kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45893,43   -4,59   -0.51%
  • EMAS1.306.000 -0,15%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Adrian Panggabean: Di kondisi krisis, forecast tidak bisa dengan cara biasa


Selasa, 28 April 2020 / 06:38 WIB
Adrian Panggabean: Di kondisi krisis, forecast tidak bisa dengan cara biasa
ILUSTRASI. Diskusi bersama?Chief Economist bank CIMB Niaga Adrian Panggabean di Jakarta (28/11/2018).


Reporter: Djumyati Partawidjaja | Editor: Djumyati P.

KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Menebak arah pasar dalam kondisi wabah seperti sekarang ini adalah tantangan besar. Ada begitu banyak ketidakpastian yang terjadi di seluruh dunia. Mulai dari polarisasi yang terjadi di berbagai belahan dunia sampai absennya pemimpin dunia saat ini. 

Berikut ini wawancara Kontan dengan Adrian Panggabean Chief Economist Bank CIMB Niaga Tbk untuk membahas forecast mengenai kondisi ekonomi di tahun ini.

Apa bedanya krisis sekarang ini dengan krisis-krisis sebelumnya?

Kalau kita lihat di tahun 1945 waktu terjadi global crisis itu yang muncul dari depresi itu kan memunculkan global solution dalam bentuk multinational institution

IMF itu mulainya di situ, di tahun 1945. Multinational Institution itu adalah ini adalah  institusi-institusi pasca  Perang Dunia ke-2.  Muncul arsitektur baru, enggak bisa lagi nih namanya competitive devaluation yang kemudian menyebabkan perang itu. Nah itu IMF sama World Bank kan munculnya di situ. Terus kemudian global arsitektur yang baru UNDP, Ecosoc segala macam. 

Lalu krisis tahun 1998 itu kan itu kan epicenter-nya kan di Asia. Kalau kita lihat itu prosesnya itu mulai dari 1997-1998 itu. Krisis itu kan hampir 2 tahun setiap negara mengurusi diri sendiri, karena hampir semua negara juga punya masalah politik. 

Yang paling besar kan Indonesia. Tapi walaupun dengan berbagai masalah politik di dalam negeri, akhirnya diselesaikan. Tapi sampai dengan 2000 atau 2001 itu kan sebetulnya kondisi Asia itu enggak stabil karena  satu dan lain hal ya. Baik exchange rate-nya maupun karena apa segala macamnya. 

Jadi kalau kita ingat itu tahun 2000-2001 itu kan mulai muncul misalnya ide inisiatif Asian Monetary Fund untuk mengimbangi IMF. Terus kemudian muncul namanya bilateral swop agreement Chiang Mai Initiative. Lalu kemudian penguatan berbagai macam inisiatif regional. Bahkan konstelasi di Asian Development. 

Terus banyak lagi  kerjasama-kerjasama sampai kemudian muncul lagi koordinasi ASEAN+3. Dulu kan munculnya dari situ. Nah itu kan sebenarnya adalah regional solution, Asian Solution. Nah baru setelah itu muncul Asian Solution itu baru tahun 2001, Asia berkembang cepat sekali. Nah jadi ada regional solution terhadap regional problem.

Sementara kalau kita lihat krisis di tahun 2008 epicenter-nya kan Trans-Atlantic, Amerika Serikat dan Eropa. Jadi jebolnya karena housing di Amerika Serikat tapi banyak yang punya exposure di Eropa misalnya di Irlandia, Iceland.

Rontoknya Amerika itu menyebabkan rontoknya Eropa juga. Nah solusi global yang muncul di situ misalnya Dodd-Frank Act, ada juga kerjasama Troika, kerjasama IMF, European Centre Bank dan European Union itu kan regional solution at the Europe level. Ada juga kan FATCA (Foreign Account Tax Compliance Act)  untuk Trans Atlantic. 

Solusi itu kemudian menyebabkan perubahan dalam tatanan global.  IFRS 9 misalnya yang tahun ini sudah mulai dipakai itu. Itu kan sebenarnya benih-benihnya dari sana kan, bahwa untuk valuation dari ini harus mark to market. Itu kan munculnya dari sana, dari krisis 2008. 

