnya, BTEL menanggung risiko likuiditas yang lebih tinggi setelah peringkat utangnya terpangkas.
Operator pengusung merek Esia ini bisa saja mencari pinjaman ke pihak ketiga guna membiayai kembali utangnya alias refinancing. Tapi cost of fund BTEL akan lebih tinggi. "Opsi ini akan terbuka jika induk usaha BTEL yaitu Grup Bakrie bisa memberikan garansi dalam bentuk agunan ke kreditur. Tapi dengan itu pun cost of fund-nya masih tinggi," kata Chandra, Selasa (6/3).
Belum lama ini tersiar kabar BTEL tengah menjajaki penerbitan saham baru (rights issue) sebagai salah satu opsi pelunasan obligasi. Chandra menilai opsi ini mungkin ditempuh ketika pencarian dana lewat pinjaman baru mentok.
Tapi langkah ini pun mengandung risiko besar. Sebab, tak ada jaminan saham rights issue itu terserap secara maksimal. Opsi rights issue juga rentan menjepit pemilik minoritas BTEL lantaran aksi itu mengakibatkan dilusi saham. "Jika Grup Bakrie mau meng-exercise saham rights issue BTEL, itu baru efektif," lanjut Chandra.
Reza Nugraha, analis MNC Securitas menambahkan, bayangan gagal bayar (default) merupakan sentimen negatif BTEL. Ini diperkuat buruknya kinerja BTEL selama 2011. Dia memprediksi BTEL mencatatkan rugi bersih Rp 300 miliar selama tahun lalu. Rugi bersih akan berlanjut di 2012 yang diprediksi Rp 255 miliar.
Chandra dan Reza merekomendasikan investor melepas saham BTEL, sampai ada kejelasan soal pendanaan refinancing obligasinya. Chandra menetapkan target Rp 265 per saham, sedangkan Reza menargetkan Rp 240 per saham.
Deni Hamzah, analis Corfina Capital menambahkan, harga saham BTEL bergerak terbatas dalam beberapa waktu terakhir. Di jangka pendek, saham BTEL belum bisa menguat. Kendati demikian, Deni menyarankan investor melakukan trading buy dengan target Rp 240 per saham.
Harga saham BTEL kemarin ditutup melemah 3,85% menjadi Rp 250 per saham.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News