kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • LQ45898,78   -24,72   -2.68%
  • EMAS1.326.000 0,00%
  • RD.SAHAM 0.05%
  • RD.CAMPURAN 0.03%
  • RD.PENDAPATAN TETAP 0.00%

Adrian Panggabean: Di kondisi krisis, forecast tidak bisa dengan cara biasa


Selasa, 28 April 2020 / 06:38 WIB
Adrian Panggabean: Di kondisi krisis, forecast tidak bisa dengan cara biasa
ILUSTRASI. Diskusi bersama?Chief Economist bank CIMB Niaga Adrian Panggabean di Jakarta (28/11/2018).


Reporter: Djumyati Partawidjaja | Editor: Djumyati P.

Mereka bilang ini nih karena Merkel dan orang-orang sosialis lainnya memasukkan imigran, susah kan kita jadinya. Terjadi polarisasi lagi antara imigran dan orang-orang aslinya. Nah yang kayak ini susah. Sekarang dalam kondisi seperti ini muncul krisis global, yang harusnya solusinya itu global juga. Tanpa ada solusi global itu ya susah. Nah sekarang yang mesti ngomong itu siapa?

Iya, jadi siapa harus yang maju?

Sekarang ini tidak ada leadership. Karena Amerika Serikat, siapa yang mau ngomong. Amerika Serikat itu absen sekarang. Dia absen, ini statement dari  hampir semua analis geopolitik dan pendapat di tataran diplomatik di dunia. Amerika itu leadership-nya absen sekarang. Lah biasanya kan kalau ada apa-apa Amerika bantu, dia bantu, dia kirim ini kirim itu. Sekarang dia sibuk urusan diri sendiri.

Di dalam negeri berantem juga sama gubernurnya. Eropa, leadership apa yang bisa ditunjukkan. Malah yang menarik adalah China itu berusaha mengisi kekosongan ini dengan memunculkan image baru. Misalnya dia mengirimkan test kit ke Eropa, kirim ventilator, segala macam gitu kan. Kirim expertise berdasarkan pengalaman dia di Wuhan. Which is very interesting sebetulnya. 

Ya apakah ini adalah bagian dari propaganda, apakah ini upaya dia menyalip di tikungan, ya kita kan enggak tahu. But at least dia berusaha mencoba untuk menjadi pengisi kekosongan leadership secara global. IMF misalnya bisa apa sekarang. World Bank, bisa apa? Apakah kita pernah lihat 3 bulan terakhir IMF dan World Bank ngomong? Bingung dia juga. Itu juga bukan domainnya mereka. Ini domainnya WHO.

Karena sekarang yang harus diutamakan adalah penanganan virusnya ya?

Makanya kan saya katakan dimensi krisis ini ada 3. Satu ada sang virus itu sendiri, yang kedua adalah upaya untuk pencegahan virus, yang punya efek di multidimensional. 

Seandainya nanti akan ada vaksin, ini selalu akan menjadi bagian yang sangat kontroversial. Kalau misalnya di dalam vaksinnya entah ada komponen babi atau entah apalah, nanti orang-orang yang religius uprising yang muncul di mana-mana ya, bukan hanya di Indonesia, akan bilang wah ini haram nih. 

Sekarang ini haram, tapi kalau disuntik, ini akan menyebabkan orang jadi carrier dan akhirnya pandemik akan berjalan terus.

Sekarang ini kan ada 2 mazhab. Mazhab pertama mengatakan herd immunity bisa terjadi. Ya bikin saja jutaan orang itu sampai terkena covid, nanti lama-lama selnya kemudian memunculkan antibody. 

Nah ini pernah mau dicoba kan di Swedia lagi dicoba. Di Inggris mau dicoba akhirnya mereka balik badan, di Belanda mau dicoba balik badan. Sekarang muncul masalah baru nih herd immunity. Kasus di Korea, Singapura, Eropa, itu ternyata orang yang sudah sembuh covid, balik lagi kena, relapse.

Sehingga muncul mazhab kedua. Mazhab kedua adalah, enggak mungkin ada herd immunity, tanpa didampingi oleh vaksin. Tapi vaksin kalau seperti saya bilang muncul kontroversi masalah haram itu, bagaimana bisa selesai wabahnya?

Dulu kan kita kan tahun  tahun mulai munculnya wabah ada gelombang demokratisasi. Orang itu kan merasa individual right kan individual freedom itu kan penting. Maka bahkan di Amerika, di Indonesia, sekarang misalnya orang bahkan kabur dari rumah sakit, dia bilang enggak mau dirawat di rumah sakit, memang rumah sakit bisa bikin apa coba? 

