Reporter: Dimas Andi | Editor: Khomarul Hidayat
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Kebijakan penyesuaian tarif royalti mineral dan batubara (minerba) diperkirakan bakal berdampak signifikan bagi kelangsungan usaha dan kinerja emiten-emiten produsen komoditas minerba sepanjang 2025.
Sebagaimana diketahui, pemerintah merilis dua regulasi baru yang mengatur penerimaan negara bukan pajak (PNBP) di sektor energi dan sumber daya mineral (ESDM), khususnya mengenai daftar tarif terbaru untuk komoditas minerba.
Regulasi pertama adalah Peraturan Pemerintah (PP) No. 18/2025 tentang Perlakuan Perpajakan dan/atau PNBP pada Kegiatan Usaha Pertambangan Batubara yang merevisi aturan sebelumnya dalam PP No. 15/2022.
Selain itu, pemerintah juga menetapkan PP No. 19/2025 mengenai Jenis dan Tarif atas Jenis PNBP yang Berlaku di Lingkup Kementerian ESDM.
Research Analyst Lotus Andalan Sekuritas Muhammad Thoriq Fadilla mengatakan, penyesuaian tarif royalti minerba menunjukkan arah jelas dari pemerintah untuk memaksimalkan penerimaan negara dari sektor hulu pertambangan. Khususnya di tengah tren harga komoditas yang sempat tinggi beberapa waktu terakhir.
Namun di sisi lain, penyesuaian tarif royalti ini tentu akan membebani kinerja keuangan perusahaan, terutama yang masih bergantung pada penjualan bijih mentah atau produk setengah jadi.
Baca Juga: Tarif Royalti Nikel Naik, Vale Indonesia (INCO) Siapkan Langkah Antisipasi
Thoriq menilai, sebenarnya industri batubara justru mendapat relaksasi dengan adanya kebijakan ini, terutama bagi emiten pemegang Izin Usaha Pertambangan Khusus (IUPK) seperti PT Bumi Resources Tbk (BUMI), PT Adaro Andalan Indonesia Tbk (AADI), dan PT Indika Energy Tbk (INDY).
Ketiganya juga sempat menikmati penguatan harga saham pasca pengumuman rencana penyesuaian tarif royalti minerba.
Di sisi lain, keputusan pemerintah yang mengerek tarif royalti bijih nikel dari 10% menjadi 14%—19% tentu memberatkan emiten-emiten yang bergerak di sektor tersebut, seperti PT Vale Indonesia Tbk (INCO), PT Merdeka Copper Gold Tbk (MDKA), PT Amman Mineral Internasional Tbk (AMMN), dan PT Aneka Tambang Tbk (ANTM).
“Sebab, mayoritas dari mereka masih berada dalam fase penjualan produk antara atau intermediate product,” kata Thoriq, Kamis (17/4).
Khusus untuk ANTM, emiten pelat merah ini sudah mulai ekspansi melalui program hilirisasi, seperti terlibat dalam pengembangan ekosistem baterai kendaraan listrik. Namun, tetap saja tekanan terhadap margin sulit dihindari.
Tak hanya nikel, komoditas tembaga juga dikenakan kenaikan tarif royalti yang cukup agresif dari 5% menjadi 10%—17%. Hal ini menjadi tantangan besar, terutama bagi emiten-emiten produsen tembaga yang belum menuntaskan proyek smelter atau masih menjual konsentrat. Dengan perubahan tarif sebesar itu, tekanan terhadap laba bersih jelas menjadi ancaman yang nyata.
“Secara khusus, kami melihat emiten seperti AMMN dan MDKA perlu berhati-hati dan adaptif dalam merespons kebijakan ini,” imbuh dia.
Lebih jauh, upaya seperti mengerek produksi komoditas saja dinilai tidak cukup untuk mengompensasi beban royalti yang meningkat. Jika tidak disertai efisiensi dan kondisi pasar yang sedang kelebihan pasokan (oversupply), strategi seperti ini justru bisa menambah beban operasional emiten yang bersangkutan.
Lantas, strategi yang paling relevan bagi emiten pertambangan saat ini adalah fokus pada efisiensi dan hilirisasi. Emiten tambang yang sudah mulai berekspansi ke arah pengolahan lanjutan atas komoditasnya jelas memiliki peluang bertahan yang lebih kuat dalam kondisi penuh tantangan ini.
Contohnya adalah INCO yang sedang mengembangkan proyek smelter High Pressure Acid Leaching (HPAL). Begitu juga dengan ANTM yang tidak hanya terlibat dalam rantai pasok baterai kendaraan listrik, melainkan juga sedang mengembangkan Smelter Grade Alumina Refinery (SGAR) di Mempawah, Kalimantan Barat.
“Proyek-proyek ini akan menjadi penopang margin yang penting pada masa depan,” imbuh Thoriq.
Selain itu, MDKA juga menunjukkan arah positif dengan proyek tambang emas Pani di Gorontalo yang ditargetkan mulai berproduksi pada awal 2026. Proyeksi produksi emas di sana bahkan dapat mencapai 80.000—100.000 ons troi per tahun, sehingga dapat membantu menjaga profitabilitas MDKA di tengah kenaikan beban royalti dari komoditas lain.
Baca Juga: Tarif Royalti Minerba Baru Berlaku, Pengusaha Nikel Ungkap Dampaknya ke Dividen
Dari sekian emiten produsen minerba, Thoriq merekomendasikan beli saham INCO di level Rp 2.350 per saham dengan target harga di level Rp 3.000 per saham dan stop loss di level Rp 2.260 per saham.
Ia juga merekomendasikan buy on weakness saham AADI di level Rp 6.475—6.575 per saham dengan target harga di kisaran Rp 7.250—8.000 per saham dan stop loss di level Rp 6.250 per saham.
Sementara itu, Analis Indo Premier Sekuritas Ryan Winipta dan Reggie Parengkuan mempertahankan peringkat netral di sektor minerba di tengah penyesuaian tarif royalti.
Di sisi lain, sektor ini masih dihadapkan tantangan berupa permintaan komoditas yang berpotensi melemah seiring ancaman resesi Amerika Serikat (AS) dan menurunnya kepercayaan bisnis di tengah ketidakpastian tarif dan pertumbuhan ekonomi global yang melambat.
“Kami masih lebih memilih perusahaan dengan free cash flow (FCF) yang kuat, neraca yang kokoh, dan revisi laba yang meningkat,” tulis Ryan dan Reggie dalam riset, Kamis (17/4).
Indo Premier Sekuritas merekomendasikan beli saham ANTM dengan target harga Rp 2.500 per saham.
Selanjutnya: Populix Raih Pendanaan Rp 72 Miliar, Siap Ekspansi ke Asia Tenggara
Menarik Dibaca: GoTo Impact Foundation Dampingi Magelang Setories Kembangkan Pertanian Regeneratif
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News