Nah jadi sekarang ini kan di tahun 2020, tapi krisis tahun 1998, 2008 itu kan  kalau kita lihat polarisasi enggak kayak sekarang. Di tahun 1998 itu polarisasi malah hilang karena tahun 1992 kan Uni Soviet runtuh, jadi tadinya dari bipolar world menjadi unipolar Amerika Serikat, jadi polarisasi itu enggak ada. Nah tahun 2008 situasi polarisasi politik itu kan enggak kayak sekarang.

Nah sekarang ini berat ya karena segala macam polarisasi gampang sekali kita lihat, misalnya antara negara maju dan berkembang, antara OPEC dan non OPEC sampai kemudian harga minyaknya hancur kayak begini. Kemudian polarisasi karena agama, polarisasi di dalam negeri karena Trump sendiri, Republican dan Democrat. 

Jadi apa yang terjadi di Indonesia, itu juga sama terjadi di Eropa antara left wing dengan right wing, antara liberalisme dan conservativism, jadi polarisasi setiap facet dari kehidupan sosial, politik, maupun agama. Nah ini adalah satu kondisi yang susah, susah untuk terjadinya konsensus. Ya karena masing-masing sudah punya pandangan. 

Amerika Serikat itu absen sekarang. Dia absen, ini statement dari  hampir semua analis geopolitik

Misalnya masalah imigrasi. Orang yang konservatif misalnya di sebelah kanan bilang ini nih imigrasi gara-gara orang  sosialis. Ini yang berpandangan agak sosialis kalau di Amerika kan namanya Demokrat, kalau di Inggris kan namanya Labor, kalau di Eropa kan namanya Social Democrat. 

Mereka bilang ini nih karena Merkel dan orang-orang sosialis lainnya memasukkan imigran, susah kan kita jadinya. Terjadi polarisasi lagi antara imigran dan orang-orang aslinya. Nah yang kayak ini susah. Sekarang dalam kondisi seperti ini muncul krisis global, yang harusnya solusinya itu global juga. Tanpa ada solusi global itu ya susah. Nah sekarang yang mesti ngomong itu siapa?

Iya, jadi siapa harus yang maju?

Sekarang ini tidak ada leadership. Karena Amerika Serikat, siapa yang mau ngomong. Amerika Serikat itu absen sekarang. Dia absen, ini statement dari  hampir semua analis geopolitik dan pendapat di tataran diplomatik di dunia. Amerika itu leadership-nya absen sekarang. Lah biasanya kan kalau ada apa-apa Amerika bantu, dia bantu, dia kirim ini kirim itu. Sekarang dia sibuk urusan diri sendiri.

Di dalam negeri berantem juga sama gubernurnya. Eropa, leadership apa yang bisa ditunjukkan. Malah yang menarik adalah China itu berusaha mengisi kekosongan ini dengan memunculkan image baru. Misalnya dia mengirimkan test kit ke Eropa, kirim ventilator, segala macam gitu kan. Kirim expertise berdasarkan pengalaman dia di Wuhan. Which is very interesting sebetulnya. 

Ya apakah ini adalah bagian dari propaganda, apakah ini upaya dia menyalip di tikungan, ya kita kan enggak tahu. But at least dia berusaha mencoba untuk menjadi pengisi kekosongan leadership secara global. IMF misalnya bisa apa sekarang. World Bank, bisa apa? Apakah kita pernah lihat 3 bulan terakhir IMF dan World Bank ngomong? Bingung dia juga. Itu juga bukan domainnya mereka. Ini domainnya WHO.

Karena sekarang yang harus diutamakan adalah penanganan virusnya ya?

Makanya kan saya katakan dimensi krisis ini ada 3. Satu ada sang virus itu sendiri, yang kedua adalah upaya untuk pencegahan virus, yang punya efek di multidimensional. 

Seandainya nanti akan ada vaksin, ini selalu akan menjadi bagian yang sangat kontroversial. Kalau misalnya di dalam vaksinnya entah ada komponen babi atau entah apalah, nanti orang-orang yang religius uprising yang muncul di mana-mana ya, bukan hanya di Indonesia, akan bilang wah ini haram nih. 

Sekarang ini haram, tapi kalau disuntik, ini akan menyebabkan orang jadi carrier dan akhirnya pandemik akan berjalan terus.

Sekarang ini kan ada 2 mazhab. Mazhab pertama mengatakan herd immunity bisa terjadi. Ya bikin saja jutaan orang itu sampai terkena covid, nanti lama-lama selnya kemudian memunculkan antibody. 

