Reporter: Djumyati Partawidjaja | Editor: Djumyati P.
Untuk behavioral analysis saya berusaha mendeteksi perubahan perilaku konsumen dan agent economy dengan market by market. Contohnya orang belanja di supermarket, belakangan baru saya tahu ternyata Nielsen juga punya riset yang sama dan menyimpulkan hal yang sama.
Orang-orang yang belanja itu daripada beli makanan jadi sekarang orang belanja bahan baku, masak sendiri di rumah. Ternyata kalau saya tanyakan kepada teman-teman sekolahnya anak saya, ternyata anak-anaknya pada di rumah dan makan melulu. Minta jajan, ya emaknya kan repot.
Nah kalau jajan melulu kan mahal, makannya dia masak, masak pisang goreng, beli pisang kepok digoreng sendiri, pada banyak yang bikin nasi goreng sendiri, bikin kerupuk sendiri. Makanya kalau kita lihat di supermarket barang-barang yang dulunya enggak laku, misalnya ragi, tepung, saus-saus Jepang sekarang cepat habis. Besoknya diisi lagi habis lagi.
Nah itu artinya ada perubahan perilaku konsumen. Kalau kita lihat itu kan discretionary aspect dari consumption yang turun, ini menjelaskan kenapa di China pergeseran dalam discretionary consumption itu menyebabkan retail sales index turunnya dalam sekali. Di China itu bisa 15% turunnya, karena lockdown-nya lama dan drastis lagi. Nah ini bisa terjadi di Indonesia dan sudah terjadi. Misalnya sekarang orang biasanya beli mobil, kan enggak beli mobil. Orang biasa beli Rolex beli Rolex, orang biasa beli Hermes sudah enggak laku Hermes.
Maksudnya indikator yang biasa dipakai itu sudah enggak terpakai lagi sekarang?
Sudah tidak terpakai lagi. Nah artinya analis regresi enggak ada gunanya. Behavioral analysis yang penting sekarang ini. Itu nomor satu nomor dua adalah policy process analysis. What is policy process analysis? Policy process analysis itu dalam bahasa sekarang itu dikenal dengan mind mapping. Policy process analysis itu kan seperti behavioral analysis tapi pada level government, misalnya kalau seperti terjadi sesuatu seperti sekarang ini, government itu reaksinya seperti apa. Jadi specific branch dari public policy analysis dan kalau ini terjadi impact-nya kayak apa, market dan respons masyarakat itu kayak apa. Nah ini saya lakukan, tentu ketemu beberapa parameter.
Berarti dua consecutive quarter growth seasonal adjusted itu negatif, itu kan resesi.
Yang ketiga adalah partial analysis saja, partial equilibrium jadi enggak usah general equilibrium memasukkan semua faktor. Partial equilibrium saja, misalnya bond market kelakuannya kayak apa, equity market kelakuannya kayak apa, kenapa kelakuannya kayak begini.
Jadi market by market terus keluar dengan satu parameter. Kemudian yang keluar dari 3 parameter itu dibungkus dalam satu spreadsheet financial programming. Ya seperti membuat financial modelling.
Nah, dengan demikian saya bisa melakukan judgement. Wah ini enggak cocok nih harga segini, mungkin segini saja. Sehingga semuanya itu inherently consistent. Nah dari situ kelihatan bahwa pertumbuhan ekonomi itu mestinya turun di kuartal 1 2020. Sudah turun. kalau forecast saya kan 3%.
Kalau 3% atau 3,5% kejadiannya atau katakan 4% pun kejadiannya ya, sebetulnya 4,97% di kuartal 4-2019 dengan 3,5% atau 4% pun di kuartal 1 2020, secara quarter on quarter apalagi kita mau keluarkan faktor musimannya, seasonal adjustment ya. Itu kan sudah negative growth kan on quarter basis.
