Reporter: Arfyana Citra Rahayu, Dityasa H Forddanta, Intan Nirmala Sari, Irene Sugiharti | Editor: Noverius Laoli
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Bayang-bayang kekhawatiran resesi ekonomi global kembali menghantui pasar modal. Indeks saham sejumlah negara, termasuk IHSG, merosot.
Kamis (15/8), Dow Jones Industrial Average (DJIA) bahkan sempat anjlok 800 poin. Per pukul 22.16 WIB, DJIA bertengger di 25.454,59, turun 0,10% dari posisi hari sebelumnya. Sebulan terakhir, DJIA telah mengakumulasi penurunan lebih dari 6%.
Baca Juga: Neraca dagang Juli di luar ekspektasi, begini respons ekonom
Indeks Harga Saham Gabungan (IHSG) juga sempat melemah 1% pada perdagangan kemarin. Indeks saham akhirnya ditutup turun 0,16% ke 6.275,59. Satu bulan terakhir, indeks turun 2,28%.
Kekhawatiran terjadinya resesi global menguat lantaran terjadi inversi pada yield obligasi Amerika Serikat (AS). Untuk pertama kali sejak 2017, yield obligasi AS tenor 2 tahun kini melebihi yield obligasi tenor 10 tahun.
Yield obligasi AS tenor 10 tahun Rabu lalu ada di level 1,562%. "Inversi yield memiliki track record yang kuat dalam memprediksi resesi di AS," ujar analis Mirae Asset Sekuritas, Hariyanto Wijaya dalam risetnya, Kamis (15/8).
Ekonom Pemeringkat Efek Indonesia (Pefindo) Fikri C. Permana membaca sinyal inversi kurva yield telah tampak sejak April 2019. Bahkan, inversi kurva yield bukan cuma terjadi di AS.
"Di Jepang dan Jerman salah satunya sudah mencatatkan yield negatif," kata Fikri, kemarin.
Karena itulah, muncul kekhawatiran resesi global. Fikri menuturkan, dalam 50 tahun terakhir, terjadi 7 kali resesi usai terjadi inversi kurva yield. Rata-rata inversi tampak 18 bulan sebelum resesi.
Perang dagang AS dan China juga masih panas. Belakangan, tensi agak turun setelah Presiden AS Donald Trump menunda penerapan tarif impor 10% atas produk asal China hingga 15 Desember mendatang.
Baca Juga: Duh, Masa Depan Ekspor RI Masih Suram premium
Pelaku pasar saat ini cenderung mengambil sikap risk aversion. Indeks Fear & Greed, kemarin, berada di level 20, menunjukkan investor berada di posisi extreme fear. "Itu mengapa investor asing saat ini beralih ke posisi risk-off," tambah Hariyanto.
Tak heran, dana asing banyak keluar dari pasar saham, terutama di negara emerging market. Investor asing tampak keluar dari pasar saham di kuartal tiga ini.
Tapi, para pengamat meyakini sejatinya kondisi saat ini masih jauh dari resesi. "Resesi baru terjadi jika pertumbuhan ekonomi negatif selama dua kuartal berturut-turut, Indonesia masih tumbuh di atas 5%," ujar Muhamad Alfatih, pengamat pasar modal Samuel Sekuritas.
Baca Juga: Tujuh saham turun, Ini 10 saham LQ45 dengan PER Terendah (15 Agustus 2019)
Fikri menambahkan, data-data ekonomi AS juga masih cukup baik. Ia menilai, ketidakpastian global bisa berangsur hilang bila perang dagang selesai.
Meski begitu, investor perlu mewaspadai dampak ketidakpastian kondisi global. Alfatih mempertimbangkan merevisi target IHSG yang semula di 6.800. Ia masih menghitung target baru IHSG. Ia juga menyarankan investor masuk ke saham defensif.
"Investor juga dapat mengurangi instrumen yang berisiko tinggi ke risiko yang rendah serta memperbanyak porsi diBcash, agar dapat membeli saat harga nantinya cukup rendah," tutur Alfatih.
Setali tiga uang, mengingat investor asing tengah dalam posisi risk-off, Hariyanto menyarankan investor untuk memilih saham defensif. "Alternatifnya, saham emiten emas," tandasnya.
Kepala Riset Infovesta Utama Wawan Hendryana memprediksi, tekanan terhadap indeks masih akan berlanjut, setidaknya selama bulan ini. Namun bulan depan, IHSG akan digerakkan oleh sentimen penurunan suku bunga. Dus, indeks saham akan cenderung bergerak positif pada bulan depan.
Baca Juga: Menurut Bank Indonesia, Ini Dua Dampak Ancaman Resesi AS bagi Indonesia premium
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News