kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45919,51   10,20   1.12%
  • EMAS1.350.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Aset berisiko seperti emas dan obligasi menarik di saat perang melawan Covid 19


Senin, 05 Oktober 2020 / 07:00 WIB
Aset berisiko seperti emas dan obligasi menarik di saat perang melawan Covid 19


Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Emas menjadi aset paling cuan sepanjang tahun ini. Meski demikian hingga akhir tahun ini, Chief Investment Officer Bank DBS, Hou Wey Fook dalam rilis Jumat 2 Oktober 2020 menilai investasi di aset berisiko tetap menarik. 

"Kami tetap merekomendasikan untuk berinvestasi di aset berisiko, seperti, ekuitas dan obligasi korporasi, di tengah upaya global memerangi COVID-19," kata Hou Wey Fook dalam rilis. 

Baca Juga: Investor mulai antisipasi kemenangan Joe Biden setelah Donald Trump positif corona

Setelah memasuki gejolak, DBS menilai, saat ini mulai melihat tanda-tanda pemulihan ekonomi. Pelonggaran pembatasan sosial di beberapa negara, peningkatan belanja fiskal secara global, dan suku bunga nol persen akan menjamin pertumbuhan berangsur-angsur pulih. 
 
Menurut Hou Wey, memasuki triwulan terakhir 2020, ada dua perkembangan yang harus diperhatikan oleh investor. Pertama, pemilihan presiden AS. Kedua penemuan vaksin.  "Kami melihat keduanya mempunyai dampak risiko yang cenderung netral atau positif terhadap pasar," terang dia dalam rilis.  

DBS CIO dalam rilis menjelaskan jika strategi barbell alias berinvestasi di dua aset ekstrem, yakni aset berisiko tinggi dan aset berisiko rendah, serta menghindari investasi jangka menengah menunjukkan ketahanan dan keberhasilan di tengah ketidakpastian kondisi ekonomi. "Tetaplah berinvestasi di saham yang pertumbuhannya tidak dipengaruhi tren jangka pendek (secular growth securities), aset yang menghasilkan pendapatan, dan emas di dunia digital baru ini, di tengah situasi suku bunga sangat rendah," terang Hou Wey. 

Baca Juga: Simak strategi alokasi investasi pada kuartal IV 2020

Bank DBS memandang positif pasar saham AS dan China. Sejak turun ke titik terendah pada Maret, Indeks S&P 500 membukukan kenaikan sebesar 51,2%, melampaui titik tertinggi sebelumnya. Bank DBS menilai, pelonggaran moneter AS dalam skala besar yang belum pernah terjadi sebelumnya oleh Bank Sentral AS dan pandemi yang tidak diketahui sampai kapan, serta penurunan suku bunga telah berperan mendorong harga saham AS. 

Kondisi yang sama juga dialami oleh IHSG, dimana IHSG telah menguat 13,76% dalam enam bulan terakhir. 

"Kami memperkirakan momentum kuat dalam penguatan saham teknologi akan terus berlanjut, karena percepatan bifurkasi global telah semakin memperkuat daya tarik sektor teknologi sebagai dampak dari pandemi," terang Hou Wey. Peningkatan pembatasan sosial semakin mendorong kegiatan bisnis dan rekreasi beralih ke daring, dan bisnis yang mendapatkan manfaat dari kecenderungan ini adalah e-commerce, video conferencing, serta perusahaan perangkat lunak/perangkat keras dalam lanskap teknologi.

Baca Juga: Terkoreksi 7,03% di bulan September, begini prospek IHSG pada Oktober 2020

Analis mulai meredakan kecemasan mereka terkait pandemi dan merevisi perkiraan pendapatan. Pertumbuhan pendapatan korporasi di Amerika diperkirakan melonjak 18% pada 2021, didorong kombinasi pertumbuhan pendapatan kotor perusahaan dan ekspansi margin. Valuasi yang diharapkan (implied valuation) kemungkinan naik karena suku bunga bebas risiko turun.

"Kami memiliki pandangan positif prospek saham China karena menawarkan imbal hasil menggiurkan kepada investor dan valuasi yang menarik serta pertumbuhan pendapatan perusahaan kuat dalam jangka panjang," terang Hou Wey. Hal ini disebabkan transformasi pasar yang sedang berlangsung dan peningkatan konsumsi domestik. 

Baca Juga: Perketat manajemen risiko, OJK merilis aturan baru bagi industri keuangan non bank

Saham China terus menarik arus dana masuk karena penawaran investasi yang unik. Selain melayani manajer portofolio global dan regional untuk tujuan diversifikasi alokasi, saham China memiliki enam aspek, yaitu pemulihan ekonomi domestik lebih cepat, bauran pendapatan lebih tinggi daripada permintaan lokal dan pemerintah meningkatkan langkah-langkah stimulus. 

Faktor lain yang membuat saham China menarik lantaran penyesuaian kebijakan penuh kehati-hatian dan akses ke sektor ekonomi baru China.

Pasar saham China juga semakin penting dalam representasi indeks global seiring dengan pembukaan pasar keuangan secara bertahap. 

Pemilu AS disebut-sebut akan mempengaruhi pergerakan pasar modal. Tapi kalau menurut Bank DBS dari perspektif pasar keuangan, pemilu AS pada November tidak akan berdampak terhadap aset berisiko. 