Nah ini pernah mau dicoba kan di Swedia lagi dicoba. Di Inggris mau dicoba akhirnya mereka balik badan, di Belanda mau dicoba balik badan. Sekarang muncul masalah baru nih herd immunity. Kasus di Korea, Singapura, Eropa, itu ternyata orang yang sudah sembuh covid, balik lagi kena, relapse.

Sehingga muncul mazhab kedua. Mazhab kedua adalah, enggak mungkin ada herd immunity, tanpa didampingi oleh vaksin. Tapi vaksin kalau seperti saya bilang muncul kontroversi masalah haram itu, bagaimana bisa selesai wabahnya?

Dulu kan kita kan tahun  tahun mulai munculnya wabah ada gelombang demokratisasi. Orang itu kan merasa individual right kan individual freedom itu kan penting. Maka bahkan di Amerika, di Indonesia, sekarang misalnya orang bahkan kabur dari rumah sakit, dia bilang enggak mau dirawat di rumah sakit, memang rumah sakit bisa bikin apa coba? 

Nah ini masalah kan, bukan hanya di Indonesia. Ini kan pandemi ini kan sebenarnya negative externalities, ada rembesan kan. Sekarang negative externalities itu tidak mungkin diselesaikan dengan market mechanism, tidak mungkin diselesaikan dengan free freedom of choice. Hanya bisa diselesaikan dengan public choice. Public choice itu kan public decision making. Government authority kan, government decision sekarang artinya. 

Sementara di banyak negara di Amerika pun misalnya orang-orang di video banyak beredar, enggak kita enggak mau. Wah terus bagaimana. Sekarang di Indonesia sama juga kan. 

Nah di China, tidak ada tuh yang namanya private choice itu enggak ada. Dari awal namanya sudah public choice, sehingga mereka diam di rumah, kalau enggak diam di rumah nanti dipenjara. Nah takut semuanya. Di sini bagaimana coba?

Penjara penuh, malah orang yang di penjara dikeluarkan. Nah ini kan memunculkan masalah baru sehingga masalah-masalah ini kan mencakup fundamental value kan, fundamental value tentang demokratisasi, kebebasan masyarakat, tentang dikotomi, tentang polarisasi yang ini harus diselesaikan secara global.

Absennya kepemimpinan di dunia ini, ke mana ini ujungnya?

Wah ya ini susah, itu pertanyaannya  pertanyaannya sama dengan  sulitnya ini sampai kapan nih virus ini merebak. Ya susah. Ya tunggu vaksin.

Tapi untuk masalah global solution ini, sebetulnya salah satu upaya untuk menyelesaikan krisis kita kan ada kementerian luar negeri. Ini kan jadi urusan jadi urusan kementerian luar negeri, kalau kita ingin ke mukadimahnya UUD 1945 yang secara aktif memajukan kemakmuran dunia. Itu kan sebenarnya diplomasi kita. Sebetulnya ini kesempatan kita juga, sebagai anggota G-20. Tapi kelihatannya kan kita kesulitan karena kalau dilihat dari skala intervensinya saja kan kita paling kecil ya. 

Kapan masalah ekonomi ini bisa selesai?

Kan saya sudah bilang yang masalah ini ada 3, satu sang virus, kedua penyebaran virus, yang ketiga dampak ekonomi. Pertanyaannya dampak ekonomi sampai seberapa jauh, ya pertanyaan yang nomor dua saja belum bisa dijawab, bagaimana caranya apa kita menghentikan penyebaran virus. Lah pertanyaan no 2 itu kan bisa dijawab kalau pertanyaan no 1 bisa dijawab. 

Jadi forecast yang dibuat dengan asumsi seperti apa?

Jadi riset saya itu didasarkan kepada 4 asumsi yang mendasar. Pertama, virus covid saya asumsikan, vaksin baru akan di temukan 12-18 bulan kemudian, sejak krisis ini muncul. Kalau krisis ini munculnya Januari atau Februari di Wuhan, berarti vaksin baru akan ketemu di semester pertama tahun 2021. 

Implikasinya adalah sosial distancing itu akan ada. Nah social distancing ini asumsinya masyarakat patuh loh. Sehingga social distancing ini akan berjalan selama 2 bulan, itu adalah asumsi kedua. Kalau misalnya social distancing itu berjalan selama 2 bulan melihat dari pengalaman di beberapa negara, terutama di China,  

Asumsi ke-3 economy activity, social economy activity itu akan  berhenti paling tidak 50%. Nah kalau dia berhenti 50%, maka efeknya retail sales index itu akan turun antara 6%-10% Kalau melihat pengalaman di China retail sales index itu turunnya 6%-10%. 