Dan kalau di kuartal 2 dengan PSBB ini pertumbuhan ekonomi saya perkirakan cuma -1. Artinya kan dari kuartal 1 ke kuartal 2 turun lagi. Berarti dua consecutive quarter growth seasonal adjusted itu negatif, itu kan resesi. Nah itu, saya sebutkan itu resesi. Ini enggak pernah diomongin sama orang nih.
Memang definisi resesi seperti apa?
Definisi resesi itu adalah 2 consecutive negative growth on quarter on quarter seasonally adjusted basis itu definisinya. Jadi angka quarterly data dengan faktor seasonality-nya dibuang dulu, baru kemudian dihitung. Q on Q, kalau dua kali negatif itu artinya resesi. Nah dalam perhitungan saya sebenarnya di 2020 mestinya resesi.
Ini terjadi di dunia juga kan?
Di dunia juga saya rasa sih resesi, sudah global sih saya rasa sih resesi. Kalau melihat angkanya yang diproduksi oleh banyak lembaga ya, 2020 sih resesi. Resesi global iya.
Untuk masalah unemployment rate, apakah Anda melihat pemakaian stimulus dengan program pra-kerja itu bisa efektif?
Kalau masalah efektivitas sih itu kita lihat saja dulu ya. Masalah angkanya kan begini. Sekarang kan, kita lihat saja 56% employment adanya di sektor informal. Terus kemudian 25% atau 30% dari angkatan kerja Indonesia itu kan kategorinya setengah menganggur atau paruh waktu.
Jadi yang dalam definisinya Indonesia bekerja itu kan, bekerja paling tidak 1 jam seminggu. Sementara kalau definisinya pekerja penuh itu kan 35 jam, kalau di bawah 25 itu paruh waktu. Kalau di bawahnya lagi ½ menganggur gitu ya saya lupa definisinya.
Nah itu kan ada 25 sampai sekitar 25-an% lah gitu ya, kan yang kategori itu seperti itu. Sekarang kalau krisis kayak begini, tukang bakso enggak dapat dagangan, terus kan dia kan enggak makan. Orang mau dagangan juga enggak bisa karena orang pada takut keluar rumah.
Nah yang seperti ini kan pada akhirnya dia enggak bekerja sama sekali dia. Ya mungkin sih enggak banyak naiknya, saya rasa sih sekarang naiknya sekitar 4 juta ya, karena definisi pengangguran kita itu yang lenient sebetulnya. Cuma di luar angka 4 juta pengangguran yang saya perkirakan, sebetulnya yang ½ menganggur itu kan jadi tambah banyak.
Pengangguran yang kelihatan di mata, itu bisa diatasi, tapi yang enggak kasat mata ini yang lebih susah.
Ya kayak sekarang misalnya orang yang tadinya pegawai harian, pegawai harian ya terpaksa berhenti kan. Nah ini kan dia berubah dalam angkatan kerja masuk bekerja, tetap bekerja, tapi ya jadi paruh waktu atau ½ menganggur kan istilahnya. Apakah banyak? Ya enggak usah jauh-jauh pegawai hotel saja sekarang sudah begitu. Enggak usah susah-susah mencarinya.
Tukang cukur banyak yang kehilangan kerja. Jadi yang saya bilang pengangguran sih naiknya cuma naiknya 4 juta, dari 7 juta menjadi 11 juta. Kalau 11 juta itu cuma 8% unemployment rate, apakah realistis? Iya lah mungkin realistis.
Ada yang ngomong sampai 10%-an tapi saya pikir dengan definisi pengangguran di Indonesia, ya 8 % sih sudah banyak naiknya. Tapi buat saya sih yang lebih concern sih bukan yang 8%-nya, komposisinya itu yang menurut saya berbahaya. Karena komposisi angkatan kerja itu yang menentukan social discontent, ketegangan sosial. Pengangguran yang kelihatan di mata, itu bisa diatasi, tapi yang enggak kasat mata ini yang lebih susah. Jadi statement terakhir itu sebetulnya memiliki implikasi yang lebih dalam, karena social discontent itu munculnya karena struktur angkatan kerja kita, berdasarkan durasi waktu dan berdasarkan informality.
