Reporter: Narita Indrastiti, Wahyu Satriani | Editor: Yudho Winarto
JAKARTA. Pasar finansial Indonesia semakin memikat. Indonesia diyakini menjadi salah satu sasaran para investor yang mengail untung lewat carry trade. Satu indikasinya, per 1 Maret lalu, porsi asing di surat berharga negara naik, yakni 39,01% ketimbang per akhir 2015 sebesar 38,21%.
Mengacu data Direktorat Jenderal Pengelolaan dan Pembiayaan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan, dana asing di SBN mencapai
Rp 588,23 triliun. Dari jumlah itu, senilai Rp 578,64 triliun berupa surat utang negara (SUN) dan Rp 9,59 triliun masuk surat berharga syariah negara (SBSN) atau sukuk.
Nilai itu naik dari akhir 2015 sebesar Rp 558,52 triliun. "Melihat beberapa negara yang menetapkan suku bunga negatif, bukan tak mungkin potensi carry trade terjadi. Capital inflow lebih dominan di pasar obligasi," ujar Head of Fixed Income Indomitra Securities Maximilianus Nico Demus, Kamis (3/3).
Aliran masuk dana asing dipicu imbal hasil obligasi Indonesia yang lebih menarik ketimbang negara lain.
Nico membandingkan yield obligasi Indonesia bertenor 10 tahun berkisar 10%, lebih menarik daripada negara sasaran carry trade lain, seperti Tiongkok sebesar 2,85%, Peru 7,38%, maupun India 7,64%. Adapun yield obligasi bertenor sama milik Pemerintah Turki di level 10,17% dan Brasil sebesar 15,5%.
Risiko terukur
Kendati Turki dan Brasil menawarkan imbal hasil lebih tinggi, investor akan mencari negara dengan risiko terukur dan minim. "Fundamental Indonesia membaik, sumber daya alam melimpah, penanaman modal asing masih minim dan market konsumtif yang besar, tentu menjadi salah satu pertimbangan asing berinvestasi di Indonesia," papar dia.
Penguatan nilai tukar rupiah terhadap dollar Amerika Serikat juga menjadi pertimbangan asing. Di saat yang sama, tren inflasi terbilang rendah sehingga suku bunga acuan Bank Indonesia (BI rate) berpeluang kembali melandai. Sejumlah paket kebijakan juga memperlihatkan, pemerintah memperbaiki iklim investasi.
Analis Indonesia Bond Pricing Agency (IBPA) Robby Rushandie menilai, yield obligasi Indonesia masih menarik di tengah iklim suku bunga rendah secara global. "Dibanding bunga acuan 7%, Indonesia terbilang atraktif bagi investor global," kata dia.
Menurut Robby, suku bunga acuan Indonesia paling tinggi di antara negara utama Asia. India sekitar 6,75%, Tiongkok 4,35%, Malaysia 3,25%, Thailand 1,5% dan Filipina 4%. Nah, yield obligasi khususnya bertenor pendek, juga di level suku bunga acuan tersebut.
Teguh Hidayat, Pengamat Pasar Modal, menilai, suku bunga negatif di sejumlah negara memang bisa berefek masuknya dana asing ke pasar modal domestik. Tapi jumlahnya tak signifikan. "Dari dulu memang yield obligasi kita lebih bagus dibandingkan negara lain. Tetapi sekarang banyak asing masuk karena pertimbangan risiko yang lebih bagus," ujar dia.
Di pasar saham, aliran masuk dana asing lebih banyak disebabkan IHSG yang valuasinya sudah murah sejak merosot pada tahun lalu.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News