Sekarang untuk data Indonesia sampai dengan data terakhir Februari, retail sales index itu turun sudah -5 loh 

Maksudnya?

Ya year on year -5. Jadi pada Bulan Februari itu retail sales index itu down 5% YoY. Jadi kalau saya asumsikan 2 bulan lockdown itu dari Bulan April, Mei. Saya asumsikan cuma 6%-10% turunnya sampai dengan di Bulan Mei itu. 

Tapi kan biasa consumption enggak recover langsung kayak nyalain lampu. Cetek nyala. Cetek turun.

Produksi, itu akan turun antara 9%-13%. Ini kejadian juga di China. Tapi di China karena lockdown-nya lebih dahsyat activity-nya turunnya 75%. Ini akibatnya sales retail index turunnya jauh. 

Nah sekarang bagaimana saya bisa yakin itu turunnya 6%-10%, activity kira-kira turunnya 50%, dari mana saya tahu. Ya ada data tradisional data non tradisional. Data non tradisional bagaimana? Lihat saja di Google mobility. Google mobility index, kan di situ kelihatan kan pengunjung ke mal turun berapa persen, yang itu turun berapa persen, terus kemudian tanya sama orang klien yang punya mal. Tanya lihat di pasar. 

Lihat saja misalnya pengunjung bioskop, kantoran work from home. Saya perkirakan penurunan aktivitas itu bervariasi antara 35% sampai 55%. Seberapa akuratnya saya enggak tahu tapi roughly sekitar itu lah. 

Kan asumsi economy activity turun 50%, enggak salah-salah amat kan. Nah kalau misalnya itu turun, asumsi kemudian bergeraknya bukan berdasarkan v shape tapi u shape. Kenapa dia gak v shape? Ya kita lihat saja contohnya di banyak negara itu u shape semua enggak ada yang v shape.

Nah kalau sekarang kayak begitu kejadiannya, artinya  baru kemudian pada kuartal ketiga itu perlahan-lahan economic activity itu akan mulai bergerak. 

Di situ masuk asumsi keempat bahwa defisit fiskal ini ya 5% ini mungkin enggak tercapai, saya cuma bilang paling enggak paling tercapai 4,5% realisasinya. Defisit fiskal kan artinya APBN yang ada itu kan yang 2.600-an triliun yang dijanjikan dalam revisi itu digelontorkan semua kan. Apakah cukup untuk meng-offset turunnya perekonomian? Enggak, pasti enggak. 

Tapi kalau misalnya dia kurang dari 4,5% ya berarti daya dorongnya enggak ada kan. Kalau lebih dari 4,5% ya bagus, tapi kan enggak mungkin dari 4,5%, jadi yang 5,07% target pemerintah itu sih saya rasa cuma di atas kertas, enggak akan sampai. 

Jadi saya asumsikan tercapai defisit fiskal 4,5% dan ternyata hanya bisa tumbuh 1,8%. Oh ya satu lagi harga Brent. Saya asumsikan harga Brent itu US$ 40 per barel. 

Nah  sekarang kalau ditanya apakah semua asumsi itu realistis? Menurut saya ada yang realistis ada yang optimis. Contoh apakah benar PSBB itu 8 minggu, 2 bulan seperti asumsi saya. 

Apakah ini asumsi realistis? Bisa iya bisa tidak, sejauh ini shih kelihatannya iya. Tapi apakah mungkin diperpanjang? Mungkin. Kalau misalnya dia mungkin diperpanjang, asumsi jatuhnya aktivitas itu 50% itu realistis? Atau dia lebih dari 50%?

Ya mungkin lebih gitu kan. Sehingga misalnya, asumsinya, apa kalau penurunan activity itu lebih dari 50%, apakah mungkin retail sales index hanya turun 6%-10% dan industrial index hanya turun 9%-13%.

Mungkin lebih buruk. Kemudian berikutnya, apakah mungkin pemerintah itu meleset target,  apa realisasi defisitnya. Enggak sampai 4,5%, tapi cuma 4%, mungkin. Yang terakhir, apakah mungkin harga Brent itu mencapai US$ 40. Dengan kondisi sekarang, mungkin iya mungkin enggak. Probability enggaknya ada atau muncul, seberapa besar enggak tahu.