Baca Juga: Ada corona, saham perusahaan teknologi Eropa naik dua kali lipat

Meskipun aset berisiko mungkin mendapat manfaat dari pemotongan pajak lebih lanjut sejalan dengan gaya agresif Donald Trump dari Partai Republik dalam kebijakan luar negeri akan mempengaruhi sentimen secara keseluruhan. 

Kemenangan Demokrat dalam pemilihan presiden tidak berarti bencana karena aset berisiko secara historis mengalami penguatan selama masa kepresidenan Demokrat dalam periode 6, 12, dan 24 bulan. Pemerintahan Biden kemungkinan mempertahankan sikap tegas namun lebih mudah diramalkan hubungannya dengan Chin. Hal ini positif untuk sentimen pasar.

Selain pemilu di AS, faktor lain yang perlu diperhatikan adalah penemuan vaksin Covid 19. Menurut pemberitaan terakhir, kemungkinan penemuan vaksin COVID-19 bukan lagi persoalan jika tetapi kapan. 

Jika vaksin disetujui dalam beberapa bulan mendatang, itu akan memperbaiki aset berisiko secara umum. Namun, dampak positifnya tidak akan seragam karena beberapa industri akan mendapatkan keuntungan lebih dari yang lain. 

Baca Juga: Aset safe haven jadi buruan, rupiah bakal melemah atas dolar AS pada Senin (5/10)

Restoran, hotel, tempat perjudian, dan rekreasi siap untuk kembali naik dengan kuat, sementara industri penerbangan diperkirakan mengalami kesulitan struktural.

Investasi di obligasi yang fokus pada obligasi Eropa dan Asia dengan imbal hasil tinggi. Ini dengan melihat durasi portofolio rata-rata selama lima tahun. 

Pengetatan selisih kredit antara triwulan kedua dan triwulan ketiga tahun ini telah mengikis banyak keuntungan tambahan yang biasanya diterima investor sebagai kompensasi atas risiko gagal bayar obligasi berimbal hasil tinggi. Karena itu, investor disarankanmemposisikan diri sedemikian rupa guna menghindari kerugian pada titik ini.

Tapi menurut DBS, kredit Asia tetap memberikan nilai kepada investor dari perspektif fundamental dan valuasi. Ini karena ada faktor pendukung. Yakni dengan mengamati seluruh pasar kredit global. 

Baca Juga: Usai jadi instrumen juara hingga triwulan III, harga emas diramal masih bakal naik

"Kami juga melihat katalis positif untuk obligasi Eropa berimbal hasil tinggi, dan yakin ada kemungkinan pasar akan mengejar ketertinggalan dari pasar lain," kata Chief Investment Officer, Bank DBS, Hou Wey Fook.

Mengingat kurva G-3 akan turun dalam beberapa bulan mendatang. "Kami mempertahankan preferensi kami untuk durasi portofolio rata-rata lima tahun," terang Hou Wey Fook. 

Untuk investasi  emas, Bank DBS menilai harga emas akan terus bergerak menguat dalam 12 bulan ke depan di US$ 2.300 per ons troi.  Emas sebagai diversifikasi risiko telah terbukti sebagai pelindung nilai efektif, mengungguli sebagian besar mata uang termasuk dollar AS dalam 10 tahun terakhir. 

Baca Juga: Warren Buffett ungkap cara berinvestasi investor berkualitas tinggi

Kekhawatiran akan potensi kembalinya inflasi adalah alasan lain mempertimbangkan investasi di aset berisiko rendah (safe havens), seperti emas, yang telah berkinerja baik dalam kondisi inflasi. Pricing model emas menunjukkan bahwa tiga pendorong terpenting harga emas adalah imbal hasil obligasi (korelasi negatif), Indeks Dolar AS (DXY) (korelasi negatif), dan risiko resesi (korelasi positif). 

Faktor-faktor ini telah berjalan dengan baik kecuali untuk indeks dollar AS yang cenderung penurunannya telah berhenti. "Kami memperkirakan indeks dollar akan melemah pasca pemilihan AS," kata Hou Wey.

Bank DBS yakin kenaikan harga emas, tidak seperti harga minyak dan harga properti, tidak bersifat inflasi dan tidak menghalangi pemulihan ekonomi. Oleh karena itu, tidak ada kemungkinan menyebabkan tindakan moneter apa pun.

Tapi memang penguatan harga emas bisa hancur akibat tindakan moneter. Pada 1980-an, harga emas anjlok akibat inflasi tinggi karena harga minyak tinggi, diikuti dengan kenaikan suku bunga agresif hingga 20%. 

Baca Juga: Emas masih jadi instrumen jawara hingga kuartal 3, berpotensi naik hingga akhir 2020

Pada 2012, pembicaraan tentang penghentian pelonggaran likuiditas (quantitative easing, QE), yang berakhir pada 2015, membuat investor emas gelisah. "Kami yakin kondisi ini membutuhkan waktu lama sebelum terjadi," kata Hou Wey. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Success in B2B Selling Omzet Meningkat dengan Digital Marketing #BisnisJangkaPanjang, #TanpaCoding, #PraktekLangsung

[X]
×