kontan.co.id
banner langganan top
| : WIB | INDIKATOR |
  • EMAS 1.769.000   10.000   0,57%
  • USD/IDR 16.585   15,00   0,09%
  • IDX 6.478   242,66   3,89%
  • KOMPAS100 926   42,28   4,79%
  • LQ45 733   36,06   5,17%
  • ISSI 201   4,96   2,54%
  • IDX30 386   19,61   5,35%
  • IDXHIDIV20 466   22,83   5,15%
  • IDX80 105   4,72   4,70%
  • IDXV30 111   4,10   3,85%
  • IDXQ30 126   5,81   4,82%

Yield SUN 10 Tahun Meningkat, Apa Penyebabnya?


Senin, 24 Maret 2025 / 18:53 WIB
Yield SUN 10 Tahun Meningkat, Apa Penyebabnya?
ILUSTRASI. Imbal hasil atau yield Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun kembali meningkat ke level 7,3%.


Reporter: Lydia Tesaloni | Editor: Khomarul Hidayat

KONTAN.CO.ID – JAKARTA. Imbal hasil atau yield Surat Utang Negara (SUN) 10 tahun kembali meningkat ke level 7,3%. Namun, strategi komunikasi pejabat pemerintah dalam menanggapi isu-isu dalam negeri membawa sentimen negatif terhadap pasar obligasi domestik.

Berdasarkan data Trading Economics, Senin (24/3) pukul 15.50 WIB, yield SUN 10 tahun Indonesia ditawarkan di level 7,304%. Angka ini meningkat 0,12% secara harian.

Ekonom Senior KB Kalbe Valbury Sekuritas Fikri C. Permana melihat investor cenderung berpindah ke money market yang lebih stabil. Pasalnya, sentimen negatif datang dari cara pemerintah menanggapi isu-isu dalam negeri. 

Melihat cara komunikasi pejabat pemerintah yang dalam tanda kutip agak sembrono, mungkin ini yang bikin tidak hanya investor asing tapi juga investor domestik agak ragu-ragu terhadap kondisi ekonomi Indonesia,” kata Fikri.

Baca Juga: Yield SUN Kembali Melejit, Saatnya Masuk Pasar Obligasi?

Fikri menjelaskan, sentimen negatif yang menekan obligasi pemerintah saat ini datang salah satunya dari melemahnya nilai rupiah. Pasalnya, meski yield meningkat dalam rupiah, nilainya belum tentu mendominasi ketika dikonversi dalam dolar AS. 

Untuk diketahui, nilai rupiah berada di level Rp 16.567 per Senin (24/3) pada penutupan pasar spot, turun 0,40% secara harian. 

Padahal, kata Fikri, dari sisi fundamental ekonomi domestik, tidak ada kejadian signifikan seperti pandemi Covid-19 atau bencana besar lainnya yang menekan kurs rupiah. Sejumlah sentimen negatif dalam sebulan belakangan pun, seperti defisit fiskal dan isu pengunduran diri Menteri Keuangan Sri Mulyani, telah teredam. 

Dari sisi eksternal tak jauh berbeda, Fikri menilai risiko dari kebijakan tarif Trump mulai melandai dan sentimen The Fed yang menunjukkan kecenderungan dovish idealnya dapat membantu menopang nilai rupiah. 

Baca Juga: Yield SUN 10 Tahun Indonesia Tinggi, Berikut Faktor Pendorongnya

Fikri memprediksi, investor asing justru mulai khawatir dengan tekanan domestik, seperti aksi demonstrasi pengesahan UU TNI dan kekhawatiran terkait kebebasan pers. Sayangnya, pemerintah pun tak memberikan respons yang sesuai terkait hal tersebut.

Ada kekhawatiran bahwa Indonesia mundur lagi ke 20 tahun atau 30 tahun yang lalu. Kalau memang itu terjadi, tentunya kebebasan finansial juga mungkin akan kurang baik,” sebut Fikri.

Fikri juga menyoroti respons pemerintah terkait volatilitas di pasar saham yang disebut biasa saja. Hal itu, menambah sentimen negatif di pasar. 

Selanjutnya: Robert Kiyosaki: Menabung untuk Pensiun Itu Salah Besar! Inilah Cara yang Benar

Menarik Dibaca: Gabung elevAIte, Jobstreet by Seek Dorong Keterampilan AI Talenta Indonesia

Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News


Survei KG Media

TERBARU
Kontan Academy
Supply Chain Management on Procurement Economies of Scale (SCMPES) Brush and Beyond

[X]
×