Reporter: Akhmad Suryahadi | Editor: Wahyu T.Rahmawati
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Tahun ini, PT Vale Indonesia Tbk (INCO) akan mengalokasikan belanja modal atau capital expenditure (capex) sedikit lebih besar dibandingkan capex tahun lalu. Alokasi capex yang sedikit lebih tinggi dibanding tahun lalu disebabkan adanya aktivitas pemeliharaan salah satu dari empat furnace (tungku) yang akan dimulai pada kuartal IV-2020.
“Proyek ini akan berjalan kurang lebih selama lima bulan,” ujar Diretor Finance and Control Vale Indonesia Adi Susatio kepada Kontan.co.id, Selasa (25/2). Meski demikian, Adi belum bisa memastikan terkait angka pasti capex INCO tahun ini. Yang jelas, capex ini akan diambil dari dana internal INCO.
Tahun lalu INCO mengalokasikan capex senilai US$ 166,6 juta. Capex ini mayoritas digunakan untuk proyek Larona Canal Lining dan pemeliharaan rutin.
Baca Juga: Harga nikel diproyeksi stabil, Vale Indonesia (INCO) punya propsek cerah
Akibat dari pemeliharaan tungku ini, produksi nikel INCO diprediksi bakal sama dengan tahun lalu, yakni di kisaran 71.000 metrik ton. Tahun lalu, INCO memproduksi 71.025 metrik ton nikel atau turun 5,05% secara tahunan. Namun, capaian ini masih memenuhi target produksi INCO yang dipasang 71.000 metrik ton–73.000 metrik ton.
Turunnya produksi nikel INCO tahun lalu disinyalir akibat adanya kegiatan pemeliharaan terencana terkait proyek kanal Larona (Larona Canal Project). Adi melanjutkan, selain untuk pemeliharaan tungku, INCO juga akan menggunakan capex tahun ini untuk pemeliharaan rutin dan peremajaan alat pabrik.
Pada 2019, konstituen Indeks Kompas100 ini membukukan laba bersih periode berjalan senilai US$ 57,40 juta. Realisasi ini turun 5,14% dibandingkan dengan laba bersih periode berjalan tahun sebelumnya yang mencapai US$ 60,51 juta.
Dari sisi top line, pendapatan emiten nikel ini naik tipis 1% menjadi US$ 782,01 juta dari pendapatan tahun lalu yakni US$ 776,9 juta. Tahun ini, Adi mengatakan pendapatan dan laba INCO bergantung pada banyak faktor, salah satunya harga pasar komoditas dunia untuk nikel dan bahan bakar minyak serta batubara.
Baca Juga: Kinerja tumbuh moderat, simak rekomendasi analis untuk saham Vale Indonesia (INCO)
INCO akan fokus pada sisi produksi dan manajemen biaya produksi melalui beberapa program konversi energi dan penghematan biaya. Salah satu ikhtiar yang telah dilakukan adalah penggunaan listrik tenaga air melalui tiga bendungan yang dimiliki saat ini.
"Kami juga melakukan studi lebih dalam untuk penggunaan renewable energy lebih jauh untuk operasi kami ke depan. Namun belum dapat membagikan hasil study tersebut lebih detail saat ini sampai ada kepastian untuk dapat diimplementasikan nanti di operasi kami," sambung dia.
Kinerja yang stagnan
Analis Samuel Sekuritas Indonesia Dessy Lapagu menilai, kinerja INCO sepanjang 2019 memang cukup stagnan bila dibandingkan dengan kinerja sepanjang 2018. Namun, secara kuartalan, kinerja INCO naik signifikan.
Pada kuartal IV-2019, INCO membukukan pendapatan sebesar US$ 275,5 juta atau naik 28,6% secara kuartalan. Sementara itu, laba bersih INCO melesat 117,15% menjadi US$ 57,24 juta.
Sementara itu, analis Danareksa Sekuritas Stefanus Darmagiri mengatakan, pelemahan harga nikel baru-baru ini didukung oleh lemahnya permintaan dari sektor industri stainless-steel diproyeksikan akan memengaruhi pendapatan INCO pada semester I-2020.
“Kami berharap meningkatnya permintaan yang solid dari kendaraan listrik akan meningkatkan penghasilan perusahaan dalam jangka panjang,” tulis Stefanus dalam riset, Jumat (21/2).
Baca Juga: Ada pembangunan tungku, produksi nikel Vale (INCO) diproyeksi sama dengan tahun lalu
Sementara itu, Analis OSO Sekuritas Sukarno Alatas mengatakan saat ini harga komoditas nikel sedang dalam tren penurunan. Dia bilang, aturan pelarangan ekspor bijih nikel hanya bisa menjadi sentimen jangka pendek.
Sedangkan untuk jangka panjang, prospek emiten nikel ditentukan oleh kemampuan emiten tersebut dalam membangun pabrik pengolahan (smelter). Saat ini pun saham emiten nikel seperti Vale Indonesia (INCO) belum menunjukkan sinyal beli dan masih dalam tren penurunan.
Stefanus pun mempertahankan rekomendasi buy saham INCO dengan target harga Rp 4.400 per saham. Rekomendasi ini dipertahankan mengingat efisiensi biaya lebih lanjut dari manajemen INCO, produksi nikel dalam matte yang diproyeksikan sedikit lebih tinggi, dan pendapatan jangka panjang yang kuat dari proyek pengembangan serta harga nikel yang solid dalam jangka panjang.
Baca Juga: Tahun 2020, Vale (INCO) fokus mengontrol produksi dan biaya
Di sisi lain, Sukarno merekomendasikan wait and see saham INCO yang masih berada dalam tren penurunan. Sementara Dessy merekomendasikan hold saham INCO dengan target harga Rp 3.900 per saham dengan upside potential 27,5% dari harga penutupan per 21 Februari 2020 yakni Rp 3.060 per saham.
Dessy merekomendasikan hold saham INCO sampai kabar divestasi dan progress pembangunan smelter INCO menemui titik terang.
Pada perdagangan hari ini, saham INCO ditutup melemah 0,33% ke level Rp 3.000 per saham. Secara ytd, saham INCO ambles 17,58%.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News