Jadi kalau lihat paper apa estimasi saya itu, itu sebetulnya berdasarkan asumsi yang moderat ke arah optimis lo. Jadi bagaimana kemudian saya tahu itu  bahwa saya itu sebenarnya moderat ke arah optimis, ya saya lihat saja konsensus forecast yang paling bearish ini kalau enggak salah JP Morgan -1, kemudian IMF 0,5%, Fitch 1,9%, S&P 1,8%, Moody 3%, ADB 2,5%, World Bank 2,1%,  pemerintah Indonesia BI 2,3%, APBN 2,3%. Saya 1,8%, hitung saja semua rata-ratanya 1,75%, forecast saya 1,8%. Jadi saya sebetulnya saya moderat di optimistis.

Tapi yang menarik adalah saya tidak mencoba melakukan forecast dengan gaya regresi atau black box, ekonometri yang lazim digunakan karena saya sudah mengalami 3 kali krisis, tahun 1998, 2008, 2020. Dari semua krisis yang saya alami hubungan korelasi semua antar variabel itu breakdown semua. Kenapa? karena perubahan perilaku kan.

Analis regresi enggak ada gunanya. Behavioral analysis yang penting sekarang ini

Contohnya, apa yang menjelaskan dolar itu menguat, tapi emas itu menguat. Coba? Biasanya kan harga dolar menguat, emas turun, emas naik dolar melemah. Sekarang dolar menguat, emas menguat kenapa begitu? Enggak tahu saya. 

Jadi bagaimana melakukan forecast-nya?

Hubungan antara variabel itu sudah breakdown sekarang. Jadi enggak ada gunanya kita menggunakan regresi, micro economic model. Saya menggunakan 3 approach yang pertama adalah behavioral analysis yang kedua policy process analysis, yang ketiga adalah partial equilibrium

Untuk behavioral analysis saya berusaha mendeteksi perubahan perilaku konsumen dan agent economy dengan market by market. Contohnya orang belanja di supermarket, belakangan baru saya tahu ternyata Nielsen juga punya riset yang sama dan menyimpulkan hal yang sama. 

Orang-orang yang belanja itu daripada beli makanan jadi sekarang orang belanja bahan baku, masak sendiri di rumah. Ternyata kalau saya tanyakan kepada teman-teman sekolahnya anak saya, ternyata anak-anaknya pada di rumah dan makan melulu. Minta jajan, ya emaknya kan repot. 

Nah kalau jajan melulu kan mahal, makannya dia masak, masak pisang goreng, beli pisang kepok digoreng sendiri, pada banyak yang bikin nasi goreng sendiri, bikin kerupuk sendiri. Makanya kalau kita lihat di supermarket barang-barang yang dulunya enggak laku, misalnya ragi, tepung, saus-saus Jepang sekarang cepat habis. Besoknya diisi lagi habis lagi. 

Nah itu artinya ada perubahan perilaku konsumen. Kalau kita lihat itu kan discretionary aspect dari consumption yang turun, ini menjelaskan kenapa di China pergeseran dalam discretionary consumption itu menyebabkan retail sales index turunnya dalam sekali. Di China itu bisa 15% turunnya, karena lockdown-nya lama dan drastis lagi. Nah ini bisa terjadi di Indonesia dan sudah terjadi. Misalnya sekarang orang biasanya beli mobil, kan enggak beli mobil. Orang  biasa beli Rolex beli Rolex, orang biasa beli Hermes sudah enggak laku Hermes.

Maksudnya indikator yang biasa dipakai itu sudah enggak terpakai lagi sekarang?

Sudah tidak terpakai lagi. Nah artinya analis regresi enggak ada gunanya. Behavioral analysis yang penting sekarang ini. Itu nomor satu nomor dua adalah policy process analysis. What is policy process analysis? Policy process analysis itu dalam bahasa sekarang itu dikenal dengan mind mapping. Policy process analysis itu kan seperti behavioral analysis tapi pada level government, misalnya kalau seperti terjadi sesuatu seperti sekarang ini, government itu reaksinya seperti apa. Jadi specific branch dari public policy analysis dan kalau ini terjadi impact-nya kayak apa, market dan respons masyarakat itu kayak apa. Nah ini saya lakukan, tentu ketemu beberapa parameter.

