kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,71   -4,31   -0.48%
  • EMAS1.308.000 -0,76%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Aset berisiko seperti emas dan obligasi menarik di saat perang melawan Covid 19


Senin, 05 Oktober 2020 / 07:00 WIB
Aset berisiko seperti emas dan obligasi menarik di saat perang melawan Covid 19


Reporter: Avanty Nurdiana | Editor: Avanty Nurdiana

Investasi di obligasi yang fokus pada obligasi Eropa dan Asia dengan imbal hasil tinggi. Ini dengan melihat durasi portofolio rata-rata selama lima tahun. 

Pengetatan selisih kredit antara triwulan kedua dan triwulan ketiga tahun ini telah mengikis banyak keuntungan tambahan yang biasanya diterima investor sebagai kompensasi atas risiko gagal bayar obligasi berimbal hasil tinggi. Karena itu, investor disarankanmemposisikan diri sedemikian rupa guna menghindari kerugian pada titik ini.

Tapi menurut DBS, kredit Asia tetap memberikan nilai kepada investor dari perspektif fundamental dan valuasi. Ini karena ada faktor pendukung. Yakni dengan mengamati seluruh pasar kredit global. 

Baca Juga: Usai jadi instrumen juara hingga triwulan III, harga emas diramal masih bakal naik

"Kami juga melihat katalis positif untuk obligasi Eropa berimbal hasil tinggi, dan yakin ada kemungkinan pasar akan mengejar ketertinggalan dari pasar lain," kata Chief Investment Officer, Bank DBS, Hou Wey Fook.

Mengingat kurva G-3 akan turun dalam beberapa bulan mendatang. "Kami mempertahankan preferensi kami untuk durasi portofolio rata-rata lima tahun," terang Hou Wey Fook. 

Untuk investasi  emas, Bank DBS menilai harga emas akan terus bergerak menguat dalam 12 bulan ke depan di US$ 2.300 per ons troi.  Emas sebagai diversifikasi risiko telah terbukti sebagai pelindung nilai efektif, mengungguli sebagian besar mata uang termasuk dollar AS dalam 10 tahun terakhir. 

Baca Juga: Warren Buffett ungkap cara berinvestasi investor berkualitas tinggi

Kekhawatiran akan potensi kembalinya inflasi adalah alasan lain mempertimbangkan investasi di aset berisiko rendah (safe havens), seperti emas, yang telah berkinerja baik dalam kondisi inflasi. Pricing model emas menunjukkan bahwa tiga pendorong terpenting harga emas adalah imbal hasil obligasi (korelasi negatif), Indeks Dolar AS (DXY) (korelasi negatif), dan risiko resesi (korelasi positif). 

Faktor-faktor ini telah berjalan dengan baik kecuali untuk indeks dollar AS yang cenderung penurunannya telah berhenti. "Kami memperkirakan indeks dollar akan melemah pasca pemilihan AS," kata Hou Wey.

Bank DBS yakin kenaikan harga emas, tidak seperti harga minyak dan harga properti, tidak bersifat inflasi dan tidak menghalangi pemulihan ekonomi. Oleh karena itu, tidak ada kemungkinan menyebabkan tindakan moneter apa pun.

Tapi memang penguatan harga emas bisa hancur akibat tindakan moneter. Pada 1980-an, harga emas anjlok akibat inflasi tinggi karena harga minyak tinggi, diikuti dengan kenaikan suku bunga agresif hingga 20%. 

Baca Juga: Emas masih jadi instrumen jawara hingga kuartal 3, berpotensi naik hingga akhir 2020

Pada 2012, pembicaraan tentang penghentian pelonggaran likuiditas (quantitative easing, QE), yang berakhir pada 2015, membuat investor emas gelisah. "Kami yakin kondisi ini membutuhkan waktu lama sebelum terjadi," kata Hou Wey. 

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Practical Business Acumen Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×