Reporter: Inggit Yulis Tarigan | Editor: Putri Werdiningsih
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. PT Sinar Mas Agro Resources and Technology Tbk (SMAR) diperkirakan akan menjadi salah satu yang terdampak keputusan pemerintah menaikkan tarif pungutan ekspor minyak sawit mentah (crude palm oil/CPO) dari 7,5% menjadi 10% yang mulai berlaku 17 Mei 2025 ini.
Tantangannya menjadi semakin berat pasalnya SMAR tergolong perusahaan kelapa sawit yang memiliki eksposur ekspor cukup besar. Tahun 2024 saja, perseroan membukukan penjualan Rp 66,53 triliun, dengan porsi ekspor mencapai Rp 33,11 triliun.
Baca Juga: Mulai 17 Mei 2025, Pungutan Ekspor CPO Naik jadi 10%
Analis Infovesta Kapital Advisori, Ekky Topan menyebut bahwa risiko penurunan margin SMAR cukup terbuka, terutama jika beban logistik dan biaya lainnya masih tinggi. A[palagi di kuartal I 2025 sudah mencatatkan penurunan laba bersih sebesar 24,5%.
“Meski begitu, SMAR memiliki keunggulan dari sisi efisiensi operasional dan model bisnis terintegrasi dari hulu ke hilir. Hal ini menjadi bantalan penting untuk meredam dampak negatif dari kenaikan tarif ekspor tersebut,” terang Ekky pada Kontan, (15/5).
Dari sisi valuasi, ia menyebut SMAR masih berada di atas rata-rata industri. Tekanan margin bisa membuat harga sahamnya tertinggal dibandingkan emiten lain di sektor serupa. Namun secara sektoral, saham-saham sawit masih atraktif, dengan valuasi yang relatif murah dan analisis teknikal yang menunjukkan potensi pembalikan arah.
Baca Juga: Sinar Mas Agro Resources and Technology (SMAR) Akan Ekspansi ke Bisnis Biogas
Disisi lain, Investment Analyst Edvisor Profina Visindo, Iqbal Suyudi menyampaikan bahwa prospek bottom line SMAR kemungkinan akan sedikit melambat, karena sekitar 40% penjualannya berasal dari ekspor.
“Tarif ekspor yang berlaku untuk CPO dan turunannya, ditambah tekanan harga sawit global akibat proyeksi oversupply, hingga rupiah yang lemah juga membuat margin laba rawan tergerus pada kuartal II atau III 2025,” tegas Iqbal pada Kontan, (15/5).
Meski begitu, ia menyoroti sisi positif dari SMAR karena memiliki operasional yang efisien berkat model bisnis terintegrasi. Selain itu, adanya penambahan lini bisnis baru yang mengolah limbah menjadi sumber energi bagi pabrik juga berpotensi menekan biaya operasional ke depan.
“Dari sisi valuasi, SMAR berada di area mixed. Berdasarkan rata-rata price to earning ratio (PER) 3 tahun terakhir, valuasinya tergolong mahal. Tapi dari sisi price to book value (PBV), justru berada di area murah,” pungkasnya.
Selanjutnya: Airlangga Hartarto: Industri Halal Indonesia Masih Kalah dengan Malaysia
Menarik Dibaca: 5 Cara Mencegah Depresi pada Remaja, Selalu Pantau Media Sosial Anak
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News