Berarti dua consecutive quarter growth seasonal adjusted itu negatif, itu kan resesi.

Yang ketiga adalah partial analysis saja, partial equilibrium jadi enggak usah general equilibrium memasukkan semua faktor. Partial equilibrium saja, misalnya bond market kelakuannya kayak apa, equity market kelakuannya kayak apa, kenapa kelakuannya kayak begini. 

Jadi market by market terus keluar dengan satu parameter. Kemudian yang keluar dari 3 parameter itu dibungkus dalam satu spreadsheet financial programming. Ya seperti membuat financial modelling. 

Nah, dengan demikian saya bisa melakukan judgement. Wah ini enggak cocok nih harga segini, mungkin segini saja. Sehingga semuanya itu inherently consistent. Nah dari situ kelihatan bahwa pertumbuhan ekonomi itu mestinya turun di kuartal 1 2020. Sudah turun.  kalau forecast saya kan 3%. 

Kalau 3% atau 3,5% kejadiannya atau katakan 4% pun kejadiannya ya, sebetulnya 4,97% di kuartal 4-2019 dengan 3,5% atau 4% pun di kuartal 1 2020, secara quarter on quarter apalagi kita mau keluarkan faktor musimannya, seasonal adjustment ya. Itu kan sudah negative growth kan on quarter basis. 

Dan kalau di kuartal 2 dengan PSBB ini pertumbuhan ekonomi saya perkirakan cuma -1. Artinya kan dari kuartal 1 ke kuartal 2 turun lagi. Berarti dua consecutive quarter growth seasonal adjusted itu negatif, itu kan resesi. Nah itu, saya sebutkan itu resesi. Ini enggak pernah diomongin sama orang nih.

Memang definisi resesi seperti apa?

Definisi resesi itu adalah 2 consecutive  negative  growth on quarter on quarter seasonally adjusted basis itu definisinya. Jadi angka quarterly data dengan faktor seasonality-nya dibuang dulu, baru kemudian dihitung. Q on Q,  kalau dua kali negatif itu artinya resesi. Nah dalam perhitungan saya sebenarnya di 2020 mestinya resesi.

Ini terjadi di dunia juga kan?

Di dunia juga saya rasa sih resesi, sudah global sih saya rasa sih resesi. Kalau melihat angkanya yang diproduksi oleh  banyak lembaga ya,  2020 sih resesi. Resesi global iya.

Untuk masalah unemployment rate, apakah Anda melihat pemakaian stimulus dengan program pra-kerja itu bisa efektif?

Kalau masalah efektivitas sih itu kita lihat saja dulu ya. Masalah angkanya kan begini. Sekarang kan, kita lihat saja 56% employment adanya di sektor informal. Terus kemudian 25% atau 30% dari angkatan kerja Indonesia itu kan kategorinya setengah menganggur atau  paruh waktu. 

Jadi yang dalam definisinya Indonesia bekerja itu kan, bekerja paling tidak 1 jam seminggu. Sementara kalau definisinya pekerja penuh itu kan 35 jam, kalau di bawah 25 itu paruh waktu. Kalau di bawahnya lagi ½ menganggur gitu ya saya lupa definisinya. 

Nah itu kan ada 25 sampai sekitar 25-an% lah gitu ya, kan yang kategori itu seperti itu. Sekarang kalau krisis kayak begini, tukang bakso enggak dapat dagangan, terus kan dia kan enggak makan. Orang mau dagangan juga enggak bisa karena orang pada takut keluar rumah. 

Nah yang seperti ini kan pada akhirnya dia  enggak bekerja sama sekali dia. Ya mungkin sih enggak banyak naiknya, saya rasa sih sekarang naiknya sekitar 4 juta ya, karena definisi pengangguran kita itu yang lenient sebetulnya. Cuma di luar angka 4 juta pengangguran yang saya perkirakan, sebetulnya yang ½ menganggur itu kan  jadi tambah banyak. 

Pengangguran yang kelihatan di mata, itu bisa diatasi, tapi yang enggak kasat mata ini yang lebih susah.

Ya kayak sekarang misalnya orang yang tadinya pegawai harian, pegawai harian ya terpaksa berhenti kan. Nah ini kan dia berubah dalam angkatan kerja masuk bekerja, tetap bekerja, tapi ya jadi paruh waktu atau ½ menganggur kan istilahnya. Apakah banyak? Ya enggak usah jauh-jauh pegawai hotel saja sekarang sudah begitu. Enggak usah susah-susah mencarinya. 