Dengan PSBB semakin lama akan menjadi semakin besar potensinya?
Nah sekarang kalau ditanya apakah PSBB ini bisa cepat enggak. Sebetulnya lama atau cepat itu kan tergantung dari, dari 2 faktor. Faktor pertama adalah disiplin masyarakat itu sendiri, yang kedua adalah enforcement dari otoritas publik ya. Nah sekarang kalau kita lihat, di Indonesia, itu kan disiplin masyarakatnya kan parah banget.
Kalau satu atau dua-dua faktor itu tidak terpenuhi, ya PSBB ya pasti akan diperpanjang. Jadi kan artinya yang terjadi sekarang adalah self-inflicted problem. Masalah yang dipicu oleh diri sendiri, karena dia enggak disiplin.
Jadi ini memang problem masyarakat yang kemudian dilampiaskan ke dalam masalah politik atau ditunggangi oleh politik. Nah masalah tunggang-menunggangi ini kan probabilitasnya naik, karena kan sejak dari awalnya kan sudah ada polarisasi yang kita omongkan tadi.
Nah jadi kalau dia makin panjang PSBB-nya karena masyarakatnya sendiri yang tidak disiplin, ya makin repot kita. Makin repot. Jadi masalah pertama saja kita sudah tahu itu belum ada kejelasannya, masalah kedua itu masyarakat sendiri yang ini, yang ketiga akhirnya dampak ekonominya makin berat saja.
Implikasi ke investasi, kelihatannya Anda lebih prefer di pasar obligasi?
Sebenarnya dengan keadaan seperti ini pasar saham dalam 6-9 bulan ke depan itu kayak apa sih. Ya kalau pertumbuhan ekonomi cuma 1,8%, inflasi cuma 2,7%, ya berarti EPS growth-nya gak ada dong.
Ini faktor pertama, nomor 2 risk perception. Ya persepsi risiko tambah besar ya enggak akan naik dong. Yang ketiga liquidity karena liquidity 50% di pasar stock market itu dari asing, asing itu keluar terus.
Sementara orang dengan volatility seperti ini antara volatility seperti ini kan orang jadi khawatir masuk ke risky asset. Satu-satunya yang bisa menyebabkan stock market itu naik itu kan cuma re-rating doang. Stock re-rating kan probability kecil kali ya sekarang ya. Apa yang mau di re-rating.
Jadi kalau misalnya stock market tidak ke mana-mana. Ya berarti saya yakin sih aset market sih larinya ke obligasi. Karena paling enggak kan dapat fixed income flow kan. Nah sekarang kalau fixed income, berapa sih valuasi yang sebenarnya yang dianggap fair value-nya atraktif.
Saya proyeksikan rerata tahunan itu 8,2%. Kuartal 1 kan sudah sejarah, kalau enggak salah 7%. Nah kuartal 2 rata-rata 8,3%, yang saya maksud dengan rata-rata kuartal 8,3% itu adalah itu bisa ke 7,9% ke bisa ke 8,6%. Tapi mediannya kira-kira di antara 8,1% sampai 8,3%, sehingga ketemu mean-nya itu di 8,3%.
Nah di kuartal 4-2020 rata-rata 8,5% itu artinya bisa 8,2% bisa 9%. Ya mungkin saja sih sampai ke 9%, tapi turun lagi. Bisa saja ke 8,2% tapi naik lagi. Sehingga medianya itu di antara 8,3% sampai 8,6%, jadi rata-rata 8,5%.
Untuk Rupiah proyeksinya masih di Rp 15 ribuan?
