Reporter: Intan Nirmala Sari | Editor: Herlina Kartika Dewi
KONTAN.CO.ID - JAKARTA. Presiden Amerika Serikat (AS) Donald Trump kembali membuat geger pasar global, dengan mengeluarkan pernyataan bahwa dirinya siap membatalkan kesepakatan perang dagang dengan China, jika tidak memberikan keuntungan bagi Negeri Paman Sam tersebut. Kekecewaan pasar pun direspon dengan melorotnya harga minyak global pada perdagangan Rabu (13/11).
Mengutip Bloomberg, pergerakan minyak west texas intermediate (WTI) untuk pengiriman Desember 2019 di New York Mercantile Exchange turun 0,79% ke US$ 56,35 per barel.
Analis Monex Investindo Faisyal mengatakan, sikap Trump yang masih tarik ulur membuat pasar kecewa. Ditambah lagi, Presiden AS tersebut belum memberikan informasi detail dimana dan kapan kesepakatan dagang dengan China akan berlangsung.
"Sikap Trump tersebut, juga memicu pandangan akan risiko pelambatan ekonomi global ke depan," ungkap Faisyal, Rabu (13/11).
Baca Juga: Harga minyak masih merambat turun
Sentimen lainnya yang juga berhasil menyeret harga minyak turun yakni data Badan Energi Internasional (IEA) yang memperkirakan bahwa permintaan minyak di 2025 bakal mengalami penurunan. Di mana, pertumbuhan permintaan minyak global diperkirakan bakal melambat sebanyak 100.000 barel per hari.
Untuk itu, Faisyal memperkirakan pergerakan minyak hingga akhir tahun bakal berada di rentang US$ 50 per barel hingga US$ 60 per barel. Secara teknikal, harga pun masih bergerak sideways akibat sentimen yang cenderung tarik ulur.
Di sisi lain, pasar juga tengah menanti keputusan Organisasi Negara Pengekspor Minyak (OPEC) terkait produksi minyak ke depan. Mengingat, Desember nanti akan ada pertemuan OPEC yang akan membahas perpanjang produksi atau mungkin memperdalam pemangkasan produksi minyak ke depan.
"Sentimen perang dagang AS dengan China, serta produksi OPEC masih tarik ulur untuk prospek harga minyak ke depan," jelasnya.
Tidak jauh berbeda, Analis Central Capital Futures Wahyu Tribowo Laksono juga memprediksi pergerakan harga minyak di sisa tahun bakal berada di rentang US$ 50 per barel hingga US$ 60 per barel. Dengan ramalan di akhir tahun, harga akan ditutup di kisaran US$ 55 per barel.
Baca Juga: Harga minyak tertekan meski stok AS diprediksi turun
Menurutnya, hingga saat ini harga minyak masih dihantui sentimen ancaman kondisi ekonomi global, perang dagang dan isu tarik ulur pemangkasan produksi OPEC.
"Walau ancaman pelambatan ekonomi dan isu perang dagang masih potensial. Namun, harga minyak bisa lebih baik tahun depan dan terbuka untuk menguji level penguatan di atas US$ 60 per barel," ujar Wahyu.
Wahyu masih optimistis bahwa produksi minyak masih bisa bullish di tengah pelambatan ekonomi. Begitu juga dengan aktifitas impor yang diprediksi meningkat seiring rencana pemangkasan produksi oleh OPEC.
Selain itu, proses penyulingan juga diyakini akan bullish dengan margin perusahaan yang kuat. Selain itu, aktifitas ekspor juga masih akan bertumbuh dengan tingkat pertumbuhan yang berlanjut.
Cek Berita dan Artikel yang lain di Google News