Tukang cukur banyak yang kehilangan kerja. Jadi yang saya bilang pengangguran sih naiknya cuma naiknya 4 juta, dari 7 juta menjadi 11 juta. Kalau 11 juta itu cuma 8% unemployment rate, apakah realistis? Iya lah mungkin realistis. 

Ada yang ngomong sampai 10%-an tapi saya pikir dengan definisi pengangguran di Indonesia, ya 8 % sih sudah banyak naiknya. Tapi buat saya sih yang lebih concern sih bukan yang 8%-nya, komposisinya itu yang menurut saya berbahaya. Karena komposisi angkatan kerja itu yang menentukan social discontent, ketegangan sosial. Pengangguran yang kelihatan di mata, itu bisa diatasi, tapi yang enggak kasat mata ini yang lebih susah. Jadi statement terakhir itu sebetulnya memiliki implikasi yang lebih dalam, karena social discontent itu munculnya karena struktur angkatan kerja kita, berdasarkan durasi waktu dan berdasarkan informality. 

Dengan PSBB semakin lama akan menjadi semakin besar potensinya?

Nah sekarang kalau ditanya apakah PSBB ini bisa cepat enggak. Sebetulnya lama atau cepat itu kan tergantung dari, dari 2 faktor. Faktor pertama adalah disiplin masyarakat itu sendiri, yang kedua adalah enforcement dari otoritas publik ya. Nah sekarang kalau kita lihat, di Indonesia, itu kan disiplin masyarakatnya kan parah banget.

Kalau satu atau dua-dua faktor itu tidak terpenuhi, ya PSBB ya pasti akan diperpanjang. Jadi kan artinya yang terjadi sekarang adalah self-inflicted problem. Masalah yang dipicu oleh diri sendiri, karena dia enggak disiplin.

Jadi ini memang problem masyarakat yang kemudian  dilampiaskan ke dalam masalah politik atau ditunggangi oleh politik. Nah masalah tunggang-menunggangi ini kan probabilitasnya naik, karena kan sejak dari awalnya kan sudah ada polarisasi yang kita omongkan tadi. 

Nah jadi kalau dia makin panjang PSBB-nya karena masyarakatnya sendiri yang tidak disiplin, ya makin repot kita. Makin repot. Jadi masalah pertama saja kita sudah tahu itu belum ada kejelasannya, masalah kedua itu masyarakat sendiri yang ini, yang ketiga akhirnya dampak ekonominya makin berat saja.

Implikasi ke investasi, kelihatannya Anda lebih prefer di pasar obligasi?

Sebenarnya dengan keadaan seperti ini pasar saham dalam 6-9 bulan ke depan itu kayak apa sih. Ya kalau pertumbuhan ekonomi cuma 1,8%, inflasi cuma 2,7%, ya berarti EPS growth-nya gak ada dong. 

Ini faktor pertama, nomor 2 risk perception. Ya persepsi risiko tambah besar ya enggak akan naik dong. Yang ketiga liquidity karena liquidity 50% di pasar stock market itu dari asing, asing itu keluar terus. 

Sementara orang dengan volatility seperti ini antara volatility seperti ini kan orang jadi khawatir masuk ke risky asset. Satu-satunya yang bisa menyebabkan stock market itu naik itu kan cuma re-rating doang. Stock re-rating kan probability kecil kali ya sekarang ya. Apa yang mau di re-rating

Jadi kalau misalnya stock market tidak ke mana-mana. Ya berarti saya yakin sih aset market sih larinya ke obligasi. Karena paling enggak kan dapat fixed income flow kan. Nah sekarang kalau fixed income, berapa sih valuasi yang sebenarnya yang dianggap fair value-nya atraktif. 

Saya proyeksikan rerata tahunan itu 8,2%. Kuartal 1 kan sudah sejarah, kalau enggak salah 7%. Nah kuartal 2 rata-rata 8,3%, yang saya maksud dengan rata-rata kuartal 8,3% itu adalah itu bisa ke 7,9% ke bisa ke 8,6%. Tapi mediannya kira-kira di antara 8,1% sampai 8,3%, sehingga ketemu mean-nya itu di 8,3%. 

