Reporter: Dupla Kartini | Editor: Dupla Kartini
JAKARTA. Imbal hasil alias yield surat utang negara Indonesia mencatatkan level tertinggi di kawasan Asia Tenggara. Mengacu Asian Bonds Online per 5 Januari 2017, yield obligasi pemerintah Indonesia bertenor 10 tahun mencapai 7,84%. Ini melampaui yield obligasi bertenor sama milik pemerintah Malaysia yang tercatat 4,22%, Filipina 5,07%, Singapura 2,55%, Thailand 2,65%, serta Vietnam 6,5%.
Sementara yield obligasi bertenor sama negara maju semperti China tercatat 3,18%, Hong Kong 1,97%, Jepang 0,06%, Korea 2,09%, serta Amerika Serikat 2,43%.
Analis Fixed Income MNC Securities I Made Adi Saputra menilai, tingginya yield surat utang negara (SUN) Tanah Air turut mencerminkan persepsi risiko investasi yang lebih besar pula di dalam negeri. Indonesia mengantongi rating BBB- dari lembaga pemeringkat internasional Fitch Ratings dan BB+ dari Standard & Poor's. Bandingkan saja dengan Thailand yang mendapatkan peringkat lebih baik, masing-masing BBB+ dari kedua lembaga tersebut. Dengan risiko investasi yang lebih kecil, wajar jika yield obligasi pemerintah Thailand lebih mini.
Apalagi pergerakan kurs rupiah lebih volatil dibandingkan Baht Thailand. Ini disebabkan kepemilikan investor asing yang besar di pasar modal Indonesia. Situs Direktorat Jenderal Pengelolaan Pembiayaan dan Risiko (DJPPR) Kementerian Keuangan per 4 Januari 2017 mencatat, porsi investor asing di surat berharga negara (SBN) domestik yang dapat diperdagangkan mencapai 37,55%.
"Sementara porsi asing di Thailand hanya 15%, sisanya didominasi domestik. Makanya pasar Indonesia lebih sensitif jika ada sentimen negatif dari eksternal," ujarnya. Jika pasar tertekan, investor asing kerap mencabut dananya dari Indonesia.
Made berpendapat, wajar jika yield surat utang Indonesia sulit mengecil. Sebab, mereka bersaing dengan industri perbankan untuk merebut dana investor. Investor domestik sebagian besar masih tertarik dengan bunga deposito perbankan. Dengan perbedaan imbal hasil yang minim, instrumen deposito lebih dikenal oleh investor. Apalagi deposito tidak mengenal naik turunnya harga seperti di pasar obligasi.
"Bank memperebutkan dana investor untuk dana pihak ketiga (DPK). Ini harus diselesaikan, kalau mau turun dua-duanya beriringan. Atau, perbankan bisa mencari alternatif pendanaan dengan menerbitkan obligasi," jelasnya.
Desmon Silitonga, Analis Capital Asset Management menambahkan, inflasi Indonesia juga cukup tinggi dan kurang stabil. Memang inflasi domestik hanya 3,02% sepanjang tahun 2016. Tapi beberapa tahun yang lalu, Indonesia bisa mencatatkan inflasi 6%-7%. "Ini akan berpengaruh terhadap proyeksi suku bunga dan yield obligasi," imbuhnya.
Kendati demikian, Desmon berpendapat, risiko investasi di Indonesia sudah membaik. Buktinya, pemerintah menggeser dari semula kebijakan non produktif menjadi kebijakan produktif. Kelemahan birokrasi juga tengah dipoles. Namun, ini membutuhkan waktu, setidaknya dalam kurun beberapa tahun mendatang.
Oleh karena itu, Desmon memproyeksikan, yield obligasi pemerintah Indonesia masih akan berkisar 7,8%-8% pada tahun 2017. Katalis positif akan bertambah jika S&P menghadiahi rating investment grade bagi Indonesia tahun ini.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News