Nah ini masalah kan, bukan hanya di Indonesia. Ini kan pandemi ini kan sebenarnya negative externalities, ada rembesan kan. Sekarang negative externalities itu tidak mungkin diselesaikan dengan market mechanism, tidak mungkin diselesaikan dengan free freedom of choice. Hanya bisa diselesaikan dengan public choice. Public choice itu kan public decision making. Government authority kan, government decision sekarang artinya. 

Sementara di banyak negara di Amerika pun misalnya orang-orang di video banyak beredar, enggak kita enggak mau. Wah terus bagaimana. Sekarang di Indonesia sama juga kan. 

Nah di China, tidak ada tuh yang namanya private choice itu enggak ada. Dari awal namanya sudah public choice, sehingga mereka diam di rumah, kalau enggak diam di rumah nanti dipenjara. Nah takut semuanya. Di sini bagaimana coba?

Penjara penuh, malah orang yang di penjara dikeluarkan. Nah ini kan memunculkan masalah baru sehingga masalah-masalah ini kan mencakup fundamental value kan, fundamental value tentang demokratisasi, kebebasan masyarakat, tentang dikotomi, tentang polarisasi yang ini harus diselesaikan secara global.

Absennya kepemimpinan di dunia ini, ke mana ini ujungnya?

Wah ya ini susah, itu pertanyaannya  pertanyaannya sama dengan  sulitnya ini sampai kapan nih virus ini merebak. Ya susah. Ya tunggu vaksin.

Tapi untuk masalah global solution ini, sebetulnya salah satu upaya untuk menyelesaikan krisis kita kan ada kementerian luar negeri. Ini kan jadi urusan jadi urusan kementerian luar negeri, kalau kita ingin ke mukadimahnya UUD 1945 yang secara aktif memajukan kemakmuran dunia. Itu kan sebenarnya diplomasi kita. Sebetulnya ini kesempatan kita juga, sebagai anggota G-20. Tapi kelihatannya kan kita kesulitan karena kalau dilihat dari skala intervensinya saja kan kita paling kecil ya. 

Kapan masalah ekonomi ini bisa selesai?

Kan saya sudah bilang yang masalah ini ada 3, satu sang virus, kedua penyebaran virus, yang ketiga dampak ekonomi. Pertanyaannya dampak ekonomi sampai seberapa jauh, ya pertanyaan yang nomor dua saja belum bisa dijawab, bagaimana caranya apa kita menghentikan penyebaran virus. Lah pertanyaan no 2 itu kan bisa dijawab kalau pertanyaan no 1 bisa dijawab. 

Jadi forecast yang dibuat dengan asumsi seperti apa?

Jadi riset saya itu didasarkan kepada 4 asumsi yang mendasar. Pertama, virus covid saya asumsikan, vaksin baru akan di temukan 12-18 bulan kemudian, sejak krisis ini muncul. Kalau krisis ini munculnya Januari atau Februari di Wuhan, berarti vaksin baru akan ketemu di semester pertama tahun 2021. 

Implikasinya adalah sosial distancing itu akan ada. Nah social distancing ini asumsinya masyarakat patuh loh. Sehingga social distancing ini akan berjalan selama 2 bulan, itu adalah asumsi kedua. Kalau misalnya social distancing itu berjalan selama 2 bulan melihat dari pengalaman di beberapa negara, terutama di China,  

Asumsi ke-3 economy activity, social economy activity itu akan  berhenti paling tidak 50%. Nah kalau dia berhenti 50%, maka efeknya retail sales index itu akan turun antara 6%-10% Kalau melihat pengalaman di China retail sales index itu turunnya 6%-10%. 

Sekarang untuk data Indonesia sampai dengan data terakhir Februari, retail sales index itu turun sudah -5 loh 

Maksudnya?

Ya year on year -5. Jadi pada Bulan Februari itu retail sales index itu down 5% YoY. Jadi kalau saya asumsikan 2 bulan lockdown itu dari Bulan April, Mei. Saya asumsikan cuma 6%-10% turunnya sampai dengan di Bulan Mei itu. 

Tapi kan biasa consumption enggak recover langsung kayak nyalain lampu. Cetek nyala. Cetek turun.

Produksi, itu akan turun antara 9%-13%. Ini kejadian juga di China. Tapi di China karena lockdown-nya lebih dahsyat activity-nya turunnya 75%. Ini akibatnya sales retail index turunnya jauh. 

Nah sekarang bagaimana saya bisa yakin itu turunnya 6%-10%, activity kira-kira turunnya 50%, dari mana saya tahu. Ya ada data tradisional data non tradisional. Data non tradisional bagaimana? Lihat saja di Google mobility. Google mobility index, kan di situ kelihatan kan pengunjung ke mal turun berapa persen, yang itu turun berapa persen, terus kemudian tanya sama orang klien yang punya mal. Tanya lihat di pasar. 