Nah di kuartal 4-2020 rata-rata 8,5% itu artinya bisa 8,2% bisa 9%. Ya mungkin saja sih sampai ke 9%, tapi turun lagi. Bisa saja ke 8,2% tapi naik lagi. Sehingga medianya itu di antara 8,3% sampai 8,6%, jadi rata-rata 8,5%. 

Untuk Rupiah proyeksinya masih di Rp 15 ribuan?

Nah Rupiah kenapa cuma 15.625. Ya di kuartal 1 saja kita cuma 14 ribu, rata-rata 14.200. Kalau kuartal 2 itu langsung di 16.500 dan kalau percaya Bank Indonesia akan giring-giring ke 15.000, maka rata-rata 15.750 di kuartal 4, rata-rata 15 ribu di kuartal 3 realistis enggak? 

Mungkin iya kali karena tekanan di balance of payment juga enggak ada kali, karena account deficit. Orang berpikir karena account deficit akan meledak, saya pikir dari mana meledaknya. Lah impor turun jatuh kok, ekspor kita ada. Running rate itu kira-kira cuma US$ 12 billion-an sebulan. 

Nah kalau misalnya kita hitung run rate-nya saja ya, kebetulan impor itu jatuhnya 15% ekspor mungkin jatuhnya 10% gitu ya, jadi ya kita ketemu dengan trade surplus. Kalau trade surplus dengan current account service balance yang kira-kira sama karena kira-kira transaksi di devisa, portofolio apa segala macam gitu kan, ya kita ketemu dengan current account deficit itu cuma 1,6%. Jadi kalau kita lihat secara historis, current account deficit itu tambah baik kan, bukan memburuk. 

Karena impornya hilang, tekanan terhadap dolar jadi jadi lebih rendah. Nah apalagi ditambah dengan sekarang kan sudah ada instrumen DNDF. DNDF ini sangat powerful sih sejak Oktober tahun lalu. Paling powerful menggeser, menggerakkan rupiah ke sampai ke arah 13.500 ya DNDF.

Nah dengan dua faktor itu maka saya melihat tren rupiah seperti itu. Sekarang kalau  ditambahkan saja gampangnya saja 14.000 ditambah 16.500 ditambah 16.000 ditambah 15.750 dibagi 4 saja kan ketemunya 15.650 kan. Roughly lah ya kan. Tapi kan 15.650 artinya kalau dibandingkan dengan average tahun 2019 yang cuma 14.050 kan itu artinya depresiasi  year on year kan kira-kira 10% kan. 

Nah itu juga yang menyebabkan saya berpikir kenapa  turunnya harga minyak ke 40 itu buruk buat kebijakan fiskal, karena harga minyak kan turun dari rata-rata 65 ke rata-rata 40 itu kan turunnya 40%. Sementara penerimaan minyak kita kan dalam APBN yang di PNBP Penerimaan Negara Bukan Pajak, itu kan terima dalam rupiah kan. Jadi dolar itu dikonversi jadi rupiah. 

Ada orang bilang enggak mungkin turun karena harga minyak turun tapi ada depresiasi. Jadi depresiasi akan menyebabkan penerimaan dalam rupiah kan akan menjadi tinggi juga. Ya tunggu dulu, harga minyaknya turun 40% depresiasinya naiknya 10% kan jadi kan masih bolongnya 30%. Jadi PNBP nya pasti turun 30% dari tahun lalu, pasti. Jadi PNBP sudah turun dengan asumsi 40. Kalau harga minyak turun ke 30 sih ya jeblok lagi dong.

Jadi sekarang ya PPN pasti turun dong, mau dari mana PPN dagangan enggak ada. PPh ya turun, kan yang sampai 200 juta itu ditampung pemerintah. Sementara 60% datang dari penerimaan pajak, 80% dari penerimaan pajak dari SPT itu kan pajak badan. Nah dan datangnya dari 3 sektor, dari manufaktur,  mineral, sama bank finansial.

Nah sekarang PPh jebol, PPN jebol, penerimaan migas jebol. Terus kemudian dari mana itu bisa ketemu penerimaan negara bisa 1.750 triliun. Tahun lalu 1.400 triliun saja target enggak tercapai kok. Cuma 1.300 dari mana bisa 1.700. Makanya saya tulis di dalam  forecast note penerimaan pajak cuma 1.250 triliun, yang artinya tax ratio kita cuma 8,2. 

  

  

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News




TERBARU
Kontan Academy
Practical Business Acumen Supply Chain Management on Sales and Operations Planning (S&OP)

[X]
×