Reporter: Ridwan Nanda Mulyana | Editor: Yudho Winarto
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Hajatan Initial Public Offering (IPO) tetap semarak dalam tiga tahun terakhir. Pandemi Covid-19 tampak tak menyurutkan animo perusahaan untuk melantai di Bursa Efek Indonesia (BEI).
Tercatat ada 160 perusahaan yang menggelar IPO dalam kurun 2019-2021. Hingar bingar IPO pun masih ramai di tahun ini. Hingga 20 April 2022, sudah ada 17 emiten baru yang menjadi anggota BEI.
Dari deretan emiten tersebut, ada yang pergerakan sahamnya sudah meroket hingga ribuan persen sejak IPO. Namun ada juga yang harga sahamnya merosot tajam.
PT DCI Indonesia Tbk (DCII) menjadi jawara dengan kenaikan hingga 9.352,38%. Sedangkan PT Ginting Jaya Energi Tbk (WOWS) mencatatkan penurunan yang paling dalam sebesar -88,22%.
Untuk emiten yang IPO pada tahun ini, PT Adaro Mineral Indonesia Tbk (ADMR) mencetak kenaikan signifikan, hingga 2.690%.
Baca Juga: Dapat Restu Presiden Jokowi, PTPN Group Siap Go Public Tahun Ini
Associate Director of Research and Investment Pilarmas Investindo Sekuritas Maximilianus Nico Demus mengatakan, pemilihan momentum berperan penting dalam pergerakan saham di sekitar IPO. Saat pandemi covid-19 merebak, 2020-2021 sektor teknologi dan kesehatan menjadi primadona.
Sedangkan saat ini, booming harga komoditas membuat prospek emiten di sektor pertambangan khususnya batubara menjadi terangkat.
"Sentimen dari faktor global juga berpengaruh. Tapi ketika fase itu usai, itu bisa berallih kepada sektor lain. Karena pemulihan ekonomi tidak mungkin langsung pada semua sektor," kata Nico kepada Kontan.co.id, Rabu (20/4).
Oleh sebab itu, rotasi sektoral juga mesti dicermati pelaku pasar. Hanya saja, di tengah perkembangan situasi pandemi serta geopolitik dan ekonomi global saat ini, masih sulit untuk memetakan rotasi sektoral ke depan.
"Mungkin dapat diperhatikan, sektor mana yang nantinya in line dengan business plant-nya pemerintah," ujar Nico.
Nico memberikan gambaran, bisa jadi sektor properti akan bangkit kembali di tengah pulihnya tingkat daya beli masyarakat. Namun, faktor-faktor internal dan eksternal yang dapat menghambat pemulihan ekonomi bisa menjadi batu sandungan.
Baca Juga: Saham IPO Memberi Cuan Ribuan Persen, Investor Perlu Selektif
Adapun sektor teknologi yang mulai lesu pada awal tahun ini, cenderung bertenaga kembali sejak proses IPO PT GoTo Gojek Tokopedia Tbk (GOTO) dan lonjakan saham PT WIR Asia Tbk (WIRG).
Terlepas dari sektor mana pun yang sedang menjadi primadona, Nico menekankan agar pelaku pasar tetap mencermati fundamental, valuasi dan prospek bisnis masing-masing emiten ke depan. Selain itu, ekosistem bisnis juga mesti diperhatikan, apalagi jika itu menyangkut saham bank digital.
Head of Investment Research Infovesta Utama Wawan Hendrayana juga menyarankan agar pelaku pasar yang mengincar saham IPO tidak hanya terpaku pada sentimen dari sektor tertentu.
Ketimbang bergantung pada sektor, Wawan mengingatkan agar investor fokus mencermati tiga faktor penting yang mesti ada di emiten.
Pertama, faktor fundamental perusahaan dan kemampuan dalam mencetak profitabilitas. "Ini bisa dilihat dari laporan keuangan, bagaimana pertumbuhan di bisnis utamanya. Sepanjang menunjukkan keberlanjutan, maka bisa sebagai investasi jangka panjang," kata Wawan.
Kedua, prospek bisnis. Wawan bilang, perusahaan teknologi lebih banyak menjual prospek bisnis, lantaran jarang ada yang sudah mencapai pertumbuhan profitabilitas. Prospek bisnis penting, lantaran merefleksikan ekspektasi pasar.
Jika harga saham turun, berarti ekspektasi pasar cenderung negatif, sehingga investor hati-hati untuk berinvestasi. Ketiga, faktor likuiditas perusahaan. "Likuiditas penting untuk bisa naik secara sustain. Bisa jadi prospek kelihatan bagus, tapi sekali banyak yang jual, bisa turun drastis kalau likuiditasnya kecil," imbuh Wawan.
Dengan menimbang ketiga faktor di atas, Wawan menekankan bahwa tidak ada jaminan saham IPO di sektor tertentu akan otomatis punya kinerja yang bagus. Lantaran semuanya akan berpulang pada masing-masing emiten.
Baca Juga: Tips Memilih Saham yang Baru IPO untuk Investasi Jangka Panjang
Oleh sebab itu, pelaku pasar jangan sampai terjebak dalam Fear of Missing out (FOMO) alias ikut-ikutan dalam memilih saham IPO. "Karena investasi saham adalah proses berkelanjutan, tidak hanya sekali masuk selesai. Perusahaan harus tumbuh, bisnis bisa naik bisa turun. Tidak salahnya menunggu, melihat kinerja setelah IPO, baru memutuskan," jelasnya.
Yang tak kalah penting, Wawan menyarankan agar pelaku pasar memiliki exit strategy baik untuk profit taking maupun cutloss. Misalnya, 10%-15% untuk cutloss agar menjaga tidak jatuh terlalu dalam, dan 15%-20% untuk profit taking.
Equity Analyst Kanaka Hita Solvera William Wibowo juga mengamini bahwa terlepas dari euforia saat IPO, pergerakan harga saham pada akhirnya akan bergantung pada performa masing-masing perusahaan.
William menyebut, jangka waktu satu tahun atau saat laporan keuangan diterbitkan, bisa menjadi momentum untuk menilai kelayakan investasi.
Secara teknikal, William melihat DMMX dan AVIA berpotensi akan memberikan capital gain yang positif ke depannya. "Dari sisi dividen, emiten MTEL menarik untuk dipertimbangkan mengingat rencana ekspansi bisnis dunia digital yang sangat relevan dengan perkembangan zaman," pungkas William.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News