Nah Rupiah kenapa cuma 15.625. Ya di kuartal 1 saja kita cuma 14 ribu, rata-rata 14.200. Kalau kuartal 2 itu langsung di 16.500 dan kalau percaya Bank Indonesia akan giring-giring ke 15.000, maka rata-rata 15.750 di kuartal 4, rata-rata 15 ribu di kuartal 3 realistis enggak?
Mungkin iya kali karena tekanan di balance of payment juga enggak ada kali, karena account deficit. Orang berpikir karena account deficit akan meledak, saya pikir dari mana meledaknya. Lah impor turun jatuh kok, ekspor kita ada. Running rate itu kira-kira cuma US$ 12 billion-an sebulan.
Nah kalau misalnya kita hitung run rate-nya saja ya, kebetulan impor itu jatuhnya 15% ekspor mungkin jatuhnya 10% gitu ya, jadi ya kita ketemu dengan trade surplus. Kalau trade surplus dengan current account service balance yang kira-kira sama karena kira-kira transaksi di devisa, portofolio apa segala macam gitu kan, ya kita ketemu dengan current account deficit itu cuma 1,6%. Jadi kalau kita lihat secara historis, current account deficit itu tambah baik kan, bukan memburuk.
Karena impornya hilang, tekanan terhadap dolar jadi jadi lebih rendah. Nah apalagi ditambah dengan sekarang kan sudah ada instrumen DNDF. DNDF ini sangat powerful sih sejak Oktober tahun lalu. Paling powerful menggeser, menggerakkan rupiah ke sampai ke arah 13.500 ya DNDF.
Nah dengan dua faktor itu maka saya melihat tren rupiah seperti itu. Sekarang kalau ditambahkan saja gampangnya saja 14.000 ditambah 16.500 ditambah 16.000 ditambah 15.750 dibagi 4 saja kan ketemunya 15.650 kan. Roughly lah ya kan. Tapi kan 15.650 artinya kalau dibandingkan dengan average tahun 2019 yang cuma 14.050 kan itu artinya depresiasi year on year kan kira-kira 10% kan.
Nah itu juga yang menyebabkan saya berpikir kenapa turunnya harga minyak ke 40 itu buruk buat kebijakan fiskal, karena harga minyak kan turun dari rata-rata 65 ke rata-rata 40 itu kan turunnya 40%. Sementara penerimaan minyak kita kan dalam APBN yang di PNBP Penerimaan Negara Bukan Pajak, itu kan terima dalam rupiah kan. Jadi dolar itu dikonversi jadi rupiah.
Ada orang bilang enggak mungkin turun karena harga minyak turun tapi ada depresiasi. Jadi depresiasi akan menyebabkan penerimaan dalam rupiah kan akan menjadi tinggi juga. Ya tunggu dulu, harga minyaknya turun 40% depresiasinya naiknya 10% kan jadi kan masih bolongnya 30%. Jadi PNBP nya pasti turun 30% dari tahun lalu, pasti. Jadi PNBP sudah turun dengan asumsi 40. Kalau harga minyak turun ke 30 sih ya jeblok lagi dong.
Jadi sekarang ya PPN pasti turun dong, mau dari mana PPN dagangan enggak ada. PPh ya turun, kan yang sampai 200 juta itu ditampung pemerintah. Sementara 60% datang dari penerimaan pajak, 80% dari penerimaan pajak dari SPT itu kan pajak badan. Nah dan datangnya dari 3 sektor, dari manufaktur, mineral, sama bank finansial.
Nah sekarang PPh jebol, PPN jebol, penerimaan migas jebol. Terus kemudian dari mana itu bisa ketemu penerimaan negara bisa 1.750 triliun. Tahun lalu 1.400 triliun saja target enggak tercapai kok. Cuma 1.300 dari mana bisa 1.700. Makanya saya tulis di dalam forecast note penerimaan pajak cuma 1.250 triliun, yang artinya tax ratio kita cuma 8,2.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News