Lihat saja misalnya pengunjung bioskop, kantoran work from home. Saya perkirakan penurunan aktivitas itu bervariasi antara 35% sampai 55%. Seberapa akuratnya saya enggak tahu tapi roughly sekitar itu lah. 

Kan asumsi economy activity turun 50%, enggak salah-salah amat kan. Nah kalau misalnya itu turun, asumsi kemudian bergeraknya bukan berdasarkan v shape tapi u shape. Kenapa dia gak v shape? Ya kita lihat saja contohnya di banyak negara itu u shape semua enggak ada yang v shape.

Nah kalau sekarang kayak begitu kejadiannya, artinya  baru kemudian pada kuartal ketiga itu perlahan-lahan economic activity itu akan mulai bergerak. 

Di situ masuk asumsi keempat bahwa defisit fiskal ini ya 5% ini mungkin enggak tercapai, saya cuma bilang paling enggak paling tercapai 4,5% realisasinya. Defisit fiskal kan artinya APBN yang ada itu kan yang 2.600-an triliun yang dijanjikan dalam revisi itu digelontorkan semua kan. Apakah cukup untuk meng-offset turunnya perekonomian? Enggak, pasti enggak. 

Tapi kalau misalnya dia kurang dari 4,5% ya berarti daya dorongnya enggak ada kan. Kalau lebih dari 4,5% ya bagus, tapi kan enggak mungkin dari 4,5%, jadi yang 5,07% target pemerintah itu sih saya rasa cuma di atas kertas, enggak akan sampai. 

Jadi saya asumsikan tercapai defisit fiskal 4,5% dan ternyata hanya bisa tumbuh 1,8%. Oh ya satu lagi harga Brent. Saya asumsikan harga Brent itu US$ 40 per barel. 

Nah  sekarang kalau ditanya apakah semua asumsi itu realistis? Menurut saya ada yang realistis ada yang optimis. Contoh apakah benar PSBB itu 8 minggu, 2 bulan seperti asumsi saya. 

Apakah ini asumsi realistis? Bisa iya bisa tidak, sejauh ini shih kelihatannya iya. Tapi apakah mungkin diperpanjang? Mungkin. Kalau misalnya dia mungkin diperpanjang, asumsi jatuhnya aktivitas itu 50% itu realistis? Atau dia lebih dari 50%?

Ya mungkin lebih gitu kan. Sehingga misalnya, asumsinya, apa kalau penurunan activity itu lebih dari 50%, apakah mungkin retail sales index hanya turun 6%-10% dan industrial index hanya turun 9%-13%.

Mungkin lebih buruk. Kemudian berikutnya, apakah mungkin pemerintah itu meleset target,  apa realisasi defisitnya. Enggak sampai 4,5%, tapi cuma 4%, mungkin. Yang terakhir, apakah mungkin harga Brent itu mencapai US$ 40. Dengan kondisi sekarang, mungkin iya mungkin enggak. Probability enggaknya ada atau muncul, seberapa besar enggak tahu.

Jadi kalau lihat paper apa estimasi saya itu, itu sebetulnya berdasarkan asumsi yang moderat ke arah optimis lo. Jadi bagaimana kemudian saya tahu itu  bahwa saya itu sebenarnya moderat ke arah optimis, ya saya lihat saja konsensus forecast yang paling bearish ini kalau enggak salah JP Morgan -1, kemudian IMF 0,5%, Fitch 1,9%, S&P 1,8%, Moody 3%, ADB 2,5%, World Bank 2,1%,  pemerintah Indonesia BI 2,3%, APBN 2,3%. Saya 1,8%, hitung saja semua rata-ratanya 1,75%, forecast saya 1,8%. Jadi saya sebetulnya saya moderat di optimistis.

Tapi yang menarik adalah saya tidak mencoba melakukan forecast dengan gaya regresi atau black box, ekonometri yang lazim digunakan karena saya sudah mengalami 3 kali krisis, tahun 1998, 2008, 2020. Dari semua krisis yang saya alami hubungan korelasi semua antar variabel itu breakdown semua. Kenapa? karena perubahan perilaku kan.

Analis regresi enggak ada gunanya. Behavioral analysis yang penting sekarang ini

Contohnya, apa yang menjelaskan dolar itu menguat, tapi emas itu menguat. Coba? Biasanya kan harga dolar menguat, emas turun, emas naik dolar melemah. Sekarang dolar menguat, emas menguat kenapa begitu? Enggak tahu saya. 

Jadi bagaimana melakukan forecast-nya?

Hubungan antara variabel itu sudah breakdown sekarang. Jadi enggak ada gunanya kita menggunakan regresi, micro economic model. Saya menggunakan 3 approach yang pertama adalah behavioral analysis yang kedua policy process analysis, yang ketiga adalah partial equilibrium




TERBARU

[X]
×